3 Ciri Ibu Hamil yang Perlu Pemeriksaan TORCH
Ketika diminta oleh dokter kandungan untuk melakukan pemeriksaan TORCH dalam masa kehamilan, mungkin ada beberapa calon ibu yang berat untuk menjalankannya. Pasalnya, pemeriksaan TORCH lengkap memakan biaya yang tidak sedikit, yakni hingga jutaan rupiah.
Ada pula yang beranggapan bahwa pemeriksaan TORCH ini tidak begitu penting selama ibu hamil tidak mengalami keluhan berarti atau sakit berat sehingga dianggap tidak ada risiko bagi bayi yang dikandung. Toh, ada dokter yang saklek mengharuskan pasiennya melakukan tes ini, namun tidak sedikit juga yang tidak mewajibkannya.
Sebenarnya, perlukah ibu hamil melakukan pemeriksaan TORCH ini?
Apa itu TORCH?
Di kalangan ibu-ibu hamil, istilah TORCH mungkin sudah awam didengar, bahkan ada yang menganggap sindrom ini sebagai satu jenis penyakit. Padahal, TORCH merupakan gabungan dari 5 penyakit sekaligus, yaitu:
Other agents (termasuk HIV, sifilis, varisela (cacar air), dan penyakit kelima alias infeksi virus mirip campak)
Kelima penyakit ini memiliki gejala berbeda, tapi sama-sama merupakan penyakit serius bagi ibu hamil. Salah satu saja virus itu bersarang di tubuh ibu hamil kemudian disebarkan melalui aliran darah, maka bayi dalam tubuh ibu juga akan terkena penyakit tersebut.
Mengingat janin di dalam tubuh ibu belum memiliki sistem kekebalan tubuh, maka virus tersebut akan bersarang di tubuh bayi yang belum lahir itu. Virus akan mengganggu perkembangan organ tubuh bayi di dalam kandungan sehingga bukan tidak mungkin bayi akan lahir prematur, mengalami cacat bawaan, hingga meninggal dalam kandungan alias stillbirth.
Beberapa penyakit yang mungkin disebabkan oleh TORCH antara lain ialah:
penyakit mata katarak
kurang berfungsinya indera pendengaran hingga mengalami ketulian
keterbelakangan mental
kelainan jantung bawaan
kejang-kejang
Tingkat keparahan atas efek yang ditimbulkan virus TORCH bisa berbeda-beda pada setiap janin, tergantung kondisi dan usia janin ketika terpapar virus TORCH tersebut. Semakin muda umur janin, semakin parah pula efek yang ditimbulkan.
Namun demikian, semakin cepat terdeteksi, virus TORCH semakin mudah dikendalikan sehingga efeknya terhadap bayi juga bisa ditekan. Oleh karena itu, banyak dokter menyarankan ibu hamil melakukan pemeriksaan TORCH di trimester pertama kehamilan agar, jika ada, virus TORCH bisa segera diambil tindakan untuk diminimalisir efeknya terhadap janin.
3 Ciri Ibu Hamil yang Perlu Pemeriksaan TORCH
Dr Yuditia Purwosunu, SpOG(K) dari divisi Fetomaternal Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI mengakui memang tidak semua ibu hamil perlu menjalani screening alias pemeriksaan TORCH. Di samping biaya yang relatif mahal sehingga tidak mungkin direkomendasikan untuk semua ibu hamil, faktor kebiasaan serta lingkungan turut memengaruhi vonis dokter apakah ibu hamil tersebut harus menjalani pemeriksaan TORCH atau tidak.
Berikut 3 kriteria ibu hamil yang dipandang berisiko mengidap TORCH sehingga harus menjalani pemeriksaan TORCH di trimester pertama kehamilannya:
- Perempuan yang gemar mengonsumsi sayuran mentah, seperti salad maupun karedok
- Perempuan yang gemarmengonsumsi daging mentah atau tidak dimasak sempurna, seperti sushi, sate, steak, dan lain-lain
- Perempuan yang memelihara kucing maupun anjing serta kurang memperhatikan kebersihan binatang peliharaannya tersebut.
Meski tidak mewajibkan, Dr Yuditia tetap menganjurkan setiap ibu hamil menjalani pemeriksaan TORCH sebagai tindakan antisipasi.
"Biaya skrining untuk TORCH ini memang mahal, tapi biaya kuratif ini akan jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya pengobatan. Sedangkan untuk alat diagnostik TORCH di Indonesia tidak ada," Dr Yuditia Purwosunu, SpOG(K).
