Ibupedia

Bayi Stunting: Penyebab dan Dampaknya di Masa Depan

Bayi Stunting: Penyebab dan Dampaknya di Masa Depan
Bayi Stunting: Penyebab dan Dampaknya di Masa Depan

Bayi stunting merupakan masalah serius terkait gizi dan kesehatan yang masih jadi PR besar bagi pemerintah Indonesia. Data WHO tahun 2018 menyatakan bahwa negara kita jadi negara ketiga dengan kasus bayi stunting tertinggi di Asia Tenggara. Di tahun 2019, sebanyak 30 persen balita di Indonesia mengalami stunting. Jadi bisa dibayangkan betapa mendesaknya masalah gizi yang sedang dialami negara kita ini.

Sebenarnya, Apa itu Stunting pada Bayi?


Stunting terjadi ketika bayi atau balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan usianya. Bayi stunting biasa disebut juga bayi pendek. Anak bisa dikatakan stunting jika panjang atau tinggi badannya berada lebih dari minus 2 standar deviasi (SD) pada grafik pertumbuhan yang ditetapkan WHO. Stunting merupakan tanda bahwa pertumbuhan anak mengalami gangguan. Bila tidak segera ditindaklanjut, masalah “gagal tumbuh” ini bisa berpengaruh pada masa depan anak.

Salah satu cara melihat apakah bayi stunting memang melalui pengukuran panjang atau tinggi badannya. Anak yang mengalami stunting umumnya memiliki tubuh lebih pendek jika dibandingkan anak lain seusianya. Namun, meski begitu, bukan berarti anak yang pendek itu pasti mengalami stunting. Selain mengukur panjang bayi, dokter atau tenaga medis juga akan mencari tahu kecukupan nutrisi harian anak. Ini karena stunting banyak disebabkan oleh kurangnya asupan gizi anak, baik saat di dalam kandungan maupun setelah ia lahir.

Kondisi bayi stunting sangat penting menjadi perhatian kita semua. Sangat miris karena masih banyak yang tidak tahu bahwa tubuh pendek anak bisa jadi pertanda adanya masalah gizi kronis pada si kecil. Kurangnya gizi tidak hanya menyebabkan lambatnya pertumbuhan fisik anak, tapi juga bisa berpengaruh pada fungsi kognitif atau perkembangan otaknya. Bayi stunting akan mengalami kesulitan dalam berpikir sehingga bisa merugikan masa depannya. Selain itu, bayi stunting juga cenderung lebih mudah terkena infeksi atau penyakit yang tentu membahayakan dirinya.

Penyebab Bayi Stunting


Penyebab terbesar bayi stunting adalah kurangnya gizi kronis selama periode emas pertumbuhan dan perkembangan anak. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, ada beberapa faktor lain yang turut berkontribusi menjadi penyebab bayi stunting.

1. Kurangnya pengetahuan orangtua

Bayi stunting bisa disebabkan karena kurangnya pengetahuan orangtua tentang cara merawat bayi dengan baik agar tumbuh kembangnya bisa optimal. Salah satu hal penting yang perlu bayi dapatkan adalah asupan nutrisi dari makanan maupun minuman. Pemberian makanan bergizi seimbang ini tidak hanya perlu dilakukan ketika anak sudah lahir saja, tapi juga sejak ia masih di dalam kandungan. Bayi yang masih dalam kandungan juga membutuhkan berbagai nutrisi yang dapat mendukung tumbuh kembangnya. Artinya, Ibu hamil perlu mengonsumsi makanan dan minuman bergizi, suplemen atau vitamin tambahan, serta menghindari alkohol dan merokok supaya janin dalam kandungan tumbuh sehat.

