Metode Disiplin Model Lama, Apakah Masih Efektif?
Setiap keluarga memiliki cara mendisiplinkan anak yang berbeda. Ada yang memilih melakukan pendekatan secara halus dan lembut, namun tidak sedikit yang mengadopsi cara mendisiplinkan anak di masa lalu, seperti berteriak, memukul bokong, atau menerapkan metode time-out (setrap) kepada anak mereka.
Terkadang, cara mendisiplinkan anak dilakukan bersamaan dengan meletupnya emosi kita selaku orang tua. Misalnya nih, ada saat di mana perilaku anak Ibu seperti tak terkontrol. Tanpa disadari, kata-kata dan omelan dengan nada tinggi keluar dari mulut Ibu. Teriakan seperti, "Sana masuk kamar!” begitu saja meluncur dari lisan Ibu.
Ibu merasa marah-marah seperti itu adalah salah satu cara mendisiplinkan anak yang tepat. Padahal, kalau mau jujur, sebenarnya Ibu tidak sedang melakukan cara mendisiplinkan anak, melainkan meluapkan emosi Ibu. Iya atau tidak, nih Bu?
Dan biasanya, setelah ngomel dan marah-marah kepada si kecil seperti itu energi Ibu serasa terkuras habis dan tak jarang Ibu malah menyesalinya. Lantas, beberapa saat kemudian Ibu seolah tersadar bahwa cara mendisiplinkan anak lewat teriakan seperti yang baru saja Ibu lakukan tak jauh berbeda dengan apa yang diterapkan orang tua Ibu di masa lalu.
Ibu pernah mengalami situasi seperti itu? Jika iya, Ibu tidak sendirian kok. Reaksi seperti itu sebagai cara mendisiplinkan anak yang sedang berperilaku tidak baik juga kerap terjadi saat kita masih kecil dulu. Meski cara mendisiplinkan anak dengan berteriak, memukul bokong, atau melakukan time-out adalah hal yang biasa dilakukan di masa lalu, bukan berarti hal tersebut masih efektif dilakukan pada zaman sekarang.
Berikut ini pendapat para ahli mengenai cara mendisiplinkan anak model lama beserta alasan untuk tetap menggunakan atau meninggalkannya.
3 Cara mendisiplinkan anak model lama yang tidak lagi efektif dilakukan
Cara mendisiplinkan anak dengan berteriak
Berteriak adalah salah satu cara mendisiplinkan anak model lama yang paling sering dilakukan para ibu. Biasanya hal ini dilakukan secara spontan tatkala si kecil melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasi orang tua atau melakukan tindakan di luar kontrol.
Cara mendisiplinkan anak model lama ini terkesan wajar dilakukan memang, apalagi jika ini hanyalah reaksi spontan dari orang tua. Tapi coba Ibu pikir, jika Ibu tumbuh dewasa di rumah yang penuh teriakan, Ibu juga kemungkinan membesarkan anak dengan cara yang sama. Sebanyak 98 persen anak usia 7 tahun kerap diteriaki oleh orang tua mereka sebagai salah satu cara mendisiplinkan anak. Dan tahukah Ibu, bukti ilmiah mengungkapkan bahwa teriakan konstan secara emosional berbahaya bagi anak? Lebih jauh lagi, meski "hanya" verbal, tindakan ini juga termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak, lho!
Jika berteriak sudah menjadi kebiasaan, dan menjadi cara mendisipinkan anak di keluarga Ibu, itu berarti Ibu tengah menciptakan jebakan untuk diri sendiri. Si kecil akan menunggu hingga Ibu berteriak untuk memastikan Ibu bersungguh-sungguh. Dabn tahu nggak Bu, cara mendisiplinkan anak lewat berteriak sebenarnya mengurangi pengaruh Ibu terhadap anak. Ibu memaksa diri sendiri untuk menggunakan intensitas emosional yang lebih tinggi dari yang seharusnya.
