Ibupedia

3 Jenis Retensio Plasenta ini Wajib Ibu Hamil Waspadai!

3 Jenis Retensio Plasenta ini Wajib Ibu Hamil Waspadai!
3 Jenis Retensio Plasenta ini Wajib Ibu Hamil Waspadai!

Bagi Ibu hamil, proses persalinan belum  lah selesai setelah bayi lahir karena masih ada tahap penting persalinan untuk mengeluarkan plasenta. Kita mengenal dua tahapan persalinan dan kelahiran bayi, serta ada juga tahap ketiga yang bisa berlangsung cepat atau lambat. Sebagian Ibu hamil membutuhkan intervensi khusus pada tahapan  ketiga ini. Kontak kulit dan pelekatan bayi bisa membantu aliran hormon oksitosin yang mendorong pelepasan plasenta secara alami.

Beberapa Ibu  hamil menjalani tahap ketiga persalinan yang melibatkan penggunaan suntikan oksitosin sintetis untuk menginduksi kontraksi rahim dan membantu mengeluarkan plasenta. Meski jarang terjadi, pada beberapa kasus, sekitar 0,5 sampai 1 persen kelahiran terjadi retensio plasenta. Berikut ini beberapa fakta tentang retensio plasenta yang perlu diketahui Ibu hamil!

Apa yang dimaksud retensio plasenta?

Retensio plasenta terjadi ketika plasenta tidak keluar dalam waktu satu jam setelah bayi lahir normal. Retensio plasenta bisa juga terjadi ketika hanya sebagian plasenta tidak keluar, atau sebagian tidak terangkat selama operasi caesar.

Kondisi ini terlihat ketika dokter memeriksa plasenta dan menemukan plasenta mengalami sobekan atau tidak utuh. Pada kasus tertentu, retensio plasenta bisa jadi tidak diketahui hingga gejalanya muncul. Oleh karena itu, Ibu hamil harus bersiap akan kemungkinan apapun dan  memiliki mental kuat.

Tahapan dalam persalinan

Persalinan terdiri dari 3 tahap:

  • Tahap pertama persalinan dimulai dengan kontraksi yang mengindikasikan rahim bersiap untuk melahirkan bayi.

  • Setelah wanita melahirkan, tahap kedua persalinan selesai.

  • Tahap terakhir persalinan terjadi ketika plasenta keluar dari rahim wanita. Tahap ini biasanya terjadi dalam 30 menit setelah kelahiran bayi.

Tapi bila wanita tidak mengeluarkan plasenta setelah 30 menit kelahiran, ada kemungkinan terjadi retensio plasenta karena tubuh wanita tidak mengeluarkannya. Bila retensio plasenta tidak ditangani, ibu bisa mengalami infeksi dan pendarahan berat yang bisa mengancam keselamatannya.

Bila Ibu hamil telah melewati persalinan dan tahap kelahiran yang normal, Ibu bisa pilih bagaimana melewati tahap persalinan terakhir. Proses ini biasanya jadi bagian dalam pembahasan rencana persalinan.

Biasanya ada dua pendekatan yang digunakan untuk menangani plasenta, baik secara alami maupun dengan bantuan.

Pendekatan secara alami membiarkan tubuh wanita secara alami mengeluarkan plasenta sendiri. Tenaga medis membantu pendekatan dengan bantuan dan biasanya terjadi ketika suntikan diberikan ke paha ketika bayi lahir guna membantu wanita mengeluarkan plasenta.

Syntometrine, ergometrine, dan oxytocin adalah obat yang bisa menyebabkan tubuh wanita berkontraksi dan mendorong plasenta. Bila wanita pernah mengalami komplikasi seperti tekanan darah tinggi atau preeklampsia selama kehamilan, maka Syntocinon akan diberikan. Manfaat memilih tahap akhir persalinan dengan bantuan obat di atas  adalah penurunan pendarahan setelah bayi lahir.

Penyebab retensio plasenta

Ada 3 penyebab utama retensio plasenta:

  • Ketika rahim berhenti berkontraksi, atau tidak cukup berkontraksi untuk membuat plasenta terlepas dari dinding rahim. Kondisi ini disebut uterine atony.

  • Ketika semua atau sebagian plasenta terjebak di dinding rahim. Ini disebut adherent placenta. Pada kasus yang jarang, ini terjadi karena bagian plasenta terlalu dalam menempel ke rahim Ibu hamil. Kondisi ini disebut plasenta akreta dan lebih mungkin terjadi bila plasenta menempel pada luka di operasi caesar sebelumnya. Bila plasenta tumbuh melewati dinding rahim disebut placenta percreta.

