7 Cara Responsive Feeding dalam Pemberian MPASI
Saat bayi berusia lima bulan, pasti banyak ibu sudah tidak sabar untuk segera memperkenalkan bayi pada makanan pendamping ASI atau MPASI. Browsing resep MPASI, membeli slowcooker dan hand blender, atau mengeluarkan kado-kado yang berupa alat makan menjadi hal yang menimbulkan semangat ibu.
Ada juga yang mulai curi-curi menyuapi bayi dengan pisang yang disisir seperti generasi orangtua terdahulu. Eits, hati-hati ya, Bu. Memberi MPASI di bawah usia 6 bulan tidak disarankan karena belum siapnya sistem pencernaan bayi.
Meskipun sudah dilembutkan, makanan padat tetap sulit dicerna usus. Jika dipaksakan, bayi dapat mengalami kembung, mencret, sembelit, bahkan alergi. Baru pada umur 6 bulan lah sistem pencernaan mampu mencerna karbohidrat, protein, dan lemak.
Kini setelah bayi berusia 6 bulan, terbersit keraguan bagaimana cara memulai fase MPASI ini. Apakah bayi harus dikenalkan dengan bubur beras atau puree buah? Homemade atau instan? Bubur encer atau berbentuk potongan? Mungkin jawaban dokter dan Google berbeda, apalagi pengalaman nenek si kecil dengan teman sesama ibu.
Agar tidak bingung, ibu bisa mengikuti panduan tentang pemberian MPASI yang dibuat oleh WHO (World Health Organization). WHO menekankan pentingnya responsive feeding dalam pemberian MPASI. Kurang lebih, artinya adalah proses pemberian MPASI dilakukan dengan memperhatikan when, where, how, dan whom (kapan, dimana, bagaimana, oleh siapa).
Lupakan proses mencekoki bayi seperti jaman dahulu jika ibu dan anggota keluarga lain ingin menerapkan responsive feeding karena konsep ini memperhatikan respon bayi. Untuk lebih detilnya, simak panduan responsive feeding berikut ini.
Menyuapi bayi secara langsung
Perkenalan bayi dengan MPASI sebaiknya diawali dengan makanan padat yang bertekstur encer, misalnya bubur beras merah atau kentang tumbuk. Tekstur seperti ini memungkinkan sistem pencernaan bayi beradaptasi dengan baik karena mendekati tekstur ASI.
Proses penyajiannya tentu saja dengan menggunakan sendok, disuapkan secara langsung. Tekstur ini nanti akan dinaikkan secara bertahap sesuai dengan kesiapan bayi.
Bolehkah bayi menyuapkan makanannya sendiri seperti metode baby led weaning (BLW)? BLW memberikan keleluasaan bagi bayi untuk mengontrol sendiri seberapa banyak makanan yang masuk ke mulutnya. Sayangnya, MPASI diperkenalkan dalam bentuk finger food atau makanan seukuran jari yang bisa dipegang dengan tangan.
Contohnya, wortel kukus yang dipotong sebesar kelingking. Padahal, pada usia 6 bulan bayi belum bisa mengunyah dengan sempurna. Jadi, sebaiknya ibu menunggu hingga kemampuan oromotor bayi siap untuk BLW, yaitu sekitar usia 8 bulan.
Salah satu tips agar proses menyuapi bayi di awal masa MPASI nya berjalan lancar adalah dengan memperkenalkan bayi dengan sendok sebelum usia 6 bulan. Tentu saja, sendok ini tidak diberi makanan di atasnya karena ASI masih mampu mencukupi kebutuhan nutrisi bayi.
Ibu bisa pilih sendok yang kelak akan digunakan untuk fase MPASI nya. Pilih sendok berbahan silikon atau plastik food grade yang aman untuk bayi. Biarkan ia memegang, memainkan, atau memasukkannya ke dalam mulut. Tidak perlu lama-lama dan harus didampingi.
Mendampingi anak yang bisa makan sendiri
Nah, apabila anak kemudian sudah bisa makan sendiri, ibu tetap harus mendampingi. Setidaknya hingga ASI selesai diberikan yaitu pada usia 2 tahun. Pendampingan ini bertujuan untuk memastikan anak makan dengan cara yang benar dan aman.
