Tidak Ada Anak yang Nakal! Lalu, Apa Penyebab Anak Bertingkah?
Apa kira-kira penyebab anak nakal? Mengapa Si Kecil jadi sulit diatur saat memasuki usia balita? Kok rasanya anak jadi lebih ngeyel ya?
Bagaimana cara mengatasi anak nakal? Apakah fase ini normal dialami balita?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini pasti pernah terlintas di pikiran. Terlebih jika sebelumnya Si Kecil tergolong penurut dan tidak susah diatur. Nah, ternyata kondisi tersebut bisa dijelaskan dari sudut pandang psikologi anak.
Kali ini, Fania Kusharyani, M.Psi., Psi., seorang psikolog anak dan remaja dari platform TigaGenerasi membagikan ilmunya seputar fase “sulit diatur” pada anak usia 3-5 tahun. Yuk, simak penjelasannya bersama!
Apa penyebab anak bertingkah?
Saat anak bertingkah, banyak orang tua yang tidak tahu dan bahkan tidak mau tahu penyebabnya. Padahal, kalau orang tua tahu penyebab anak bertingkah, akan mudah untuk menemukan solusi.
Menurut Fania, di usia balita, wajar jika perilaku anak terasa lebih sulit dikontrol. Namun hal tersebut bukan berarti anak menjadi nakal. Justru sebaliknya, pada rentang usia 3-5 tahun, anak menjadi semakin pintar. Sebab, kapasitas otaknya telah berkembang hingga 80% dari otak manusia dewasa.
Perkembangan tersebut membuat kemampuan anak meningkat dari berbagai aspek. Mulai dari aspek kognitif, bahasa, memori, emosi, hingga psikososial, semuanya berkembang.
Selain itu, pada periode 3-5 tahun, rasa ingin tahu anak sangat besar. Mereka merasa punya kemampuan yang lebih besar untuk mengeksplorasi hal-hal di sekitarnya. Anak-anak akan sering bertanya, “kenapa?” saat dilarang.
Mengapa anak yang menantang sering disalahartikan sebagai tingkah nakal?
Menjadi orang tua tidak ada panduannya, butuh waktu untuk bisa memahami emosi, perilaku, dan perasaan anak. Namun Ibu bisa belajar untuk mengetahui mana saja perilaku anak yang perlu diperhatikan.
Fania menuturkan, dalam ilmu psikologi anak, pada rentang usia 3-5 tahun ada beberapa perilaku anak yang sering disalahartikan sebagai tingkah nakal. Misalnya, sulit diatur, tidak mau berbagi dengan teman atau saudaranya, terlalu aktif, terlihat acuh, menantang ucapan orang tua, hingga berbohong.
Dikutip dari Very Well Family, anak-anak menggunakan perilaku mereka untuk menunjukkan bagaimana perasaan mereka dan apa yang mereka pikirkan. Seringkali, mereka mengkomunikasikan sesuatu melalui perilaku mereka, dari apa yang tidak dapat mereka ungkapkan secara verbal.
Anak-anak memiliki perasaan yang besar. Sayangnya, terkadang mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan tentang perasaan mereka. Inilah yang mungkin menjadi penyebab saat mereka kewalahan, maka mereka merasa marah, dan akibatnya, mereka menjadi agresif.
Mereka bahkan mungkin bertingkah ketika mereka merasa bersemangat, stres, atau bosan. Dengan begitu, orang tua sebaiknya tidak langsung berpikiran pendek dan memberi label nakal pada anak-anak.
Kenapa sebaiknya tidak melabeli anak dengan sebutan nakal, bandel dan predikat negatif lainnya?
Salah satu respons yang paling sering diberikan orang tua saat anak bertingkah adalah memberi label negatif, seperti nakal, bandel atau bikin emosi. Respons seperti ini harus dihindari.
Sebab, hal tersebut bisa berdampak pada kondisi mental anak sekaligus orang tua. Di usia 3-5 tahun, anak baru belajar untuk membangun konsep diri. Pembentukan konsep diri pada usia balita pun masih sangat sederhana. Misalnya, rasa percaya diri anak muncul karena mendapat pujian atau respons positif dari orang lain.
Meski sederhana, ternyata hal tersebut bisa membantu Si Kecil membentuk perilakunya sendiri. Dari pujian mereka tahu, apa saja yang membuat orang tua senang dan bangga.
Bagi orang tua, melabeli anak dengan predikat negatif pun memiliki dampak yang kurang baik. Terlalu sering menyebut anak “nakal” akan menimbulkan pikiran negatif. Saat pikiran negatif menguasai, orang tua akan cenderung memikirkan tentang hukuman sebagai solusi yang paling tepat.
Hal ini justru akan menghambat orang tua untuk mencari sudut pandang lain. Padahal jika Ayah dan Ibu tidak membiarkan pikiran negatif menguasai, akan mudah untuk mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan anak.
Kapan harus ke psikolog atau tenaga profesional?
Pada dasarnya, perkembangan tiap anak berbeda. Meski begitu, menurut Fania, perkembangan psikologis anak memiliki beberapa tahapan tertentu. Ayah dan Ibu bisa menjadikan tahapan tersebut sebagai patokan.
Jika dirasa anak mengalami keterlambatan, bisa diajak menemui psikolog anak. Misalnya, anak masih sulit bicara dengan jelas atau mengalami speech delay padahal usianya sudah menginjak 3 tahun.
Begitu pula jika anak menunjukkan perilaku yang berlebihan seperti terlalu sering tantrum. Sebenarnya, perilaku tantrum akan mereda seiring dengan bertambahnya usia anak.
Namun jika anak masih suka tantrum di usia balita, konsultasi dengan psikolog bisa membantu. Nanti, psikolog akan melakukan assessment untuk menilai perilaku anak dan kemudian mengambil tindakan yang sesuai.
Sebaiknya, hindari melakukan diagnosa mandiri atau self-diagnose terkait perilaku anak. Hal ini penting diperhatikan agar Ayah dan Ibu tidak keliru dalam memberikan penanganan.
Oleh karena itu, bisa disimpulkan, anak nakal menurut psikolog sebenarnya tidak ada. Memasuki usia balita, anak bukan berubah menjadi nakal, tapi justru kemampuannya semakin meningkat, baik dari aspek kognitif, memori, hingga emosi.
Cara mengatasi anak “nakal” adalah dengan menerapkan parenting yang penuh empati agar Si Kecil merasa didengar.
Editor: Dwi Ratih