Bagaimana prosedur pemeriksaan TORCH?
Pemeriksaan TORCH sebetulnya merupakan prosedur amat sederhana sehingga ibu tidak perlu menjalani puasa terlebih dahulu. Ibu cukup langsung datang ke laboratorium dan menjelaskan maksud kedatangan untuk melakukan pemeriksaan TORCH, kemudian ibu akan diambil sampel darahnya melalui suntikan di pembuluh vena.
Sampel darah kemudian diuji untuk mengecek antibodi di tubuh ibu terhadap mikroba TORCH. Antibodi yang dicek adalah imunoglobulin G (IgG) yang menandakan pernah atau tidaknya ibu hamil terkena virus TORCH di masa lalu, serta imunoglobulin M (IgM) yang menandakan ada atau tidaknya virus TORCH di tubuh ibu hamil saat ini.
4 Cara membaca hasil pemeriksaan TORCH
Pemeriksaan TORCH bisa menunjukkan apakah ibu sedang terinfeksi TORCH atau baru-baru ini terkena virus tersebut. Hasil pemeriksaan TORCH ini biasanya ditandai dengan 'positif' atau 'negatif' terhadap IgG maupun IgM.
Hasil tes negatif adalah hasil pemeriksaan TORCH yang ibu harapkan. Pasalnya, hal ini berarti ibu tidak pernah terkena virus TORCH, apalagi mengidapnya saat ini. Namun dengan catatan, ibu hamil harus tetap menemui dokter jika hasil pemeriksaan TORCH menunjukkan 'negatif', padahal ibu belum lama sebelumnya menerima imunisasi salah satu virus TORCH.
Hasil tes 'positif' menandakan adanya antibodi IgG atau IgM dalam satu atau lebih virus yang diujikan dalam sampel darah. Artinya, ibu hamil mungkin sedang terjangkit virus tersebut, pernah terjangkit, atau mungkin baru mendapatkan imunisasi yang berhubungan dengan virus itu dalam waktu dekat sebelum pemeriksaan TORCH. Konsultasikan dengan dokter ibu jika mendapat hasil pemeriksaan TORCH yang 'positif', ya!
Jika antibodi IgM dalam sampel darah ibu hamil menunjukkan hasil yang 'positif', maka dokter akan merekomendasikan untuk melakukan tes lanjutan. Pasalnya, IgM positif menandakan adanya virus TORCH yang bersarang di tubuh ibu hamil dalam waktu dekat ini.
Jika antibodi IgG dalam sampel darah ibu hamil menunjukkan hasil yang 'positif', berarti ibu pernah terpapar virus TORCH di masa lampau. Dokter mungkin akan meminta ibu untuk melakukan tes darah kembali dalam kurun beberapa minggu ke depan. Jika level antibodi IgG ini meningkat, dapat diambil kesimpulan bahwa virus tersebut masih aktif di saat sekarang ini.
Mengenal TORCH
Toksoplasma
Toksoplasma, atau yang dikenal dengan hanya sebutan tokso, merupakan infeksi yang disebabkan oleh parasit dengan sel tunggal bernama Toxoplasma gondii. Parasit ini bisa hidup sangat lama di dalam tubuh penderitanya, bahkan dikatakan bisa tetap hidup selama tubuh inangnya masih hidup.
Meskipun demikian, tidak ada gejala yang terlihat ketika seseorang memiliki parasit tokso dalam tubuhnya karena sistem imun dalam tubuh manusia akan menekan efek negatifnya. Biarpun begitu, tokso bisa merasuk ke dalam janin ketika si penderita menjalani masa kehamilan karena janin belum memiliki sistem kekebalan di dalam tubuhnya.
Mitos mengatakan bahwa parasit toksoplasma bisa menular lewat kucing. Benarkah itu?
Berdasarkan penjelasan yang dikeluarkan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) yang berbasis di Georgia, Amerika Serikat, seseorang tidak serta-merta menderita tokso hanya karena bermain dengan kucing. Bakteri toksoplasma yang berbahaya itu memang amat mungkin bersarang di tubuh kucing, namun hanya terdapat di bagian kotorannya.
