Inilah 15 Cara Efektif Berkomunikasi dengan Anak
Seringkali kita temui anak-anak yang kesal sendiri, uring-uringan, atau lebih mudah tantrum tanpa bisa menjelaskan maksudnya. Anak-anak ini seperti kesulitan mengekspresikan apa yang dirasakan atau dipikirkan. Tahukah Ibu, bahwa anak-anak yang masih awal mempelajari bahasa dan cara berkomunikasi butuh ‘contoh’ agar bisa berkomunikasi dengan baik?
Contoh yang dimaksud tentu saja dari orang dewasa. Maka bagaimana orangtua berkomunikasi dengan anak adalah contoh paling utama untuk anak. Hal ini penting untuk dijadikan fokus karena anak akan mengembangkan pola komunikasinya dari apa yang ia lihat dan dengarkan di sekitarnya.
Selanjutnya, melansir dari laman Child Development Institute, cara orangtua berkomunikasi dengan anak akan mempengaruhi pembelajaran dan kemampuan anak untuk mendengarkan orang tua. Cara orangtua berkomunikasi dengan anak akan diserap anak seolah dengan cara yang samalah harusnya anak bicara pada orangtua.
Di laman yang sama juga dijelaskan bahwa ada 3 jenis tipe berkomunikasi dengan anak. Pertama, Komunikasi Agresif. Orangtua yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang banyak berteriak saat bicara, yang menggunakan kalimat kasar dan menyudutkan, serta yang merendahkan saat berkomunikasi dengan anak. Anak-anak dengan orangtua seperti ini merespons dengan berbagai cara, tetapi kebanyakan menunjukkan gelagat seperti berteriak balik, bertingkah hiperaktif, mengabaikan kata-kata orangtua, bahkan ada anak yang akan menjadi penakut dan cenderung mengucilkan diri.
Kedua, Komunikasi Pasif. Orangtua dalam kategori ini berkomunikasi dengan anak dalam nada yang pelan dan terlalu berhati-hati dalam pemilihan kata. Hasilnya, anak cenderung bergantung pada orangtua dan lebih nyaman jika selalu di dekat orangtua saat sosialisasi. Sayangnya, karena terlalu pasif, maka saat orangtua tertekan, mereka bisa saja langsung mengubah nada suara ke versi agresif. Anak akan bingung, bukan?
Ketiga, Komunikasi Asertif. Komunikasi asertif dipercaya sebagai pola berkomunikasi dengan anak yang paling efektif untuk diterapkan ke segala jenis usia. Gaya berkomunikasi ini tegas, konsisten, jelas, hangat, dan penuh percaya diri. Dalam komunikasi ini, orangtua juga lebih banyak mendengarkan. Sehingga anak akan melihat ayah dan ibunya mendengarkan dan menghargai pendapatnya. Maka anak pun akan berkomunikasi dengan lebih percaya diri dan mau mendengarkan apa yang orangtuanya sampaikan.
Orangtua memang sebaiknya menggunakan gaya berbicara yang baik dan bisa diterima anak. Karena anak adalah spons yang menyerap segala hal di sekitarnya, maka bisa saja gaya bicara yang kurang baik akan ditiru. Nah, tetapi apabila Ibu masih menemui kesulitan berkomunikasi dengan anak agar mereka mau mendengarkan, Ibu bisa mencoba beberapa tips berikut:
Introspeksi Diri
Menurut Najeela Shihab, psikolog sekaligus akademisi pendidikan dalam video Seri Pendidikan Orangtua yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan bahwa ada 3 kesalahan umum yang dilakukan orangtua sehingga menghambat keefektifan dalam berkomunikasi dengan anak. Inilah yang harus segera diubah agar tercipta interaksi yang hangat dalam berkomunikasi dengan anak.
Kehadiran Orangtua yang Tidak Penuh: Orangtua hadir secara fisik, namun absen secara hati dan pikiran karena melamun, memikirkan hal lain, atau distraksi gawai dan lainnya. Padahal, seharusnya orangtua hadir secara utuh, fisik dan hatinya fokus mendampingi anak.
Nasihat yang Memblokir Komunikasi: Orangtua seringkali menggunakan nasihat yang justru menghambat interaksi dan membuat anak enggan mendengarkan. Cara ini sebaiknya diganti dengan refleksi pengalaman yang membuat anak belajar secara tersirat dan melatih kemampuan berpikirnya dalam mengartikan hubungan sebab-akibat.