  • Ketika plasenta terjebak di belakang serviks yang hampir menutup.

Terkadang, bidan bisa membantu mengeluarkan plasenta dengan sedikit menarik tali pusar. Tapi tali pusar bisa putus bila plasenta belum sepenuhnya terlepas atau tali pusar tipis. Bila ini terjadi, Ibu bisa mengeluarkan plasenta dengan mendorong saat kontraksi.

Jenis-jenis retensio plasenta

Retensio plasenta bisa dibagi menjadi 3 klasifikasi:

  1. Placenta Adherens

    Placenta Adherens terjadi ketika kontraksi rahim tidak cukup untuk sepenuhnya mengeluarkan plasenta. Ini menyebabkan plasenta tetap menempel pada dinding rahim Ibu hamil. Placenta Adherens merupakan jenis retensio plasenta yang paling umum.

  2. Trapped Placenta

    Ketika plasenta berhasil terlepas dari dinding rahim tapi gagal keluar dari tubuh wanita, kondisi ini disebut trapped placenta. Ini biasanya terjadi akibat serviks menutup sebelum plasenta keluar, akibatnya plasenta tertingal di dalam rahim.

  3. Plasenta akreta

    Ketika plasenta menempel pada dinding otot rahim bukan pada lapisan dinding rahim Ibu hamil, maka proses kelahiran jadi lebih sulit dan sering menyebabkan pendarahan berat. Transfusi darah bahkan hysterectomy bisa dibutuhkan. Komplikasi ini disebut plasenta akreta.

Faktor risiko retensio plasenta pada Ibu hamil

Tidak selalu diketahui penyebab tiap kasus retensio plasenta pada Ibu hamil. Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko retensio plasenta. Antara lain:

Bila Ibu hamil memiliki faktor risiko, perlu dicatat bahwa ini hanya kemungkinan risiko dan tidak menjamin komplikasi. Dokter akan membahas penanganannya dan mempertimbangkan manfaat serta risikonya. Inilah pentingnya Ibu hamil melakukan konsultasi menyeluruh sebelum proses persalinan.

Gejala retensio plasenta

Kasus retensio plasenta penuh pada Ibu hamil yang menjalani persalinan sebenarnya mudah didiagnosa. Ketika mendekati satu jam setelah melahirkan dan plasenta tidak terlihat, Ibu bisa didiagnosa mengalami retensio plasenta. Pada kasus potongan plasenta yang tertinggal, akan butuh waktu untuk terdeteksi. Beberapa tanda retensio plasenta antara lain:

  • Pendarahan pasca persalinan setelah plasenta keluar

  • Bau tak sedap dari kotoran vagina

  • Demam

  • Kram dan kontraksi terasa sakit

  • Pemeriksaan plasenta menunjukkan sobekan atau bagian yang hilang

  • Produksi ASI tertunda.

Pada kasus retensio plasenta yang tidak terdeteksi, rasa sakit setelah melahirkan bisa menyamarkan gejalanya.

Banyak ibu baru merasa cemas tentang produksi ASI yang sedikit atau adanya penundaan produksi ASI. Biasanya, selama Ibu menyusui si kecil sesuai dengan kemauan anak kapanpun, produksi ASI akan mencukupi kebutuhannya. Pada kasus retensio plasenta, terjadi penundaan produksi ASI, meski potensi penyebabnya telah diatasi.

Pelepasan plasenta menstimulasi perubahan hormonal yang menjadi signal untuk tubuh agar memproduksi ASI. Bila plasenta tertinggal di rahim, signal ini terganggu dan ASI ibu tidak keluar seperti yang seharusnya. Setelah Ibu menunjukkan tanda plasenta tertinggal, Ibu kemungkinan akan dibawa ke ruang USG dan dokter bisa memastikan seberapa besar dan lokasi plasenta di rahim.

Penangan standar berupa D&C (dilation and curettage) juga bisa jadi alternatif. Operasi ini biasanya dilakukan di bawah anestesi umum dan berlangsung tidak begitu lama sehingga Ibu bisa pulang di hari yang sama. Setelah Ibu tertidur, dokter akan menempatkan kaki  Ibu di posisi naik dan menggunakan alat khusus untuk perlahan membuka serviks. Setelah itu, alat bedah yang disebut curette dimasukkan dan digunakan untuk mengangkat bagian plasenta. Curette yang digunakan bisa untuk memotong bagian plasenta atau menghisapnya keluar.

Setelah prosedur ini, Ibu akan dimonitor selama satu atau dua jam sebelum diperbolehkan pulang. Prosedur ini tidak terasa sakit, dan kebanyakan wanita merasa baik-baik saja setelahnya. Ibu akan diminta untuk berhati-hati saat bergerak selama satu atau dua minggu.