Meskipun demikian, ibu hamil maupun orang yang tidak memelihara kucing tidak lantas dipastikan bebas dari tokso karena kucing bukan satu-satunya penyebab seseorang menderita toksoplasma. Infeksi ini juga memiliki faktor-faktor pemicu, di antaranya:
- Memakan daging (terutama daging kambing dan babi) serta makanan laut bercangkang (seperti kerang maupun tiram) yang sudah tercemar parasit toksplasma dan tidak dimasak hingga matang.
- Tidak mencuci tangan setelah bersentuhan dengan daging, makanan laut, ataupun kotoran kucing yang tercemar tokso.
- Parasit Toxoplasma gondii tidak menular lewat sentuhan. Akan tetapi jika seseorang langsung makan menggunakan tangan setelah bersentuhan dengan media pengantar tokso, maka parasit tersebut bisa masuk ke dalam tubuh manusia.
- Meminum air tidak matang yang tercemar parasit tokso.
- Keturunan (terkena tokso dari ibu).
- Dalam beberapa kasus yang jarang terjadi, seseorang juga bisa mengidap tokso lewat proses transplantasi organ atau transfusi darah yang menggunakan alat-alat tidak steril.
CDC juga menyatakan bahwa ibu hamil atau perempuan yang tengah menjalani program kehamilan tetap bisa memelihara kucing. Tetapi, untuk menghindarkan diri dari kontaminasi toksoplasma, ada baiknya untuk mengikuti 6 tips berikut ini:
- Selalu mengganti wadah kotoran kucing setiap hari. Toksoplasma baru bisa berkembang setelah 1 hingga 5 hari setelah menempel di kotoran kucing.
- Jika tingkat imunitas Ibu rendah, sebaiknya meminta orang lain untuk mengganti wadah kotoran kucing. Atau jika betul-betul tidak ada orang lain untuk dimintai tolong, ibu bisa menggunakan sarung tangan dan mencuci tangan dengan sabun antiseptik setiap sehabis membersihkan wadah.
- Kucing harus terus berada di dalam rumah agar lingkungannya lebih mudah dikontrol. Ibu bisa-bisa tidak mengetahui jika pasir di halaman rumah memiliki kotoran yang mengandung tokso atau kucing ibu memakan serangga ketika bermain.
- Jangan mengadopsi kucing jalanan, bahkan jangan mengadopsi kucing baru selama ibu hamil, tengah menjalani program kehamilan, atau memiliki imunitas rendah untuk meminimalisir risiko terinfeksi toksoplasma.
- Beri makan kucing peliharaan dengan makanan kaleng atau daging matang, bukan yang mentah ataupun setengah matang.
- Selalu tutup wadah kotoran kucing yang berada di luar rumah.
Janin yang terpapar parasit toksoplasma bisa mengalami penyakit berat sebagai berikut:
- kerusakan otak
- kerusakan bagian mata yang bisa sampai mengakibatkan kebutaan
- keterlambatan fungsi motorik tubuh, misalnya terlambat berjalan
- sering mengalami kejang
- penumpukan cairan di kepala alias hidrosefalus
Other agents (HIV, Sifilis, varisela, dan penyakit kelima)
HIV
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang dirilis Desember 2018 lalu, pengidap HIV AIDS terbanyak di Indonesia berada dalam kelompok umur 20-49 tahun alias cenderung masih merupakan masa produktif untuk memiliki keturunan. Sayangnya, jika ibu hamil juga mengidap HIV, maka bayi yang dikandungnya juga bisa menjadi penderita HIV positif di masa mendatang.
Bayi mungkin tidak langsung positif HIV sesaat setelah lahir, tapi hasil tes akan semakin jelas seiring pertambahan usianya. Anak akan menderita berbagai gejala seperti keterlambatan pertumbuhan, pneumonia, hingga pembengkakan di sekitar area leher yang menandakan imunitas bayi terganggu.
Meskipun demikian, ibu hamil yang terkena HIV positif bisa mengonsumsi obat bernama antiretroviral (ARV) yang disediakan gratis oleh pemerintah. ARV disebut bisa meminimalkan kemungkinan bayi yang lahir ikut terjangkit HIV positif yang diturunkan dari ibunya.
Obat ARV mampu menekan jumlah virus HIV di dalam darah sehingga kekebalan tubuhnya tetap terjaga. Sama seperti penyakit kronis lainnya seperti hipertensi, kolesterol, atau diabetes, obat ARV harus diminum secara teratur, tepat waktu dan seumur hidup untuk meningkatkan kualitas hidup para penderita HIV positif serta dapat mencegah penularan.