Jika berteriak tidak lagi efektif dilakukan, lalu bagaimana cara mendisiplinkan anak yang lebih tepat? Yang perlu Ibu lakukan adalah bersikap tegas tapi tidak emosional. Jika Anda merasa ingin berteriak, segera tarik nafas dalam atau minta pasangan Anda untuk mengambil alih. Meninggikan volume suara bukanlah cara untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan.
Semakin sering Ibu berusaha melakukan cara mendisiplinkan anak dengan berteriak, semakin cepat anak akan menjadi terbiasa dengan kondisi ini. Buah hati Anda akan membagun toleransi untuk teriakan Anda, sehingga nada suara Anda harus lebih keras lagi dan lagi dengan frekuensi yang lebih lama. Pada akhirnya, Ibu harus berteriak hanya untuk bisa didengar anak. Duh, menyedihkan sekali bukan?
Nada suara yang tinggi dan emosional mengirimkan pesan yang salah dan mencerminkan kendali yang hilang, dan itu makin menguatkan pendapat bahwa cara mendisiplinkan anak lewat teriakan tidak lagi efektif. Suara Ibu seharusnya menunjukkan kalau Ibu tegas, memiliki kontrol, dan dihormati. Ungkapkan apa yang Ibu inginkan dalam nada suara bicara yang biasa.
Selain itu, tingkah laku akan menyampaikan pesan lebih kuat daripada perkataan yang diucapkan dengan volume suara tinggi. Jadi bersiaplah mengambil tindakan dengan segera jika anak Ibu terus berperilaku tidak baik. Daripada terus berteriak sebanyak tiga kali hanya untuk meminta anak mematikan TV, lebih baik jika Anda melakukannya sendiri.Cara mendisiplinkan anak dengan memukul bokong
Nah, cara mendisiplinkan anak model lama kedua yang juga sering dilakukan orang tua zaman dulu adalah memukul bokong si kecil. Berdasarkan sebuah poling, sebanyak 86 persen dari orang tua pernah dipukul pada bagian bokong saat mereka kecil. Dan sebesar 68 persen orang tua dari kelompok ini melakukan hal yang sama pada anak mereka sendiri.
Banyak orang tua mengatakan kalau mereka hanya memukul anak saat muncul perilaku yang berisiko membahayakan seperti ketika batita mereka berlari ke jalan raya. Karena itu, cara mendisplinkan anak dengan memukul bokong dilakukan dan dianggap sebagai salah satu cara terbaik agar anak tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Beberapa orang tua mengatakan pukulan di bagian bokong adalah cara mendisiplinkan anak yang efektif ketika semua cara gagal diterapkan. Sedangkan orang tua lain menganggap hal ini sebagai kekerasan terhadap anak. Sebenarnya, ada alternatif yang lebih baik dari memukul yaitu isolasi seperti time-out, reparasi, dan mengambil alih hal yang menyenangkan dari si anak. Tujuan dari alternatif ini tak lain untuk membuat anak berpikir dua kali sebelum membuat kesalahan.
Cara mendisiplinkan anak dengan memukul adalah solusi yang bersifat sementara yang memiliki lebih banyak dampak buruk ketimbang dampak baiknya. Cara mendisiplinkan anak zaman old ini dikatakan berhasil karena memiliki pengaruh eksternal terhadap anak, tapi tidak mengakibatkan terjadinya pembuatan keputusan internal. Cara mendisiplinkan anak dengan memukul sebenarnya lebih menyebabkan anak fokus kepada hukumannya daripada memahami perilaku mereka yang tidak tepat.
Cara mendisiplinkan anak dengan memukul juga memiliki efek samping, lho! Anak akan merasa malu, marah, dan berkeinginan untuk membalas. Anak yang dipukul biasanya merasa tidak aman. Banyak anak yang dipukul menjadi memiliki penghargaan buruk tentang dirinya, berperilaku agresif, mudah emosi, terlalu aktif serta ada juga yang menarik diri dari lingkungannya.