Kemampuan motoriknya masih berkembang, jadi ibu harus bersedia membersihkan makanan yang berceceran atau noda yang melekat di baju saat anak mulai bisa menyuapkan sendok ke mulutnya.
Anggap saja harga yang harus dibayarkan untuk anak yang lebih mandiri. Namun, pastikan tangan ananda dan area makan sudah dibersihkan dengan baik untuk menghindari kontaminasi bakteri.
Lakukan perlahan dan penuh kesabaran
Proses memperkenalkan anak pada MPASI rata-rata memang penuh tantangan. Banyak ibu yang kehabisan kesabaran dalam hal ini. Bukan semata karena anak menolak makan, namun juga karena adanya beban untuk memberikan yang terbaik bagi anak. Apalagi, berat badan adalah salah satu topik pembicaraan yang dianggap wajar. Karena itu, ibu harus mampu melatih diri untuk tetap berpikiran jernih ketika memberikan MPASI pada anak.
Tanamkan pikiran bahwa bayi masih belum mengerti apa-apa, iya hanya mengikuti nalurinya. Ibu lah yang harus mampu menyesuaikan diri. Lakukan setiap tahapan dengan perlahan dan terencana. Perencanaan merupakan salah satu kunci bagi ibu untuk tetap tenang. Salah satunya dengan merencanakan menu MPASI sekaligus menu cadangan jika anak menolak.
Tidak memaksa
Dalam responsive feeding, memaksa anak makan adalah hal yang dilarang. Mungkin ibu pernah mendengar saran dari orangtua, nenek, atau pengasuh yang sudah senior tentang menyuapi bayi dengan cara dicekoki, atau memasukkan makanan dengan sendok secara paksa ke dalam mulut bayi.
Agar mulut anak terbuka, orang tua memencet kedua pipi bayi. Seram ya? Tapi dulu hal itu dianggap biasa, toh bayi tidak bisa protes. Menangis pun, bubur yang dipaksa masuk mulut akan tertelan juga. Yang penting bayi terlihat montok dan sehat. Ya, bentuk fisik anak menjadi motivasi terbesar orangtua untuk memaksa anak makan. Padahal, indikator sehat tidak hanya berat badan.
Sekarang, orangtua lebih mudah memperoleh informasi yang benar sehingga sudah tidak memberikan MPASI dengan cara-cara berbau kekerasan. Memaksa bayi untuk makan dapat menimbulkan trauma terhadap makanan, lho.
Bukannya bertambah berat badan, bayi bisa saja melakukan GTM alias gerakan tutup mulut. Kalau sudah begini, ibu juga yang repot kan. Jika anak sudah semakin besar dan ibu kehabisan akal untuk menghentikan gerakan tutup mulutnya, keluarlah bentakan dan ancaman. Ini juga salah satu bentuk paksaan, namun berbentuk verbal. Efeknya juga sama bahayanya dengan mencekoki bayi.
Secara jangka panjang, memaksa anak untuk makan akan mematikan sinyal rasa kenyangnya. Ini kelak dapat berujung pada obesitas, anoreksia, bahkan bulimia saat anak remaja. Ketika bayi yang tadinya lahap mendadak menutup mulutnya atau menggerakkan kepalanya menjauhi sendok, itu tandanya ia sudah kenyang. Meskipun makanan hanya tersisa satu sendok, jangan dipaksakan.
Kasus lain, jika yang anak tolak adalah makanan tertentu seperti sayur, tetap hindari paksaan. Dalam situs Being The Parent, memaksa anak makan makanan tertentu dapat membuat anak anti terhadap makanan tersebut saat ia besar. Penolakan anak terhadap sayur misalnya, tidak akan berlangsung selamanya.
Saat anak bertambah usia, ia akan mulai terbuka terhadap berbagai menu baru, termasuk sayur yang dahulu sempat ia tolak ketika balita. Asalkan, ia tidak memiliki memori buruk berkaitan dengan dipaksa makan sayur. Jadi ibu tidak perlu khawatir.
Jika menolak, cari cara lain
Pemberian MPASI akan selalu diwarnai dengan adegan melepeh makanan, menangkis sendok, melempar makanan, menjatuhkan piring dari meja, sampai menutup mulut. Ya, bayi menolak makanan yang sudah ibu buat dengan tetesan keringat, melalui serangkaian proses mencari resep, mengukus, menghaluskan, dan menghias.