Menggunakan Kata yang Tidak Tepat: Label negatif maupun tuduhan pada anak termasuk kata yang tidak tepat yang membuat komunikasi jadi tidak efektif. Ibu bisa menggantinya dengan menyatakan perasaan Ibu secara lugas dan konkrit, seperti, “Ibu khawatir kaki Kakak terluka karena menginjak mainan yang berserakan.”
Jika Ibu menyadari bahwa Ibu kurang memperhatikan anak saat mereka bicara, atau Ibu tampak kurang antusias saat mereka sedang semangat bercerita, Ibu bisa mulai mengubah cara Ibu memperlakukan anak. Dengarkan anak saat ia semangat menceritakan pengalamannya bersama teman atau kegiatannya di sekolah. Pelajari bagaimana menggunakan nada suara yang tegas tapi hangat untuk didengar. Be a good role model, your child will naturally adjust.
Pancing Anak untuk Bercerita
Meminta anak bercerita, lalu mendengarkan dengan saksama bisa menjadi kunci awal terbukanya pola komunikasi antara orangtua dan anak. Anak akan perlahan mengubah gaya bicaranya juga jika Ibu mencontohkan dengan baik. Anak juga akan lebih mendengarkan Ibu nantinya karena ia melihat bahwa Ibu mendengarkannya.
Menanggapi Anak Bahkan Dalam Hal Sensitif
Membicarakan perasaan seperti marah, sedih, malu, dan takut juga bisa membantu anak lebih terbuka pada Ibu. Saat Ibu berhasil membuat anak merasa nyaman dengan membicarakan hal-hal yang bagi anak adalah hal sensitif, maka ia akan merasa bahwa Ibu memahaminya. Ibunya mendengarkannya. Lalu anak akan dengan mudah mendengarkan Ibu juga. Ia juga akan mengerti saat Ibunya memiliki perasaan serupa dan mau untuk mendengarkan kata Ibunya. Cara ini efektif digunakan dalam berkomunikasi dengan anak yang masih sering memendam pengalamannya.
Sebut Nama Anak
Percaya tidak, Bu, kalau kita dipanggil dengan nama kita sendiri, maka akan ada rasa bangga menyelimuti hati? Seolah kita merasa senang karena orang lain tengah menggunakan nama kita untuk menyampaikan sesuatu. Lalu secara otomatis, kita akan merasa perlu untuk mendengarkan apa yang orang tersebut sampaikan. Anak juga begitu lho, Bu. Anak akan memberi perhatian lebih pada apa yang Ibu katakan saat Ibu menyebut namanya. Sebutkan namanya, lalu tunggu hingga anak benar-benar melihat Ibu, baru katakan apa yang ingin Ibu sampaikan padanya.
Gunakan Kalimat Positif
Usahakan mengurangi penggunaan kata “tidak” dan “jangan”. Jika sudah terbiasa, Ibu nantinya akan bisa sama sekali tidak menggunakan kata tersebut. Tetapi jika belum bisa, setidaknya minimalisir penggunaannya ya, Bu. Kalimat yang mengandung kata “tidak” dan “jangan” lebih rentan untuk dibantah atau diabaikan oleh anak. Misalnya, ganti kalimat “jangan lari-lari” menjadi “jalan aja yuk”, atau “tidak boleh petik tanaman” menjadi “tanamannya disayang ya, biarkan daun dan bunganya tumbuh”.
Kalimat yang Ibu gunakan hendaknya juga tidak mengandung unsur mempermalukan anak atau menghujat anak. Seperti: “jangan kayak anak kecil, deh” (faktanya memang mereka masih kecil ya), “jangan malu-maluin”, “kamu nakal sekali, sih”.
Kalimat seperti ini termasuk dalam labeling pada anak dan biasanya akan memengaruhi emosi anak. Ia akan cenderung merasa tidak berharga. Anak juga akan lebih menarik diri dan tidak percaya diri. Sementara kalimat positif akan membantu anak untuk menemukan kepercayaan dirinya. Kalimat positif juga baik untuk membentuk perilaku anak karena mereka terbiasa mendengar dan meniru hal positif. Oh ya, jika Ibu juga menambahkan ucapan terima kasih setelah anak membantu Ibu, anak akan merasa dihargai dan mau untuk lebih dekat dengan orangtuanya. Lebih dekat dengan orangtua berarti lebih mau mendengarkan orangtuanya. Ucapan terima kasih juga bisa diucapkan untuk hal kecil yang anak lakukan dengan sukarela, atau sekedar mendengarkan saat Ibu bicara.