Bagaimana kita bisa membuat anak memahami bahwa tidak baik menyakiti orang lain bila kita kerap menyakiti mereka dengan pukulan sebagai cara mendisiplinkan anak? Untuk anak usia 2 hingga 4 tahun, pengawasan yang lebih intensif disertai pengalihan perhatian bisa menjadi alat yang lebih baik dalam menerapkan kedisiplinan.
Beberapa anak akan terus berontak hingga mereka mendapat pukulan untuk menjadi tenang. Mereka seperti dikondisikan untuk tidak bisa tenang dan kooperatif hingga mereka dipukul. Jika si kecil berperilaku seperti ini, coba pegang ia dengan kuat di pangkuan Anda. Jangan lepaskan pegangan Anda meski ia berusaha terus melepaskan diri hingga ia menjadi tenang.Metode disiplin dengan time-out
Cara mendisiplinkan anak model lama yang juga sudah kurang efektif dilakukan saat ini adalah time-out. Orang tua kita memang tidak menyebutnya time-out, tapi sebenarnya mereka dulu juga menggunakannya. Semacam setrap kalau di sekolah gitulah, Bu.
Ibu masih ingat kan saat orangtua kita dengan nada tinggi mengatakan, “Sana pergi masuk kamar!” Nah, cara mendisiplinkan anak dengan membiarkan anak sendiri di pojokan atau di tempat tertentu untuk mengevaluasi kesalahannya itulah yang disebut time-out. Hampir sama seperti hukuman setrap di sekolah zaman dulu, kan?
Cara mendisiplinkan anak dengan metode time-out menjadi favorit bagi orang tua dengan anak usia 2 tahun, begitu juga bagi mereka yang memiliki anak di TK dan SD. Tapi orang tua dengan anak yang lebih kecil mendapati teknik ini tidak terlalu berhasil.
Tidak semua cara mendisiplinkan anak dengan time-out diberlakukan sama. Ada yang menggunakan cara mendisiplinkan anak dengan time-out dengan cara yang lebih lembut dari orang tua mereka. Misalnya, seorang ibu mengakui dulu ketika kecil orang tuanya menguncinya di kamar sebagai satu bentuk time-out. Ia menerima hal ini sebagai cara yang tidak mendidik sehingga ia tidak memberlakukan time-out sebagai cara mendisiplinkan anak dengan cara yang sama seperti orang tuanya dulu.
Cara mendisiplinkan anak dengan time-out bisa efektif bila anak menjadi tenang, lalu ia berpikir dan berbicara tentang apa yang baru saja terjadi dan apa yang bisa ia lakukan pada kesempatan selanjutnya. Tujuan isolasi bukan untuk menolak anak tapi untuk memisahkan ia dari situasi yang bermasalah.
Cara mendisiplinkan anak dengan time-out juga dinilai berhasil bila anak segera dipindahkan dari perilaku tidak sesuai dan diminta duduk tenang sendirian agar ia berpikir tentang tindakannya. Time-out diyakini sebagai cara mendisiplinkan anak yang lebih lembut dibanding memukul atau berteriak karena dapat membantu anak agresif menjadi tenang.
Meski begitu, cara mendisiplinkan anak denga time-out harus disesuaikan dengan usia, watak, dan seberapa parah perilaku buruk anak. Anda harus mengajarkan pergantian perilaku pada si kecil. Setelah menjalani time-out, minta anak Anda untuk menggambar atau menuliskan perilakunya yang tidak tepat.Ibu juga bisa langsung berbicara mengenai sikap si kecil. Tanyakan pada anak Anda, “Apa yang akan kamu lakukan lain waktu?” Anak yang lebih besar dapat membuat pernyataan kesungguhannya melalui gambar atau beberapa kalimat yang menjelaskan bagaimana mereka berencana mengubah perilakunya.
Cara mendisiplinkan anak dengan time-out direkomendasikan para ahli bila tujuannya positif. Sebab, time-out dapat memberikan anak jeda dalam waktu singkat untuk merenung. Periode penenangan ini memungkinkan anak untuk menjadi lebih baik dan memberinya kesempatan untuk merasa lebih baik. Namun terkadang, istilah time-out sebagai cara mendisiplinkan anak memiliki asosiasi yang negatif. Jika Ibu merasa seperti itu, sebaiknya Ibu perlu mengubah istilah cara mendisipiinkan anak ini dengan menjadi “pojok tenang” atau “tempat menjadi baik.”