Sifilis
Ibu hamil yang menderita sifilis harus segera mendapat pengobatan, termasuk mengonsumsi antibiotik yang diresepkan oleh dokter. Pasalnya, 75% bayi yang lahir dari ibu yang menderita penyakit yang ditularkan lewat hubungan seksual ini tidak akan berumur panjang, bahkan bisa lahir dalam keadaan meninggal alias stillborn.
Bayi yang lahir dengan Sifilis bawaan bisa memiliki struktur tulang yang bengkok, menderita anemia, meningitis, bercak kemerahan di kulit, serta masalah saraf yang biasanya mengakibatkan ketulian atau kebutaan.
Penyakit kelima
Penyakit ini mirip dengan campak di mana anak memiliki ruam di pipi. Penyakit ini disebabkan oleh parvovirus B19 dan bisa mengakibatkan keguguran pada ibu hamil jika terserang penyakit yang biasanya bisa dikalahkan dengan imunitas baik di dalam tubuh kita.
Tidak ada vaksin yang mampu mencegah penyakit kelima. Namun, ibu bisa mencegah terjangkit penyakit ini dengan selalu menjaga kebersihan, terutama dengan mencuci tangan sebelum makan dan tidak berada di dekat penderita penyakit kelima ini.
Varisela
Orang Indonesia mengenal penyakit ini dengan sebutan cacar air. Ibu hamil bisa saja terkena penyakit ini, tapi tidak perlu khawatir karena hanya 2% kemungkinan virus cacar air akan menurun kepada jabang bayi di dalam kandungan.
Meskipun demikian, ibu bisa menghubungi dokter jika memiliki kekhawatiran. Meski merupakan kasus yang tidak awam, bayi yang terpapar virus varisela sejak dalam kandungan bisa saja lahir dengan cacat bawaan.
Rubella
Belum lama ini, pemerintah Indonesia mengadakan kampanye vaksin MR (campak dan rubella) secara masif di seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya ialah mengeliminasi penyebaran penyakit campak dan rubella alias campak jerman yang kerap menjadi momok bagi ibu hamil maupun bayi baru lahir.
Ibu hamil patut waspada ketika merasa demam tidak lebih dari 38.5 derajat celcius yang dibarengi dengan radang tenggorokan serta bintik kemerahan di sekujur tubuh. Jika menemui gejala ini, sebaiknya langsung menemui dokter karena ibu mungkin terinfeksi virus rubella.
Ada yang berpendapat rubella tidak bisa disembuhkan karena disebabkan oleh virus sehingga antibiotik tidak akan membuatnya mati. Namun, ada juga dokter yang mungkin menyuntikkan antibodi bernama hyperimuno globulin untuk membantu tubuh ibu memerangi virus rubella tersebut.
Jika ibu divonis menderita rubella pada kehamilan yang baru memasuki trimester pertama, kemungkinan besar virus tersebut akan menurun kepada bayi di dalam kandungan. Efeknya bisa jadi sangat fatal, yaitu ibu bisa mengalami keguguran ataupun bayi lahir dengan cacat bawaan yang cukup parah.
Beberapa penyakit yang mungkin diidap oleh bayi yang terpapar virus rubella antara lain:
katarak
kelainan jantung
ketulian
keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan kognitif
diabetes
kerusakan hati serta limpa
Cytomegalovirus (CMV)
Penyakit yang disebabkan oleh virus yang termasuk dalam golongan herpes ini sebetulnya tidak berbahaya, kecuali pada ibu hamil karena bisa menularkan virus ini kepada bayinya. Bayi yang lahir dengan virus CMV bawaan bisa menderita penyakit jangka panjang seperti berikut:
kesulitan mendengar hingga ketulian total
penyakit kuning (jaundice)
bayi lahir dengan berat badan kecil
komplikasi paru-paru
sering kejang
lemah otot
keterbelakangan mental
Herpes Simplex
Terdapat dua jenis herpes, yakni HSV-1 dengan gejala adanya blister di sekitar mulut penderita, serta HSV-2 dengan gejala adanya blister di sekitar alat kelamin atau anus. Ibu hamil bisa menularkan herpes lewat persalinan normal, terutama jika ibu mengidap HSV-2. Bagi ibu hamil dengan HSV-2 ini, dokter biasanya menyarankan untuk melahirkan bayi dengan jalan operasi caesar untuk menghindarkan bayi dari paparan virus di sekitar alat kelamin maupun anus.
(Asni / Dok. Freepik)