Setelah bayi lahir ke dunia, orangtua pun perlu menjaga asupan gizi bayi dengan memberikannya ASI eksklusif hingga usianya 6 bulan. Artinya si kecil tidak diberi makanan atau minuman apa pun selain ASI. Setelah 6 bulan, bayi sudah bisa diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang tentunya bergizi, aman, dan sesuai porsinya, sambil tetap disusui hingga usianya 2 tahun atau lebih. Inilah yang dinamakan periode emas anak. Periode ini berlangsung di 1000 hari pertama kehidupan anak, terhitung sejak ia dalam kandungan sampai berusia 2 tahun. Di masa golden age ini, pertumbuhan dan perkembangan anak sedang berlangsung dengan sangat cepat. Ini tidak hanya menyangkut fisiknya saja, tapi juga kognitif dan sosialnya. Untuk bisa tumbuh dengan maksimal, ia butuh asupan gizi dan nutrisi yang seimbang. Nah, jika orangtua kurang memiliki pengetahuan terkait hal-hal di atas, besar kemungkinan anaknya tidak tumbuh optimal dan bahkan bisa menyebabkan bayi stunting.

2. Kondisi ekonomi buruk dan kurangnya akses ke beragam makanan

Kondisi ekonomi juga seringkali menjadi penyebab bayi stunting. Kondisi ekonomi ini erat kaitannya dengan kemampuan sebuah keluarga memenuhi kebutuhan gizi Ibu dan anak. Keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah akan sulit menjaga asupan nutrisi yang dibutuhkan anak dan Ibu saat hamil dan menyusui. Berdasarkan data Joint Child Malnutrition Estimates tahun 2018, negara dengan pendapatan menengah ke atas mampu menurunkan angka stunting hingga 64 persen, sedangkan negara menengah ke bawah hanya mampu menurunkan sekitar 24 persen dari tahun 2000 hingga 2017. Itu artinya, kondisi ekonomi yang baik, secara tidak langsung bisa membantu mencegah bayi stunting.

3. Sanitasi buruk dan tidak ada akses air minum bersih

Selain menyebabkan sulitnya mengakses beragam makanan bergizi dan bernutrisi seimbang, rendahnya status finansial keluarga juga akan membuat keluarga kesulitan mengakses air minum bersih. Sanitasi yang buruk serta minimnya akses air bersih dapat mendorong risiko bayi stunting. Misalnya penggunaan air sumur yang kotor untuk masak, minum, maupun mandi dapat menjadi penyebab anak mengalami infeksi. Kurangnya ketersediaan kakus yang layak juga bisa meningkatkan risiko anak mengalami diare atau cacingan. Semua penyakit itu jika dialami berulang dapat mengganggu tumbuh kembang anak dan berujung pada stunting.

Namun, kondisi finansial tidak selamanya jadi penyebab anak tinggal di lingkungan kurang bersih. Walau ekonomi keluarga baik, namun jika anggota di dalamnya abai terhadap kebersihan diri, rumah dan lingkungan, bayi atau anak juga bisa terkontaminasi bakteri yang dapat mengarah ke infeksi usus atau penyakit pencernaan lain. Gangguan kesehatan ini, jika terjadi berulang dapat menurunkan fungsi pencernaan sehingga nutrisi yang masuk ke tubuh si anak tidak dapat terserap dengan sempurna. Risiko bayi stunting pun jadi lebih besar.

4. Terbatasnya layanan kesehatan yang layak untuk anak-anak dan Ibunya

Bagi kita yang tinggal di perkotaan, agaknya perlu banyak-banyak bersyukur karena kita tidak kesulitan mengakses fasilitas kesehatan yang layak. Karena faktanya masih banyak orang yang hidup di daerah tertinggal dan sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Keberadaan fasilitas kesehatan ini tidak hanya penting untuk memberikan perawatan pada anak atau Ibu saat mereka sakit saja, tetapi juga untuk memberikan informasi kepada keluarga mengenai pentingnya pemberian makanan bergizi untuk Ibu hamil, Ibu menyusui, dan bayi (terutama di awal-awal kehidupannya), sampai bagaimana manfaat menyusui eksklusif bayi.

Dampak Bayi Stunting Terhadap Kehidupannya


Selain menyebabkan pertumbuhan fisiknya tidak optimal, stunting pada bayi juga bisa menghambat perkembangan otaknya. Padahal, otak termasuk organ penting yang menjadikan manusia bisa berpikir, berbicara, bertingkah laku, dan banyak lagi lainnya. Dampak bayi stunting sendiri sebenarnya bisa dibagi jadi dua; dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang. Apa saja?