Untuk anak yang lebih kecil, cara mendisiplinkan anak dengan time-out bisa dilakukan dengan memberinya buku dengan bentuk yang menarik untuk dibaca atau bantal besar untuk ia merebahkan badan.Meski terkesan paling lembut di antara cara mendisiplinkan anak model lama yang lain, time-out sebenarnya sudah tidak terlalu efektif dilakukan zaman sekarang, lho. Ada beberapa alasan mengapa cara mendisiplinkan anak ini sebaiknya tidak lagi dilakukan. Di antaranya, cara mendisiplinkan anak dengan time-out jika dilakukan dengan tidak tepat dapat membuat anak merasa terasingkan, merasa ditolak, dipermalukan, dan pada akhirnya merasakan sakit yang sama seperti ketika Anda melakukan kekerasan secara fisik.
Karena itu, time-out masih bisa dilakukan sebagai cara mendisiplinkan anak namun lakukanlah dengan tepat tanpa menyebabkan anak merasa terkucilkan. Manfaatkan time-out sebagai sarana memperkuat ikatan ibu dan anak (dengan memeluk dan mengajaknya berbicara setelah time-out selesai). Peluk dan ciumlah si kecil ketika time-out usai, hargailah upayanya untuk berubah menjadi lebih baik, dan tunjukkan cinta Anda kepadanya.
5 cara mendisiplinkan anak yang bisa Anda lakukan
Bagaimanapun juga, cara mendisiplinkan anak tetap harus diupayakan, namun hindari kekerasan di dalamnya. Lalu bagaimana cara mendisiplinkan anak yang lebih efektif dilakukan pada saat ini dibandingkan cara mendisiplinkan anak tempo dulu?
Ada beberapa cara mendisiplinkan anak yang bisa Ibu coba. Tentukan cara mendisiplinkan anak yang paling tepat untuk keluarga Ibu dengan mempertimbangkan kondisi temperamen Ibu dan pasangan, temperamen anak-anak, dan filosofi disiplin keluarga Anda. Tidak semua cara mendisiplinkan anak cocok diadopsi oleh semua keluarga, karena setiap keluarga memiliki nilai dan kondisi masing-masing dan berbeda.
Meski buku parenting dan strategi atau cara mendisiplinkan anak banyak beredar dan menawarkan cara-cara mendisiplinkan anak yang baru, sebenarnya semua bermuara pada lima tipe dasar berikut ini. Apa saja itu?
Cara mendisiplinkan anak model disiplin positif
Apa itu cara mendisiplinkan anak model disiplin positif? Jadi gini, Bu, model disiplin positif ini lebih berdasarkan pujian dan motivasi. Cara mendisipinkan anak model ini lebih fokus pada pengajaran dan bukan pada hukuman. Hmm... menarik, ya?
Cara mendisiplinkan anak model disiplin positif ini melibatkan orang tua dalam mengajari problem-solving skills, dan melatih si kecil mengembangkan solusi atas permasalahannya. Cara mendisiplinkan anak model seperti ini bisa dilakukan dengan diskusi keluarga dan pendekatan otoritatif untuk mengatasi masalah perilaku.
Sebagai contoh, anak usia 6 tahun menolak mengerjakan PR. Nah, cara mendisiplinkan anak model disiplin positif seperti ini, nih Bu. Orang tua duduk bersama si kecil dan bilang, "Ibu tahu kamu sebenarnya ada PR tapi kamu lagi nggak pengin mengerjakan. Enaknya gimana ya supaya kamu bisa memberi tahu Bu Guru kalau kamu bisa mengumpulkan PR tepat waktu? Kamu dan Ibu bisa melakukan apa ya kira-kira?"