Buat Kontak Mata
Kontak mata dengan anak perlu dilakukan untuk membuat anak mengerti bahwa apa yang sedang Ibu katakan itu penting. Duduklah atau berlutut agar mata Ibu sejajar dengan mata anak. Pangku anak berhadapan dengan Ibu bila perlu, baru katakan apa yang ingin Ibu sampaikan. Jika Ibu hanya membungkuk tanpa benar-benar menatap anak, Ibu masih akan kesulitan mengendalikan emosi anak. Karena posisi tersebut membuat punggung Ibu lebih cepat lelah dan napas jadi tersengal. Sehingga cara berkomunikasi dengan anak akan terkesan seperti buru-buru dan anak akan berpikir Ibu tidak sungguh-sungguh.
Sebut nama anak agar matanya bertemu dengan mata Ibu. Ini berguna agar Ibu mendapat perhatiannya. Sikap seperti ini juga sebagai pendidikan bagi anak agar anak belajar menghargai orang lain dengan menatap mata orang lain yang bicara padanya. Di lain waktu, jika anak ingin bicara, lakukan hal serupa, agar anak merasa dihargai.
Atur Volume Suara dengan Baik
Volume suara adalah hal yang paling butuh dikontrol oleh orangtua saat berbicara dengan anak karena paling sulit diatur untuk tidak beroktaf tinggi. Volume suara menjadi lebih tinggi utamanya saat orangtua mulai kesal dengan apa yang dilakukan anak. Tetapi apakah anak akan mendengarkan?
Rupanya tidak. Suara bervolume tinggi biasanya keluar saat orangtua berada jauh dari anak tapi butuh mengatakan sesuatu, atau saat orangtua marah. Nah, ketika volume suara yang Ibu keluarkan meninggi, anak bisa memproses dirinya untuk otomatis tidak mendengarkan apa yang Ibu bicarakan, bahkan cenderung merasa takut. Saat Ibu berjauhan dengan anak dan berteriak saat mengatakan sesuatu, maka anak akan menganggap Ibu tidak serius. Sehingga mereka tidak akan mendengarkan. Sedangkan saat Ibu marah, nada tinggi akan membuat anak ketakutan dan tidak bisa memproses kalimat yang Ibu sampaikan. Apalagi jika omelannya panjang sekali. Anak akan semakin tidak mengerti karena merasa kalimat Ibu terlalu panjang. Maka, gunakan volume suara yang sedang karena lebih menenangkan dan menyenangkan untuk didengar.
Sederhanakan Kalimat
Menyederhanakan kalimat dapat membantu anak lebih memahami maksud dari perkataan Ibu. Kalimat ringkas akan mudah diproses oleh si kecil daripada kalimat yang panjang. Gunakan kalimat seperti “15 menit lagi kita mandi ya, Nak” lalu biarkan ia menyelesaikan mandinya dan Ibu tambahkan apa yang harus dilakukan oleh anak setelahnya. Ibu bisa menyambungnya dengan, “Terima kasih sudah mau mandi sama Ibu. Setelah ini kita makan ya”.
Minta Anak Mengulangi Instruksi
Menurut Sahabat Keluarga, Ibu bisa meminta anak untuk mengulangi instruksi yang sudah ibu katakan pada anak, untuk memastikan anak paham. Untuk hal-hal sederhana memang tidak harus selalu diulang. Tetapi untuk hal-hal yang bersifat penting, Ibu bisa meminta anak untuk mengulangnya. Selain untuk memastikan apakah anak paham atau tidak, hal ini juga bagus untuk mengetes daya ingat anak saat menyimak.
Menciptakan Rutinitas
Membiasakan rutinitas penting dalam berkomunikasi dengan anak. Apakah Ibu pernah merasa anak sulit diajak mandi dan lebih memilih untuk bermain? Jika anak sedang fokus pada suatu hal, anak pasti akan menolak untuk melakukan hal lain. Ibu sendiri tidak suka kan jika sedang asyik melakukan sesuatu malah diintervensi oleh hal lain? Anak pun begitu. Maka dari itu, dengan membuat rutinitas, anak akan lebih mudah diajak berkomunikasi untuk melakukan apa yang Ibu minta. Anak akan bisa menentukan sendiri kapan ia mau mengubah aktivitasnya saat ini ke aktivitas yang sudah rutin ia lakukan. Anak pun akan dengan senang hati menuruti Ibu untuk mandi atau makan di jam sesuai rutinitasnya.