Ketika plasenta keluar, dokter akan dengan seksama memeriksanya untuk memastikan bagian plasenta utuh. Bila plasenta terlihat tidak lengkap, dokter atau bidan akan melakukan USG untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang tertinggal. Tapi kadang masih ada bagian plasenta yang tertinggal setelah pemeriksaan rinci terhadap plasenta yang sepertinya menunjukkan semua normal dan  Ibu baru bisa pulang dari rumah sakit. Kondisi ini dikenal dengan istilah retained products of conception (rpoc).

Bila Ibu mengeluarkan darah beku setelah melahirkan, hubungi dokter atau bidan dan beri tahu apa yang terjadi. Kemungkinan mereka perlu memeriksa Ibu untuk memastikan tidak terjadi lagi rpoc. Tidak semua wanita yang mengalami bagian kecil plasenta tertinggal akan mengeluarkannya secara alami. Bila Ibu mengalami gejala rpoc, segera hubungi dokter ya, Bu.

Penanganan retensio plasenta

Bila Ibu mengalami tahap ketiga persalinan secara alami dan melewati waktu satu jam tanpa mengeluarkan plasenta, dokter kemungkinan akan memberi injeksi oksitosin sintetis untuk mendorong rahim berkontraksi.

Kontraksi membantu mengeluarkan plasenta. Dokter bisa mencoba perlahan menarik dan mengangkat plasenta bila terlihat telah terlepas dari dinding rahim tapi belum keluar. Bila oksitosin sintetis tidak berhasil, atau bila ada kecemasan pendarahan pasca persalinan, dokter bisa mencoba obat lain.

Tapi sering kali dokter memilih pengangkatan manual atau D&C (Dilation & Curettage). Ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum. Bila ada risiko infeksi, penanganan lanjutan pada Ibu mencakup prosedur untuk mengangkat bagian plasenta yang tertinggal serta pemberian obat antibiotik.

Beberapa dokter menjalankan prosedur pengangkatan  retensio plasenta dan akan memulangkan Ibu dengan antibiotik untuk mencegah atau menangani tanda infeksi.

Mencegah retensio plasenta pada Ibu hamil

Kelahiran tidak bisa diprediksi secara pasti, sehingga cukup sulit untuk menurunkan risiko komplikasi ini. Bila Ibu hamil pernah mengalami retensio plasenta di kelahiran sebelumnya, maka Ibu hamil akan punya risiko lebih tinggi mengalaminya kembali. Pastikan dokter menangani Ibu lebih seksama selama persalinan tahap ketiga.

Bila kelahiran berisiko rendah, maka intervensi dengan pengobatan juga lebih rendah, imabasnya semakin rendah pula risiko komplikasi bagi Ibu hamil. Kontak skin to skin antara ibu dan bayi juga bisa menurunkan risiko retensio plasenta.

Menghindari induksi dengan oksitosin sintetis juga bisa menurunkan risiko retensio plasenta pada Ibu  hamil. Cara ini juga mampu mencegah operasi caesar dan luka rahim selanjutnya. Tapi hati-hati ya Bu, terlalu banyak oksitosin sintetis bisa menyebabkan atonia rahim di mana rahim berhenti berkontraksi atau tidak berkontraksi secara efektif.

Retensio plasenta pada Ibu hamil cukup mudah ditangani. Memilih dokter yang Ibu percaya bisa sangat penting ketika komplikasi muncul. Ketika percaya penuh pada dokter atau bidan, Ibu  hamil bisa merasa tenang mendapat bantuan dan bisa mengatasi komplikasi yang tidak terduga.

Seringkali pencegahannya  dimulai dari sikap sabar. Beberapa dokter bahkan menunggu hingga dua jam agar rahim menjepit secara alami dan menghindari pengangkatan manual kecuali sangat dibutuhkan (bila pendarahan berat terjadi, misalnya). Langkah lain yang diambil untuk mencegah retensio plasenta bisa juga berupa pijat rahim, pengobatan seperti oksitosin, dan penekanan yang dikenal dengan controlled cord traction pada plasenta. Teknik sederhana ini dilakukan selama satu jam setelah melahirkan.

Komplikasi retensio plasenta

Di waktu antara kelahiran bayi dan tahap dimana plasenta keluar dari rahim ibu, pendarahan berlebih bisa terjadi di mana bisa memicu kehilangan banyak darah. Kondisi ini bisa membuat ibu berisiko membutuhkan transfusi darah dan penanganan darurat lainnya untuk menghentikan pendarahan. 

