7 Tips Memberikan Konsekuensi dalam Mendisiplinkan Anak
Saat anak masih bayi, Ibu bisa jatuh cinta pada anak hingga merasa ialah hal terindah yang pernah dianugerahkan Tuhan. Celotehnya yang belum sempurna, pipinya yang seolah membuat Ibu selalu ingin menciumnya, hingga tatapannya yang seolah menjadikan Ibu sosok yang paling ia kagumi, membuat hubungan antara Ibu dan anak sangat erat.
Sayangnya, saat anak mulai memasuki usia dua tahun, rasa cinta ini mulai diuji. Ia sudah tidak lagi sepatuh dulu. Kemampuan berpikirnya yang semakin berkembang membuat rasa ingin tahunya meningkat, sementara pengendalian dirinya masih belum sempurna. Keinginannya semakin kuat, sementara tidak semua yang ia inginkan bisa didapatkan. Entah mengapa, peraturan yang Ibu buat menjadi semakin susah dijalankan padahal mendisiplinkan anak harus dilakukan sejak dini.
Akhirnya, cara instan yang kerap ditempuh orang tua ketika dalam kondisi terdesak pun mewarnai momen pengasuhan Ibu: ancaman dan hukuman. Tentu, Ibu tidak membayangkan bahwa pada suatu titik nanti, sosok terlucu yang dulu menjadi kebanggaan Ibu akan menerima kata-kata ancaman dan hukuman.
Apakah mendisiplinkan anak demikian sulitnya? Atau memang cara-cara otoriter seperti generasi terdahulu dalam mengasuh anak merupakan cara yang efektif? Padahal, rasa bersalah kerap datang setelah bersikap “keras” pada anak, apalagi hingga harus memberikan hukuman. Namun jika keinginan anak selalu dituruti, disiplin tidak dapat ditegakkan. Jadi, bagaimana cara mendisiplinkan anak yang tepat?
Berkenalan dengan disiplin positif
Bagi kita yang dilahirkan pada tahun 80an, kata “disiplin” bisa membuat kita membayangkan ketegasan dan hukuman. Namun, seiring dengan semakin berkembangnya ilmu parenting, mendisiplinkan anak tidak harus diajarkan dengan cara yang otoriter. Apalagi, jika anak masih belum memasuki usia sekolah dan pemahamannya masih konkret.
Pakar pendidikan Najelaa Shihab dalam buku Keluarga Kita menjelaskan bahwa ada dua jenis disiplin, yaitu disiplin konvensional dan disiplin positif. Disiplin konvensional bertujuan untuk membuat anak tunduk pada sosok maupun peraturan tanpa mengerti manfaatnya. Ancaman, sogokan, hukuman kerap digunakan untuk mendisiplinkan anak secara konvensional. Orang tua yang memegang kendali, yang kelak membuat anak tidak percaya diri tanpa arahan dari orang tua.
Sementara itu, disiplin positif tidak hanya ditentukan oleh orang tua, melainkan dibicarakan bersama dengan anak. Ada proses komunikasi di dalamnya untuk membahas kesepakatan sekaligus konsekuensinya.
Ya, konsekuensi. Bukan hukuman. Segala proses mendisiplinkan anak secara positif membuat anak bisa belajar dan berdaya, begitu pula orang tuanya. Karena, tujuan akhir dari pengasuhan adalah membuat anak bisa mandiri di kemudian hari kala orang tua sudah tidak lagi mendampingi.
Mandiri tidak hanya bisa melakukan segala sesuatunya, tapi juga mengambil keputusan sendiri. Hal ini penting mengingat saat anak memasuki fase pra remaja dan fase remaja, lingkungan pertemanan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Anak yang paham bahwa boleh tidaknya suatu hal dilakukan adalah karena ada risikonya sekarang atau di masa depan, akan bisa tegas mengatakan tidak pada ajakan negatif teman.
Karena itu, disiplin positif lebih tepat diajarkan pada anak sejak dini.
Perbedaan konsekuensi dan hukuman
Dalam mendisiplinkan anak secara positif, Ibu perlu memahami perbedaan antara konsekuensi dan hukuman karena keduanya terlihat sama. Misalnya, jika anak tidak mau membereskan mainan selama 3 hari berturut-turut, maka Ibu mengambil jatah screen time-nya. Apakah hal tersebut termasuk hukuman atau konsekuensi?