Baca Body-Language Anak
Mengapa membaca body-language itu penting dalam berkomunikasi dengan anak? Karena setiap hal kecil pada anak bagi mereka itu penting. Jika Ibu memberi perhatian lebih pada gelagat yang anak tunjukkan, anak akan merasa diperhatikan. Hal ini akan menjadi kunci agar saat Ibu bicara tentang sesuatu, anak akan memperhatikan Ibu juga. Contoh kalimatnya seperti ini, “Ibu lihat kamu banyak diam hari ini, apa kamu sedang sedih?”
Ekspresikan dengan Gambar
Adakalanya hal-hal yang berhubungan dengan perasaan, sulit dipahami anak karena mereka tidak bisa melihat bentuk perasaan itu seperti apa. Ibu bisa menggunakan media gambar untuk menyampaikan maksud Ibu. Misalkan, jika anak sedang mengotori karpet dengan sisa makanannya, Ibu bisa membuat gambar sederhana yang berbentuk ekspresi seseorang yang sedih. Tunjukkan pada anak, sambil katakan, “Ibu sedih kalau karpetnya kotor. Yuk, bantu Ibu bersihkan?” Cara ini bisa membantu anak memahami, bahwa ada orang lain yang merasa terganggu jika ia melakukan sesuatu hal yang tidak baik. Hal ini juga efektif untuk melatih empati anak. Karena anak jadi mengerti bahwa tidak semua yang ia lakukan cocok untuk orang lain.
Anggap Anak Adalah Partner Bicara yang Seusia
Meski saat berbicara pada anak diperlukan bahasa yang ringan, ringkas, dan mudah dipahami, Ibu tetap harus menganggap anak adalah partner seusia untuk diajak bicara. Maksudnya, apa pun pertanyaan dari si kecil, tanggapi dan jawab dengan benar. Libatkan ia dalam diskusi yang serius tapi menyenangkan. Hindari menjawab pertanyaan si kecil dengan asal-asalan, atau jawaban-jawaban nyeleneh yang bukan sesuai kenyataannya. Karena saat anak bertanya, ia ibarat gelas kosong yang belum terisi apa pun. Jika Ibu mengisinya dengan informasi yang dibuat sebagai lelucon, maka anak akan menganggap itulah yang benar. Suatu saat nanti jika ia menemukan jawaban yang sesungguhnya, anak akan merasa kecewa karena Ibunya tidak menyampaikan fakta yang sesungguhnya. Hasilnya, anak jadi enggan mendengarkan Ibu dan menganggap Ibu suka memberi informasi lelucon dan upaya berkomunikasi dengan anak pun jadi tidak efektif.
Kurangi Interupsi Saat Anak Bicara
Saat anak bicara, upayakan untuk tidak memotong pembicaraannya meski Ibu sudah tahu jalan cerita yang sebenarnya. Dengarkan saja dulu dan respons dengan “oh ya? Terus terus gimana?”, atau “wah, begitu ya. Hebat sekali”. Bisa juga Ibu tambahkan anggukan sebagai tanda Ibu memahami dan mengikuti jalan ceritanya dengan cermat. Dengan memilih untuk tidak menginterupsi anak saat bicara dapat membantu anak percaya pada Ibu, kelak mereka akan bersikap yang sama saat Ibu bicara.
Perkuat Hubungan Emosional dengan Anak
Anak-anak yang sulit mendengarkan orangtuanya bisa disebabkan karena mereka kurang memiliki kedekatan emosional dengan orangtua. Ini tentu saja menghambat proses berkomunikasi dengan anak yang efektif. Ibu perlu meluangkan waktu lebih banyak dengan anak agar anak merasa Ibu adalah orang terdekatnya, yang ucapan atau perintahnya penting untuk dilakukan. Kesampingkan ego dan luangkan waktu lebih banyak dengan cara membaca buku, menemani bermain, atau makan bersama. Hal-hal ini bisa membantu Ibu lebih dekat dengan anak dan anak merasa nyaman untuk mendengarkan Ibu.
Nah, sudahkah Ibu mendengarkan anak hari ini?
(Dwi Ratih)