Jangan mendadak patah hati, apalagi berharap bayi memahami perasaan ibu. Bayi masih belajar untuk mengenal segala macam rasa baru. Ibu hanya diajak untuk sedikit lebih sabar dan kreatif.
Sebelum menentukan cara pemberian MPASI yang lebih menarik, cari tahu terlebih dahulu penyebab bayi menolak MPASI. Apakah bayi lelah, ngantuk, kenyang ASI, atau sedang asyik dengan sesuatu? Mungkin waktu laparnya belum sesuai dengan jadwal makan yang ibu buat. Mungkin juga porsinya belum sesuai dengan kebutuhannya.
Jika bayi tetap menolak makan di saat yang tepat, ibu bisa memperkenalkan makanan tersebut di sela-sela pemberian makanan favoritnya. Ketika bayi menolak, hindari bereaksi berlebihan. Tetap tenang, kenalkan lagi makanan tersebut pada waktu makan berikutnya. Mungkin rasanya berbeda dengan puree yang biasa ia makan, jadi membutuhkan waktu untuk bisa menerima rasa baru tersebut.
Mengubah tekstur MPASI juga bisa menjadi solusi. Jika ibu melihat anak seperti kesulitan mengunyah, bisa jadi ia belum terlalu siap untuk bubur yang terlalu padat. Turunkan tekstur menjadi lebih encer namun tetap suapkan dengan sendok. Ada juga bayi yang menolak sendok karena ia menolak disuapi.
Seperti dilansir situs WebMD, bayi berusia 9 bulan sudah terlihat ingin melakukan beberapa hal sendiri. Mungkin ia berusaha meraih sendok atau mengeksplorasi makanan dengan tangannya.
Jika ini yang terjadi, mengapa tidak ibu biarkan ia berlatih makan sendiri? Memang, ibu akan jadi lebih repot karena tumpahan makanan dimana-mana. Tetapi dari sini ia belajar untuk cepat mandiri.
Di atas usia setahun, menolak makan bisa jadi karena ia sudah mengenal rasa enak dari penambahan gula dan garam. Beberapa orangtua tidak terlalu ketat dalam memberikan makanan pada anaknya, termasuk membolehkan konsumsi biskuit coklat, keripik berMSG, ataupun makanan cepat saji.
Akibatnya, makanan rumahan terasa lebih hambar dan tidak membangkitkan selera. Karena itu, ibu bisa membatasi konsumsi perasa artifisial dan lebih banyak bereksperimen di dapur agar masakan ibu lebih membangkitkan selera. Menambahkan dekorasi pada makanan anak juga bisa menimbulkan semangat. Gunakan cetakan nasi berbagai bentuk, guntingan rumput laut, timun berbentuk bunga, dan sejenisnya.
Intinya, selalu ada berbagai cara untuk membujuk anak makan. Semua tidak bisa langsung membuahkan hasil. Yang penting, tetaplah bersemangat dalam prosesnya ya Bu.
Jauhkan dari gangguan/distraksi
Gangguan saat makan dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti televisi, gadget, maupun mainan. Idealnya, saat fase MPASI dimulai, anak dibiasakan makan sambil duduk di kursi makan. Tujuannya, agar anak bisa sepenuhnya fokus pada proses makan dan menikmatinya.
Namun, seiring dengan kesulitan yang ibu hadapi saat menyuapi anak, ada yang akhirnya menyuapi anak sambil menggendongnya keliling komplek, sambil naik sepeda, naik odong-odong, makan sambil berjalan-jalan, atau menyuapinya di depan gadget.
Salahkah usaha pengalih perhatian di atas? Dalam posisi terdesak, mungkin ibu berprinsip “daripada tidak makan”. Atau mungkin tidak ada masalah dengan proses makan anak, hanya saja ibu ingin memberikan hiburan pada anak agar tidak bosan. Toh, sewaktu kecil dulu ibu juga disuapi sambil digendong dan ibu sekarang sehat-sehat saja.
