Ibupedia

Kelainan Spektrum Autisme pada Anak

Kelainan Spektrum Autisme pada Anak
Kelainan Spektrum Autisme pada Anak

Kelainan spektrum autisme (Autism Spectrum Disorders) juga dikenal dengan ASD, autism, autism disorder, AD, Asperger syndrome, Asperger's disorder, dan pervasive developmental disorder-not otherwise specified, atau PDD-NOS.

Menurut asosiasi dokter anak Amerika, Autism Spectrum Disorders adalah sekelompok kondisi lingkungan yang meliputi autism disorder, Asperger's disorder dan pervasive developmental disorder-not otherwise specified. Kelainan spektrum autisme mempengaruhi cara kerja otak dan bagaimana seseorang berinteraksi secara sosial.

ASD termasuk kelainan spektrum karena kondisi ini bervariasi secara luas dari tingkat sangat ringan hingga berat. Para ahli telah sepakat tentang kondisi mana saja yang dikategorikan spektrum, dan beberapa spesialis memasukkan Rett syndrome atau gangguan disintegrasi masa kanak-kanak dalam diagnosa mereka.

Dilaporkan bahwa 1 dari 88 anak mengalami kelainan spektrum autisme. Kondisi ini sekitar 5 kali lebih mungkin terjadi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan. Anak dengan autism disorder mengalami masalah sosial, kesulitan dalam menggunakan bahasa, berperilaku repetitif, dan minat yang obsesif. Gejala yang biasa muncul di saat anak berusia 3 tahun antara lain:

  • Tidak membalas suara, senyuman, atau ekspresi wajah lainnya hingga di usia 9 bulan.
  • Kehilangan kemampuan untuk mengoceh, berbicara, atau mengembangkan kemampuan sosial di usia berapapun.
  • Tidak mengoceh atau membalas gerak tubuh hingga usia 12 bulan.
  • Mengalami kesulitan untuk menggunakan atau memahami petunjuk nonverbal, seperti ekspresi muka atau postur dan bahasa tubuh.
  • Gagal menjalin komunikasi dengan anak lain.
  • Menghindari kontak mata.
  • Tidak mampu berinteraksi dengan orang lain atau mengungkapkan perasaan.
  • Tidak mampu berbagi minat atau pencapaian dengan orang lain, misalnya tidak berbagi atau menunjuk objek yang diminati.
  • Mengalami keterlambatan berbahasa atau tidak mampu untuk berbicara.
  • Tidak mampu memulai atau mempertahankan percakapan.
  • Berbicara dengan cara repetitif atau cara yang tidak wajar.
  • Memiliki minat yang obsesif.
  • Kurang melakukan permainan yang meniru interaksi sosial.
  • Menekankan rutinitas atau ritual.
  • Menjadi marah disebabkan oleh perubahan yang kecil.
  • Memiliki reaksi tidak biasa pada rasa, penampilan, atau perasaan tertentu.
  • Menunjukkan perilaku repetitif, seperti menepuk tangan atau memutar pergelangan tangan, bergoyang, atau berputar membentuk lingkaran.
  • Memiliki kemampuan motorik kasar yang lemah seperti kesulitan memegang krayon atau berlari.
  • Merasa senang dengan komponen sebuah objek, misalnya roda kereta mainan atau baling-baling mainan helikopternya.

Asperger merupakan kelainan spektrum autisme pada anak yang lebih ringan. Anak yang mengalami Asperger memiliki kesulitan dengan interaksi sosial dan mengembangkan perilaku repetitif, tapi memiliki kemampuan bahasa dan intelegensi yang normal. Asperger biasanya terlihat ketika anak mulai masuk taman kanak-kanak dan mulai bersosialisasi dengan anak lain secara teratur.

Anak yang memiliki beberapa gejala autism atau Asperger (tapi tidak cukup untuk menjadi sebuah diagnosa) kemungkinan mengalami pervasive developmental disorder-not otherwise specified (PDD-NOS). Anak dengan PDD-NOS biasanya memiliki kemampuan sosial yang buruk, kemampuan verbal dan nonverbal yang terbatas, atau perilaku yang repetitif. Anak biasanya menerima diagnosa PDD-NOS saat usia sekolah.

Tidak ada yang mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan Autism Spectrum Disorders. Para ahli mengira ASD merupakan kondisi genetik yang berkembang di masa kehamilan dini dan memiliki lebih dari satu penyebab. Selain faktor gen, faktor lain seperti orngtua yang lebih tua, menjadi anak laki-laki, dan eksposur terhadap pemicu lingkungan, seperti eksposur janin terhadap racun, juga bisa memiliki andil.