Cara mendisiplinkan anak model disiplin lembut
Cara mendisiplinkan anak model ini lebih menekankan kepada mencegah masalah. Pengalihan kerap dilakukan untuk menghindari si kecil dari perilaku buruk. Cara mendisiplinkan anak model disiplin lembut sebenarnya tetap memberikan konsekuensi kepada anak-anak, namun tidak dengan mempermalukannya. Alih-alih mempermalukan, orang tua yang menggunakan cara mendisiplinkan anak model disiplin lembut seperti ini justru menggunakan humor dan semacam intermezzo.
Fokus cara mendisiplinkan anak model ini adalah bagaimana orang tua mengatur emosi mereka sendiri sembari memperbaiki perilaku buruk si kecil.
Sebagai contoh, anak usia 6 tahun menolak mengerjakan PR. Orang tua yang mengadopsi cara mendisiplinkan anak model disiplin lembut akan meresponnya dengan humor. "Dek, kamu kayaknya lebih suka bikin tulisan dua halaman buat Bu Guru deh. Nulis tentang kenapa kamu nggak mau ngerjakan PR matematika malam ini."
Nah, begitu situasinya mencair dan si kecil luluh, Ibu bisa menggiringnya dengan lembut untuk mengerjakan PR matematikanya. Jadi, tidak perlu dengam otot ataupun emosi sebagai cara mendisiplinkan anak Ibu yang menolak mengerjakan PR. Hati tenang dan emosi tidak terkuras, bukan?
Cara mendisiplinkan anak model pelatihan emosi
Cara mendisiplinkan anak seperti ini fokus pada pengajaran tentang perasaan terhadap anak. Anak-anak diajarkan mengetahui perasaannya dan orang tua membantu mengajarkan si kecil bagaimana menghadapi emosinya.
Ambil contoh anak usia 6 tahun menolak mengerjakan PR. Cara mendisiplinkan anak model pelatihan emosi akan memfokuskan perhatian orang tua pada perasaan anak. Misalnya dengan mengatakan, "Ibu paham kamu jadi nggak bisa main karena harus mengerjakan PR. Memang sih pelajaran matematika itu kadang-kadang susah dan suka bikin pusing kalau nggak bisa jawab. Ngerjakan PR matematika biasanya lama, ya? Eh gimana kalau kita nggambar dulu beberapa menit, Dek? Kita gambar apa yang lagi kamu rasakan pas mengerjakan PR matematika. Gimana? Setuju, kan?"
Cara mendisiplinkan anak model disiplin berdasarkan batasan
Cara mendisiplinkan anak model ini fokus pada memberi batasan dan peraturan jelas di awal. Selanjutnya, anak-anak akan diberikan pilihan dan ada konsekuensi yang jelas atas perilaku buruk mereka, seperti konsekuensi logis atau konsekuensi alami.
Misalnya, anak umur 6 tahun menolak mengerjakan PR. Mereka yang mengadopsi cara mendisiplinkan anak model disiplin berdasarkan batasan ini akan memberi batasan dan membuat konsekuensi yang jelas dengan mengatakan, "Kamu nggak boleh main kereta-keretaan ini dulu ya sebelum PRnya selesai. Oke?"
Cara mendisiplinkan anak model modifikasi perilaku
Hampir sama dengan model berdasarkan batasan, cara mendisiplinkan anak model modifikasi perilaku ini juga fokus pada konsekuensi positif dan negatif. Perilaku yang baik diperkuat dengan pujian atau rewards. Sedangkan perilaku buruk akan menghasilkan konsekuensi kurang baik juga, seperti hilangnya privilege.
Misalnya, anak usia 6 tahun menolak mengerjakan PR. Orang tua dengan cara mendisiplinkan anak model modifikasi perilaku akan mengingatkan si kecil tentang konsekuensi baik dan buruk yang dilakukannya. "Inget, ya Dek. Kalau PR Adek selesai, Adek boleh main kereta-keretaan selama setengah jam." Tambahkan pujian setelah si kecil menyelesaikan PRnya.
(Ismawati & Dini)