1. Dampak jangka pendek

Stunting pada bayi dapat menurunkan sistem imun. Maka dari itu, bayi stunting cenderung lebih mudah sakit daripada bayi yang tidak stunting. Dilansir dari laman Concern Worldwide US, risiko bayi stunting meninggal dunia 4 kali lipat lebih besar dibanding mereka yang tidak stunting.

Karena sering sakit, biaya perawatan kesehatan pun juga jadi meningkat. Pengeluaran keluarga bisa membengkak hanya karena anak stunting. Selain itu, seperti yang sudah dibahas di atas, bayi stunting bisa mengalami penurunan fungsi kognitif, motorik, dan verbal. Mereka biasanya akan mengalami keterlambatan bicara, memahami ucapan orang lain, kurang aktif, dan lain sebagainya. 

2. Dampak jangka panjang

Saking peliknya masalah stunting ini, dampaknya bahkan bisa dirasakan sampai si anak dewasa, atau bahkan sepanjang hidupnya. Dikutip dari Buletin Stunting yang diterbitkan Kementerian Kesehatan RI, stunting pada bayi bisa menyebabkan postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa sehingga ia jadi lebih pendek jika dibandingkan anak seumurannya. Stunting pada bayi juga bisa meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, atau penyakit jantung. Karena pertumbuhan otaknya saat bayi tidak sempurna, bayi stunting juga bisa mengalami penurunan performa yang menyebabkan kapasitas belajarnya tidak optimal saat masa sekolah. Ini juga bisa berpengaruh pada produktivitas dan kemampuan bekerja di masa depan.

Ketidakmampuan bekerja dengan optimal pada akhirnya akan membuat seseorang memiliki pendapatan lebih rendah. Dampak yang satu ini tentu akan berpengaruh pada pendapatan negara dan produktivitas sumber daya manusianya. Bisa dibayangkan jika banyak warga di suatu negara menderita stunting, kemungkinan besar negara tersebut tidak akan bisa bersaing dengan negara lain.

Cara Mencegah Bayi Stunting


Stunting termasuk masalah serius yang harus segera ditangani. Untuk itu, pemerintah Indonesia menjadikan penanganan stunting sebagai salah satu program prioritas di bidang kesehatan agar angkanya bisa terus diturunkan setiap tahun. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mencegah bayi stunting?

1. Pencegahan stunting untuk Ibu hamil dan bersalin

Bayi stunting dapat dicegah dengan memberikan asupan bergizi dan bernutrisi untuk Ibu hamil dan menyusui. Makanan ini harus tinggi kalori dan mengandung mikronutrien yang dibutuhkan ibu dan bayi. Selain itu, Ibu juga perlu memantau kesehatan secara optimal dan melakukan proses persalinan di tenaga kesehatan seperti dokter maupun bidan. Saat melahirkan, Ibu juga perlu menjalani Inisiasi Menyusu Dini (IMD) yang dapat membantu mempererat bonding atau ikatan antara Ibu dan anak. IMD memiliki banyak sekali manfaat, salah satunya bisa membantu mencegah terjadinya stunting.

Upaya pencegahan stunting dilanjutkan dengan menyusui anak secara eksklusif sampai usianya 6 bulan, lalu dilanjutkan dengan memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) sambil terus menyusui anak hingga usianya 2 tahun atau lebih.

2. Pencegahan stunting untuk anak

Pencegahan bayi stunting juga perlu dilakukan kepada anak. Caranya dengan rutin memantau pertumbuhan dan perkembangan anak sejak baru lahir hingga usianya mencapai 17 tahun. Untuk bayi baru lahir, sebaiknya hanya diberikan ASI sampai usianya 6 bulan, lalu dilanjutkan dengan MPASI yang tentunya harus tinggi nutrisi dan gizi, sambil tetap disusui sampai umurnya dua tahun.