Penelitian terbaru masih fokus pada faktor gen yang mempengaruhi perkembangan otak dan neurotransmission (cara sel otak berkomunikasi), tapi para ahli juga menduga kondisi medis tertentu bisa berhubungan dengan ASD. Anak yang rentan terhadap sindrom X, tuberous sclerosis, phenylketonuria, fetal alcohol syndrome, Rett syndrome, Angelman syndrome, dan Smith-Lemli-Opitz syndrome memiliki resiko lebih besar terkena autis. Penelitian masih dilakukan karena masih belum jelas bagaimana kondisi ini mengarah pada kelainan spektrum autisme.

Kontroversi bahwa bahan pengawet pada beberapa jenis vaksin dapat menyebabkan autis telah terjadi sekian lama, banyak orangtua yang merasa bingung dan menjadi khawatir tentang kesehatan anak mereka. Beberapa orangtua ada yang merasa khawatir dengan vaksin campak, gondok dan rubella yang diduga bisa menyebabkan autism. Sebagian orangtua lain cemas anak mereka menjadi autis karena penggunaan vaksin yang umum pada anak yang memiliki kandungan merkuri dalam bentuk thimerosal.

Thimerosal mengandung gabungan merkuri yang dikenal dengan ethyl mercury. Ini tidak sama dengan methyl mercury, yang ditemukan pada beberapa jenis ikan dalam jumlah besar. Methyl mercury terakumulasi pada jaringan tubuh manusia. Pada tingkat tertentu,  methyl mercury dapat merusak perkembangan kognitif pada anak kecil. Itulah sebabnya badan pengawas obat dan makanan menyarankan anak tidak mengkonsumsi ikan jenis tertentu.

Dari penelitian tentang vaksin, para ilmuwan menyimpulkan bahwa ethyl mercury tidak memiliki efek yang sama dengan methyl mercury. Ditambah lagi, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa tubuh melenyapkan ethyl mercury lebih cepat daripada methyl mercury.

Jadi ethyl mercury tidak terakumulasi pada jaringan tubuh manusia. Berdasarkan penelitian lain, satu-satunya efek samping pemakaian thimerosal pada vaksin adalah reaksi minor berupa merah dan bengkak di area injeksi pada beberapa pasien.

Selama bertahun-tahun, banyak penelitian telah membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara autism dan vaksin. Para ahli melihat peningkatan kasus autism yang terjadi selama lebih dari satu dekade, meski Amerika dan negara-negara lain telah menghentikan penggunaan thimerosal pada sebagian besar vaksin untuk anak. Jadi tidak ada bukti bahwa vaksin bisa menyebabkan autism.

Perawatan untuk autism bisa bervariasi, bergantung pada diagnosa spesifik dan tingkat seberapa parah kondisinya. Meski tidak ada penyembuhan untuk autism, semakin cepat anak Anda mendapat perawatan, akan semakin baik hasilnya. Perawatan bisa mencakup bantuan dari dokter, guru, psikolog, dan ahli terapi bicara. Perawatan yang dilakukan bisa berupa tipe terapi atau latihan yang berbeda, antara lain:

  • Social skills training untuk membantu anak Anda belajar bagaimana berinteraksi dengan baik dengan orang lain.
  • Occupational or physical therapy untuk membantu anak Anda mengatasi masalah sensori atau meningkatkan koordinasi.
  • Behavioral therapy untuk membantu anak Anda mengatur emosi, minat yang obsesif, dan perilaku repetitif.
  • Family education untuk mengajarkan orangtua dan saudara kandung mengenai teknik perilaku untuk diterapkan di rumah.
  • Speech and language therapy untuk mengembangkan kemampuan anak Anda berbicara dan kemampuan untuk bercakap-cakap dengan orang lain.

Pengobatan juga menjadi bagian yang penting dalam perawatan anak Anda. Dokter anak Anda bisa meresepkan obat untuk mencegah perilaku agresif atau untuk menghentikan anak Anda menyakiti dirinya sendiri. Anak dengan Autism Spectrum Disorders kadang juga memiliki masalah tidur, seizure, depresi, kecemasan, obsessive-compulsive disorder, atau masalah perilaku lain yang membutuhkan pengobatan. Menjalani perawatan untuk kondisi yang muncul bisa meringankan beberapa gejala ASD.

(Ismawati)

Follow Ibupedia Instagram