Menurut Amy Morin, LCSW, seorang psikoterapis yang menulis buku 13 Things Mentally Strong People Don’t Do, ada perbedaan antara hukuman dan konsekuensi.
Hukuman bertujuan untuk membuat anak menderita dan merasa bersalah karena perbuatan mereka. Biasanya, hukuman tidak relevan dengan kesalahan yang mereka perbuat. Misalnya, anak usia 2 tahun memecahkan mematahkan lipstik, maka Ibu “mendisiplinkan anak” dengan memukul tangannya. Atau, anak usia 9 tahun terlambat ke sekolah karena susah bangun pagi, kemudian Ibu mengambil fotonya di depan gerbang sekolah yang terkunci lalu mengunggahnya di media sosial.
Hukuman tidak akan membuat anak jera, melainkan mencederai harga dirinya karena orang tua terkadang melakukannya untuk mempermalukan anak. Mungkin saja, orang tua berpikir bahwa ketika anak merasa malu maka mereka tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Padahal, ketika anak malu atau sedih karena dihukum, amarah pada orang tua akan mendominasi alih-alih memikirkan solusi agar masalah tidak terulang lagi. Di masa depan, anak yang harga dirinya terluka karena sering menerima hukuman berpotensi lebih besar untuk melakukan dalam hal-hal berisiko.
Sebaliknya, konsekuensi mendorong anak untuk memperbaiki perilaku dan perbuatannya. Meskipun sama-sama “tidak enak” untuk anak, namun mendisiplinkan anak dengan memberi konsekuensi masih relevan dengan perbuatan anak dan tidak membuat anak malu. Syaratnya, Ibu sudah membuat kesepakatan dengan anak mengenai konsekuensi yang dipilih.
Jika anak masih belum bisa diajak berkomunikasi secara efektif (misal di bawah 2 tahun), menjelaskan tentang konsekuensi akan membentuk kebiasaan anak untuk melakukan percakapan positif dengan orang tua atau orang lain saat dewasa kelak.
Beberapa contoh konsekuensi
Dalam situs Psychology Today, ada dua jenis konsekuensi, yaitu konsekuensi alami (natural consequences) dan konsekuensi logis (logical consequences). Konsekuensi alami didapatkan anak sebagai hasil dari perilakunya.
Misal, anak tidur terlalu malam lalu kesulitan bangun pagi dan terlambat sekolah. Anak nekat bermain di genangan air kotor kemudian malamnya gatal-gatal. Konsekuensi alami adalah guru terbaik bagi anak. Sayangnya, tidak semua perilaku anak bisa segera menimbulkan konsekuensi alami. Sementara itu, konsekuensi logis juga merupakan hasil perilaku anak namun diberikan oleh orang lain.
Jika Ibu masih merasa bingung bagaimana mendisiplinkan anak melalui pemberian konsekuensi yang tepat, berikut ini adalah contohnya:
Jika anak tidak mau membereskan mainannya, maka Ibu dapat menyingkirkan/menyimpan mainannya selama 24 jam.
Jika anak tidak menepati durasi mengakses gawai sesuai kesepakatan, konsekuensinya adalah kehilangan screen time selama waktu yang telah disepakati sebelumnya.
Jika anak berkata-kata kotor, konsekuensinya anak hanya boleh bermain sendiri di dalam rumah (tidak boleh bermain bersama teman di lingkungan rumah) hingga hari berikutnya.
Jika anak menyakiti saudaranya (secara fisik), anak harus meminta maaf dan memeluk saudaranya.
Jika anak menumpahkan makanan atau minuman, anak harus membersihkan sendiri.
Jika anak tidak menghabiskan makanan yang ia pilih/ia ambil, konsekuensinya adalah kehilangan kesempatan untuk jajan/membeli makanan kesukaan satu hari ke depan.
Jika anak terlambat ke sekolah 3 hari berturut-turut, waktu screen time nya terpotong sebanyak menit keterlambatannya ke sekolah.
Jika anak main sepeda di dalam rumah. Konsekuensinya adalah menyapu lantai yang terkena kotoran dari roda sepeda.