WHO dan UNICEF mengharuskan bayi berusia 6 sampai 23 bulan mendapat MPASI yang minimal terdiri dari 4 atau lebih jenis-jenis makanan berikut ini: umbi-umbian, kacang-kacangan, produk olahan susu, telur, sumper protein, sayur dan buah terutama yang kaya vitamin A). Selain itu, hal lain yang harus diperhatikan adalah ketentuan Minimum Meal Frequency (MMF), yaitu bayi 6 sampai 8 bulan yang diberi ASI harus diberi makan minimal 2 kali per hari, lalu bayi ASI berusia 9 sampai 23 bulan harus diberi makan minimal 3 kali sehari. Sedangkan untuk bayi yang tidak minum ASI dan berusia 6 sampai 23 bulan harus diberi makan minimal 4 kali per hari.

Selain memberi asupan makanan sehat, mencegah bayi stunting juga bisa dilakukan dengan melakukan stimulasi dini perkembangan anak serta memberikan pelayanan dan perawatan kesehatan yang optimal untuk anak. Ini bisa dilakukan dengan membawa anak ke posyandu atau puskesmas untuk diukur berat, tinggi, dan lingkar kepalanya secara berkala. Bisa juga membawanya rutin setiap bulan ke dokter anak, dan mengikuti program vaksin pemerintah.

Program Monitoring Gizi untuk Bayi Stunting atau Kerdil


Monitoring gizi menjadi upaya terpenting yang perlu dilakukan demi mencegah bayi stunting. Orangtua perlu mengecek berkala status gizi anak demi memastikan ia tumbuh dengan optimal sesuai usianya.

1. Rutin mengukur berat badan, panjang (tinggi) badan, dan lingkar kepala setiap bulan

Berat badan menjadi indikator pengukuran status gizi anak yang cukup sering dipakai. Berat badan dianggap bisa memberikan gambaran mengenai kecukupan zat gizi baik makro maupun mikro yang terdapat pada tubuh anak. Selain berat badan, panjang atau tinggi badan juga perlu rutin diukur setiap bulan. Berbeda dengan berat badan yang lebih cepat berubah, tinggi badan membutuhkan waktu lebih lama untuk bertambah. Hal ini karena perubahan tinggi badan sangat tergantung pada kualitas makanan yang dikonsumsi anak, bahkan makanan yang dimakan Ibu saat masih mengandung juga sangat berpengaruh. Untuk bayi yang masih di bawah 2 tahun, pengukuran lingkar kepala juga penting dilakukan. Hal ini agar kita punya gambaran soal pertumbuhan otak anak, apakah bertambah atau justru stagnan.

2. Memonitor pertumbuhan anak lewat kurva pertumbuhan WHO

Untuk mencegah bayi stunting, orangtua tidak hanya perlu mencatat BB, TB, dan LK anak saja, tapi juga harus memonitor pertumbuhan anak lewat kurva pertumbuhan WHO. Biasanya kurva ini terdapat di halaman belakang buku catatan kesehatan anak yang diberikan oleh layanan kesehatan tempat Ibu melahirkan. Kurva ini ada beberapa jenis, di antaranya kurva berat badan menurut usia (BB/U), kurva tinggi badan menurut usia (TB/U), dan kurva berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Dari kurva ini, orangtua bisa mengetahui grafik pertumbuhan anak, apakah berada di garis normal, di atas garis normal, atau di bawah garis normal.

3. Memberikan makanan tinggi nutrisi kepada anak

Memberikan makanan bergizi seimbang kepada anak juga termasuk program monitoring gizi yang diperlukan untuk mencegah bayi stunting. Saat masuk fase MPASI, perkenalkan anak dengan sebanyak mungkin jenis makanan bergizi, mulai dari karbohidrat, sayuran, lauk pauk, buah-buahan, serta produk susu. Selain memerhatikan kualitas, Ibu juga perlu memerhatikan kuantitasnya. Jangan sampai berlebihan memberi makan anak, namun juga jangan sampai kekurangan.

Penulis: Darin Rania
Editor: Dwi Ratih

Follow Ibupedia Instagram