Penelitian terbaru dari Melanie Potock, seorang terapis khusus kebiasaan makan anak, menunjukkan bahwa sikap duduk yang benar mempengaruhi keberhasilan pengenalan MPASI pada anak. Kemampuan motorik halus (seperti menyendok, menjumput) tidak akan berkembang baik sebelum stabilitas motorik kasar (posisi tubuh) dicapai. Duduk tegak dengan posisi pinggul condong sedikit ke depan adalah yang ideal bagi anak. Bukan bersandar.
Pada usia di mana bayi mulai ada keinginan untuk keluar dari kursi dan meja kecilnya, ibu bisa melepas bagian meja dan mendekatkan kursinya ke meja makan dan makan bersama keluarga. Hal ini akan membuat anak lebih bersemangat dengan melihat hidangan yang tersaji, meja yang luas, dan bisa mencontoh cara makan orang dewasa.
Jadi, alih-alih menggendongnya, ibu bisa cek dulu apakah posisi duduknya sudah nyaman. Jika belum terlambat, usahakan anak dibiasakan untuk tetap duduk. Apabila ia ingin makan sambil memainkan mobil-mobilan favoritnya, izinkan saja asal tetap sambil duduk.
Namun, pastikan hiburan tersebut bukan gadget karena akan menghilangkan “kesadarannya”: anak tidak tahu apa yang dimakannya, bagaimana rasanya, kapan ia merasa kenyang. Selain membuat pola makannya jadi buruk, anak biasanya menjadi rewel atau menolak makan jika tidak sambil melihat video favoritnya.
Penuh kasih sayang
Orang dewasa makan sebagai kebutuhan, namun bayi yang baru diperkenalkan MPASI harus merasakan unsur kasih sayang dalam prosesnya. Jika perkenalannya pada hal baru dilakukan dengan menyenangkan dan memahami perasaannya, bayi akan lebih terbuka untuk menjalaninya.
Salah satu caranya adalah mengajak bayi berbicara dengan lembut saat ibu menyuapinya sambil menatap matanya. Ibu bisa bercerita tentang makanan apa yang ibu suapkan, betapa enak rasanya, betapa sehat badannya, betapa pintar dirinya, dan sebagainya.
Mungkin ibu berpikir, mana mungkin saya tidak menyayanginya. Betul Bu, namun rutinitas sehari-hari ibu bisa saja menimbulkan kebosanan, kelelahan, tekanan, hingga akhirnya proses makan ini menjadi seperti hal yang ibu harus selesaikan.
Efeknya, jika bayi kurang kooperatif, ibu mendadak tidak sabar. Salah satu tips untuk menghindari hal ini, bangun suasana hati ibu terlebih dahulu sebelum proses makan dimulai. Mengingat atau melakukan hal favorit ibu, berdoa dan bersyukur, memutar musik, apapun yang membuat ibu senang lakukanlah. Anak bisa merasakan suasana hati ibu, maka pastikan ibu merasa bahagia saat proses makan berlangsung. Tiga puluh menit saja.
Dari penjelasan responsive feeding ini, setidaknya ibu bisa menarik kesimpulan bahwa proses pemberian MPASI ini layaknya fondasi dalam pola makan anak. MPASI ternyata tidak semata memasukkan gizi ke dalam tubuh anak.
Namun lebih merupakan sebuah proses: anak mengenal berbagai macam makanan baru, rasa asin, manis, asam; belajar cara mengunyah, menggigit, melepeh; minum dengan sedotan, sippy cup, gelas; menjumput makanan dengan jari, menyendok, menusuk dengan garpu; memilih makanan yang disuka; hingga akhirnya ia mengetahui bahwa inilah yang dinamakan proses makan.
Tentu ibu berharap proses yang hanya 1,5 tahun ini berjalan lancar kan? Namun, rata-rata kenyataan tidak seindah foto-foto di media sosial. Proses MPASI ternyata menguras kesabaran sekaligus membutuhkan kreativitas.
Pada titik ini, ibu menyadari perjuangan orangtua dulu hingga akhirnya ibu tumbuh dengan kebiasaan makan, cara makan, preferensi makanan tertentu. Semua karena suatu proses.
Semoga, dengan ini ibu lebih semangat untuk memberikan MPASI pada bayi tercinta, ya! Demi kesehatannya sekarang dan pola makan bertahun-tahun ke depan.
(Menur)