Jika anak merusak barang dengan sengaja, konsekuensinya adalah tidak dibelikan mainan lagi sesuai waktu yang disepakati.
Jika anak tidak mau mandi, konsekuensinya adalah tidak boleh bermain/makan kudapan favorit/menonton acara favorit hingga ia mau mandi.
Jangan lupa, dahului dengan kesepakatan bersama ya, Bu. Sertakan alasannya jika perlu. Misalnya, “Adek nonton kartunnya nanti habis mandi ya. Kalau sudah mandi kan segar, wangi, lebih nyaman nontonnya.” Meskipun anak menolak atau membantah, tetaplah konsisten membujuk dengan nada rendah. Semakin tinggi nada yang Ibu gunakan, terkadang anak juga semakin tersulut emosinya dan menolak bersikap kooperatif. Tujuan utama pun bisa tidak tercapai.
Tips memberikan konsekuensi
“Saya sudah mencobanya, tapi anak saya pergi begitu saja tanpa memedulikan omongan saya. Padahal, nada bicara saya ramah lho..”
Betul Bu, mendisiplinkan anak memang membutuhkan proses, apalagi jika Ibu memilih disiplin positif. Karena itulah, banyak orang tua yang tidak bisa menerapkan disiplin positif secara konsisten saat dalam kondisi lelah, tertekan, atau emosi. Ada juga yang sukses mendisiplinkan anak di awal, namun semakin lama “kesaktian” konsekuensinya mulai memudar.
Agar konsekuensi berjalan efektif, Ibu bisa mengikuti tips berikut ini:
Sabar dan bertahap
Membuat anak patuh dan rela menjalankan konsekuensi memang tidak bisa sekali jadi, seberapa logis pun konsekuensi yang Ibu berikan. Sama dengan anak yang akhirnya bisa makan dengan sendok atau segera ke toilet saat ingin kencing, membuat anak mengerti apa itu konsekuensi dan apa tujuannya membutuhkan waktu.
Sebagai contoh, saat Ibu mengenalkan konsekuensi saat anak tidak membereskan mainan, jangan enggan untuk memulai terlebih dahulu membereskan mainan. Kalimat seperti, “Waah, lihat Kak, dinosaurusnya seneng banget nih masuk kotak. Katanya, biar nggak kedinginan!” atau kalimat sejenis bisa menarik anak untuk mendekat.
Jika anak berpartisipasi, beri pujian. Jika tidak, jangan emosi ya, Bu. Sebaiknya beri tenggang waktu berapa kali Ibu akan membereskan tanpa bantuan anak hingga akhirnya konsekuensi diterapkan. Misal, selama 7 hari. Maka setiap harinya terus ucapkan, “Ibu bantu ya hari ini, tapi mulai Senin Ibu akan simpan mainan di lemari Ibu kalau Kakak tidak membereskan mainan sendiri.”
Konsisten
Terkadang, ketidakkonsistenan Ibu bisa terbaca oleh anak. Saat Ibu mengatakan, “Kalau nggak diberesin, Ibu simpen mainannya sebulan ya!” Ternyata, baru seminggu Ibu sudah memberikan mainannya kembali. Atau, terkadang Ibu disiplin menerapkan konsekuensi, namun pada saat tertentu Ibu tidak melakukannya. Anak pun merasa bahwa Ibu tidak serius dan bisa ditawar. Bagi Ibu dengan anak balita atau batita, rasa tidak tega terkadang membuat Ibu menganulir konsekuensi pada waktu tertentu. Ini juga bisa mengurangi efektivitas pemberian konsekuensi dalam mendisiplinkan anak.
Sesuai usia dan kemampuan anak
Untuk membuat konsekuensi yang bisa dijalankan, Ibu perlu mengetahui tahap perkembangan anak sesuai usia. Jangan sampai, upaya mendisiplinkan anak memberikan efek yang terbalik dengan harapan karena konsekuensi yang tidak sesuai usianya. Anak yang belum paham konsep waktu dalam menit tentu tidak bisa dikurangi jatah screen time sekian menit. Memaksakannya tentu akan membuat Ibu frustrasi dan emosi, anak pun merasa hal yang sama.
