Pahami 4 Perbedaan Ini Untuk Mencegah Membandingkan Anak
Memiliki anak yang serba sempurna dan hebat dalam berbagai bidang sudah pasti menjadi kebanggaan para orang tua. Orang tua juga berharap anak mampu mencapai banyak kesuksesan dalam hidupnya. Sayangnya, dalam mencapai kesempurnaan ini, orang tua bisa tergelincir dalam jurang yang disebut "membandingkan anak".
Pasalnya, setiap orang tidak memiliki kesempurnaan hakiki, begitu pula anak-anak, maka sudah pasti orang tua akan merasa kecewa saat pencapaian anak tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kekecewaan ini akan menggiring pada kebiasaan orang tua untuk membandingkan anak dengan anak lain yang pencapaiannya lebih besar atau lebih baik.
Padahal, anak dilahirkan dengan keistimewaan yang berbeda-beda. Ibu dan Ayah saja diciptakan dengan kemampuan yang berbeda-beda dengan orang dewasa lainnya, bukan? Anak pun demikian. Karena itu, penting bagi orang tua untuk memahami perbedaan yang dimiliki anak agar terhindar dari perilaku membandingkan anak. Berikut 4 hal yang membuat anak Ibu jelas berbeda dengan anak lainnya:
Anak Memiliki Privilese yang Berbeda
Setiap anak memiliki keistimewaan yang berbeda di dalam hidupnya. Anak yang dibesarkan oleh orang tua yang teredukasi tentang cara mengoptimalkan tumbuh-kembang anak tentu berbeda dengan anak yang dibesarkan oleh orangtua dengan berdasar pada ilmu dasar yang belum di-update. Contohnya, anak dari orang tua yang tahu bahwa penggunaan dot untuk minum susu formula sebaiknya hanya sampai usia 1 tahun, lalu dilanjutkan ke sippy cup atau straw cup, akan terampil minum tanpa dot di usia 1.5 tahun. Sedangkan anak dari orang tua yang masih menggunakan pola asuh lama, dot akan terus diberikan sampai usia 5 tahun, bahkan sampai usia sekolah. Selain keadaan emosional yang berbeda, struktur rahang dan gigi juga akan berbeda.
Demikian pula keistimewaan atau privilese kondisi finansial orang tua. Anak yang terbiasa mendapatkan segala keinginan karena orang tua mampu menyediakan, akan berbeda karakternya dengan anak yang harus prihatin dengan kondisi finansial orang tua.
Cara Orang Tua Mendidik Anak Berbeda
Selain karena bakat alami anak, cara orang tua mendidik anak juga akan memengaruhi optimal atau tidaknya kemampuan anak. Orang tua A disiplin menerapkan kebiasaan belajar eksak selama 4 jam dalam satu hari. Sedangkan orang tua B menerapkan kebiasaan membaca buku 4 jam dalam satu hari. Di sisi lain, orang tua C membiarkan anak untuk solo play dan eksplorasi lingkungan rumah juga selama 4 jam dalam satu hari. Ibu bisa lihat, meski jumlah jam yang digunakan anak sama, pilihan orang tua dalam mendidik anak tentu akan memengaruhi preferensi anak.
Anak A akan condong dalam pelajaran eksak. Anak B ahli dalam bahasa. Sedangkan Anak C mempunyai kreativitas imajinasi yang lebih baik. Ibu tentu tidak bisa menyamakan metode yang digunakan orang tua di rumah sebelah, rumah depan, rumah belakang, atau rumah-rumah lainnya untuk dijadikan patokan bagi anak Ibu.
Minat dan Kecerdasan Anak Berbeda
Kemampuan alami anak memang sudah dari sananya berbeda ya, Bu. Perlu Ibu ingat bahwa ketika anak tetangga jago bermain piano, anak Ibu tidak harus jago dalam hal yang sama. Bisa saja kan, anak Ibu lebih jago dalam bermain sepak bola daripada teman sebayanya yang jago mewarnai. Bila ditilik melalui ragam jenis kecerdasan majemuk anak, pada dasarnya anak menguasai berbagai macam hal. Hanya saja, ada kecerdasan-kecerdasan tertentu yang lebih dominan dikuasai anak dan tidak bisa disamakan antara anak yang satu dan yang lainnya.
Anak dengan kecerdasan dominan kinetik, tentu memiliki privilese yang berbeda dari anak dengan kecerdasa mayoritas musikal. Artinya, memang kemampuan anak secara alami sudah berbeda. Ibu, Ayah, guru, atau siapa pun tidak bisa mengkotak-kotakkan anak agar bisa seperti yang diinginkan para orang dewasa.
Lingkungan yang Berbeda
Setiap anak tumbuh di lingkungan yang berbeda. Anak yang tinggal di lingkungan keluarga yang disiplin waktu tentu berbeda dengan anak yang tinggal di lingkungan keluarga yang tidak mempermasalahkan waktu untuk melakukan jadwal harian. Anak yang tumbuh dengan kedisiplinan dalam menjalani rutinitas hariannya, bisa tepat waktu dalam melakukan tugasnya, tapi bisa saja menjadi tidak toleran terhadap temannya yang berhalangan mengembalikan buku pinjaman. Di sisi lain, anak yang tidak terbiasa disiplin tidur siang atau mandi di jam yang sama, bisa saja mengalami kesulitan saat harus terburu-buru dihadapkan pada rutinitas baru, tapi bisa juga menjadi mudah dan cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Yang perlu Ibu tekankan adalah bahwa setiap anak memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing. Sehingga tidak bisa dan tidak seharusnya orang tua membandingkan anak yang satu dengan anak lainnya.
Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa membandingkan anak itu tidak baik. Seorang pakar menjelaskan melalui laman Smart Parents, bahwa membandingkan anak merupakan sebuah kebiasaan di Asia sebagai taktik untuk sekadar cari muka atau menyenangkan pihak lain. Dalam arti lainnya, membandingkan anak dianggap sebagai sebuah budaya merendahkan diri untuk memuji lawan bicara, atau di kasus lain digunakan untuk pamer.
Dampak Negatif Jika Membandingkan Anak
Menurunkan Kepercayaan Diri Anak
Anak akan berpikir bahwa dirinya tidak sehebat anak lain. Anak akan merasa kurang diapresiasi dan tidak dihargai, sehingga mereka jadi tidak percaya diri dan cenderung enggan untuk menunjukkan dirinya.
Anak Jadi Stres
Karena ingin menjadi seperti teman yang dibandingkan dengannya, anak bukannya fokus pada keahliannya, tapi malah fokus pada bagaimana agar ia bisa seperti anak lain. Ketika kemampuannya bukan hal yang sama, anak malah menjadi stres. Anak akan cenderung memiliki sifat kompetitif yang tidak sehat.
Cemas Berlebihan dan Tertutup
Karena merasa kurang, kepercayaan dirinya dirampas, dan merasa direndahkan, anak cenderung menutup diri dari lingkungan sosialnya. Mereka juga sering merasa cemas berlebihan dan insecure dengan kemampuannya sendiri.
Ikatan dengan Orang Tua menjadi Buruk
Ketika orang tua membandingkan anak dengan orang lain, mereka akan merasa orangtuanya tidak berada di pihaknya. Lebih buruk lagi, anak mungkin merasa orangtua tidak menerima dirinya apa adanya. Ini akan membuat anak jadi merasa tidak lagi dekat dengan orang tuanya. Karena orang tuanya menginginkan anak untuk bisa menjadi A, B, C, dan lainnya yang mungkin tidak ia kuasai. Anak jadi tidak memiliki orang yang ia percayai untuk mendukung apa yang ia bisa.
Orang Tua Menjadi Tidak Puas Pada Anaknya
Hubungan orang tua ke anak juga jadi rusak nih. Karena orang tua akan mulai mempertanyakan kemampuan anaknya, “sebenarnya anak aku bisa nggak sih? Anak aku pinter nggak sih? Anak aku ada keterlambatan bicara nggak sih?” Orang tua jadi ragu dan tidak percaya lagi pada kemampuan anaknya.
Menumbuhkan Sifat iri, Benci, dan Tidak Peduli
Anak yang terbiasa mendengar ia dibandingkan-bandingkan akan mulai membenci orang yang dijadikan pembanding. Mereka juga akan menjadi mudah cemburu karena anak lain yang diistimewakan, bukan dirinya. Selain itu, karena anak merasa bukan dirinya yang jadi pusat perhatian, anak akan mulai berhenti peduli pada sekitarnya.
Kalau sudah seperti ini, apakah Ibu dan Ayah akan tetap membandingkan anak? Sebaiknya jangan ya. Ibu dan Ayah bisa coba kiat-kiat berikut agar tak lagi membandingkan anak:
Belajarlah untuk lebih memahami anak. Pahami dan terimalah bahwa anak memang dilahirkan dengan perbedaan-perbedaan yang tidak bisa semuanya disamaratakan.
Selektiflah dalam memilih lingkungan agar anak tumbuh dengan sifat demokratis dan toleransi besar untuk memahami perbedaan.
Ubahlah pola pikir Ayah dan Ibu saat melihat ada anak lain yang memiliki prestasi lebih baik. Ingatlah bahwa anak lain punya prestasi karena ada usaha lebih di belakangnya, dan fokuslah melatih anak tanpa memaksanya.
Sesuaikan ekspektasi dengan realitas. Tidak perlu kecewa jika anak gagal atau masih kalah dibandingkan anak lain. Karena siapa tahu, anak Ibu punya kemampuan di bidang lainnya yang butuh diekplorasi.
Fokus pada kelebihan anak. Kembangkan minat dan kelebihan anak daripada hanya fokus pada kekurangannya.
Evaluasi kekurangan anak bersama. Jika anak memiliki kekurangan, Ibu bisa menanyakan atau mengobservasi apa yang menjadi kesulitan anak. Selanjutnya, temukan cara untuk membuatnya lebih baik tanpa memaksa anak.
Apresiasi anak apa pun bentuk pencapaiannya. Ini akan membantu anak meningkatkan rasa percaya dirinya dan rasa dihargai oleh orang tuanya.
Belum terlambat untuk berhenti membandingkan anak. Temukan kelebihan anak dan fokuslah di situ. Terimalah kekurangan anak sebagaimana mereka menerima ketidaksempurnaan orang tuanya. Ajarkan mereka untuk menerima kekurangan dan menghargai kelebihan. Katakan bahwa Ibu dan Ayah mencintai anak apa adanya, apa pun hasil dari usaha kerasnya. Dengan begitu, Ibu dan Ayah tidak hanya mendidik anak untuk menerima kekurangannya, tapi juga mempersiapkan generasi yang toleran terhadap sesamanya.
Penulis: Dwi Ratih