Tidak terlalu sering
Terlalu sering memberi konsekuensi yang sama dalam jangka waktu lama dapat membuat anak tidak lagi termotivasi untuk memperbaiki perilakunya. Membuat konsekuensi yang berbeda-beda setelah periode waktu tertentu dapat menjadi solusi. Jika perilaku negatif masih berulang, mungkin Ibu bisa melakukan upaya pencegahan seperti memeriksa apakah semua kebutuhannya sudah terpenuhi, memberi perhatian positif atau waktu berkualitas berdua, memberi pujian, dan membuat sistem reward atau hadiah.
Tidak ditunda
Konsekuensi yang tertunda menyulitkan anak untuk melogika mengapa ia mendapatkan konsekuensi tersebut. Misal, konsekuensi tidak menghabiskan makanan adalah tidak boleh makan di resto waralaba favorit saat akhir pekan nanti di mal. Ibu pun rentan inkonsisten saat menerapkannya karena mungkin anak berperilaku baik pada hari-hari berikutnya. Selain itu, mendisiplinkan anak tidak harus membuat seluruh anggota keluarga kehilangan haknya, bukan? Karena itu, batasan waktu 24 jam masih terhitung efektif. Jika tidak memungkinkan, ingatkan anak kembali akan perilakunya dahulu sebelum menjalani konsekuensi.
Harus spesifik
Kalimat seperti, “Adik boleh makan es krim lagi kalo udah hebat ya!”. Hebat itu seperti apa? Patuh pada peraturan? Mau berbagi? Ibu harus mengungkapkan dengan jelas perilaku yang Ibu harapkan, bentuk konsekuensinya, waktu berlakunya. Apalagi, anak balita masih berpikir konkret sehingga masih perlu dibantu untuk memahami konsep konsekuensi logis.
Quality time
Untuk bisa membuat konsekuensi lebih mudah diterima dan anak pun respek pada Ibu, jangan sepelekan quality time atau waktu berkualitas bersama anak di mana Ibu memberi perhatian positif pada anak. Ibarat dunia kerja, Ibu pasti lebih termotivasi memperbaiki diri jika teguran datang dari atasan yang baik, bukan? Anak pun demikian. Waktu 15 menit yang Ibu gunakan untuk mendengarkan ceritanya atau bermain bersama (tanpa gangguan gadget tentunya) akan membuat anak lebih menghargai keberadaan Ibu.
Cegah anak tantrum agar tidak terpaksa beri konsekuensi
Pada anak usia dua tahun, ada cara yang lebih mudah untuk menumbuhkan disiplin positif, yaitu melakukan upaya pencegahan serta menumbuhkan rutinitas. Misalnya, jika anak cepat lapar saat dibawa bepergian, beri anak makan sebelumnya dan bawa bekal untuk mencegah anak lapar minta makan saat Ibu sedang berada di tengah-tengah acara. Jika anak susah mengembalikan mainan yang dipinjam saat playdate, jelaskan bahwa, “Adik boleh meminjam mainan tapi setelah itu dikembalikan, ya. Kalau tidak, nanti yang punya sedih.” Jika perlu, bawa mainannya sendiri agar bisa dimainkan bersama tuan rumah.
Menumbuhkan rutinitas juga dapat mencegah tantrum, seperti jam makan dan jam tidur yang terprediksi, rutinitas cuci tangan sebelum makan, makan sambil duduk, berhenti outdoor play sebelum terlalu lelah. Rutinitas membuat anak bisa memprediksi apa yang akan ia lakukan setelahnya (dan apa yang Ibu harap ia lakukan setelahnya).
Dengan ini, Ibu bisa mencegah konflik harian seperti anak tidak mau tidur, Ibu sudah mengantuk, lantas Ibu jadi “sumbu pendek” sementara anak belum paham pentingnya tidur lebih awal meskipun Ibu sudah menjelaskan sedemikian rupa, hingga akhirnya konsekuensi harus diberikan. Dalam kasus ini, upaya pencegahan juga dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan anak untuk “menghabiskan energinya” saat bermain di sore hari dan membacakannya buku sebelum tidur. Mendisiplinkan anak pun tidak lagi terdengar menakutkan.
(Menur)