Pada kasus lain, bila retensio plasenta sangat kecil dan tidak terjadi pendarahan abnormal, kondisi ini bisa memicu pendarahan yang berlangsung lebih lama. Pendarahan berlebih dimulai sekitar 10 sampai 12 jam setelah kelahiran atau kram dan rasa sakit abnormal 2 sampai 3 minggu setelah melahirkan.

Selama 10 sampai 12 hari setelah melahirkan adalah waktu di mana sisa plasenta terlepas, tapi kemungkinan tidak terasa karena rahim sudah mengecil. Tapi bila ada infeksi atau bagian kecil plasenta tertinggal, pendarahan baru berupa darah segar bisa terjadi, menjadi berat dan membutuhkan penanganan darurat.

Retensio plasenta setelah operasi caesar

Bila terjadi retensio plasenta setelah operasi caesar, kemungkinan ada potensi terjadinya plasenta akreta. Plasenta akreta merupakan bentuk paling berbahaya dan bisa sulit diangkat selama pembedahan. Seberapa banyak plasenta tumbuh di lapisan otot rahim Ibu hamil akan menentukan apakah penanganannya mudah tanpa perlu hysterectomy.

Jangan khawatir, hal-hal di atas kemungkinannya kecil terjadi pada Ibu selama persalinan dan kelahiran bayi. Dokter pasti tahu apa yang perlu dilakukan untuk mengurangi risiko dan membantu Ibu hamil menjalani persalinan rasa khawatir.

Plasenta menempel pada organ lain

Masalah plasenta yang paling parah adalah plasenta percreta. Ini terjadi ketika plasenta tidak hanya menempel di dinding rahim Ibu hamil, tapi juga menempel pada organ sekitarnya.

Pada sekitar 5 persen kasus plasenta percreta, akar kecil plasenta yang ada di rahim, menyebar pada dinding rahim Ibu hamil dan ke struktur lain seperti kandung kemih.

Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegah hal ini, tapi bila terdiagnosa pada masa kehamilan, dokter bisa membahas pilihan pembedahan bersama Ibu. Umumnya, cara satu-satunya mengatasi ini adalah menjalani hysterectomy setelah kelahiran, tapi bila Ibu masih ingin punya anak lagi, masih ada alternatif lainnya kok.

Pada kasus yang jarang, retensio plasenta bisa sangat dalam menempel pada rahim Ibu hamil atau organ sekitarnya, sehingga pembedahan perlu dilakukan untuk mengangkat plasenta. Ketika ini terjadi, pilihan satu-satunya untuk menyelamatkan hidup ibu adalah hysterectomy.

Meski begitu, hal tersebut cukup jarang terjadi. Kemungkinan Ibu mengalami retensio plasenta cukup kecil. Di kasus ini, hanya bagian kecil plasenta tumbuh di luar dinding rahim Ibu hamil dan sangat sedikit yang membutuhkan hysterectomy.

Di kondisi  seperti ini, Ibu akan dihadapkan pada keputusan yang sulit antara memilih hysterectomy atau tidak. Ini bukan pilihan yang mudah dan hanya direkomendasikan bila dianggap sangat penting.

Bila Ibu tidak berkeinginan memiliki anak lagi, maka ini bisa jadi keputusan yang mudah. Jika tidak, akan terasa berat mengetahui diri Ibu tidak bisa hamil lagi. Terlebih perubahan hormon setelah melahirkan dan merawat bayi baru lahir bisa membuat Ibu lebih berisiko mengalami depresi pasca persalinan.

Seberapa mungkin retensio plasenta terjadi?

Sebuah studi melibatkan 146 wanita yang mengalami retensio plasenta dan dibandingkan dengan 300 wanita yang  melahirkan secara normal tanpa mengalami komplikasi. Peneliti menentukan faktor seperti usia ibu, durasi persalinan, riwayat medis, dan abnormalitas pada antenatal lalu memilih wanita yang melahirkan di bawah kondisi serupa.

Penelitian menunjukkan faktor risiko paling signifikan yang mempengaruhi terjadinya retensio plasenta adalah apabila Ibu hamil mengalami retensio plasenta setelah kelahiran sebelumnya. Begitu juga bila Ibu hamil pernah menjalani pembedahan rahim sebelumnya, termasuk operasi caesar.

Setelah riwayat retensio plasenta, kelahiran prematur jadi faktor risiko berikutnya, ini karena plasenta dirancang untuk berada di tempatnya selama 40 minggu dan tidak terlepas sebelum waktu ini.

Risiko terakhir adalah usia ibu hamil yang melebihi 35 tahun, plasenta yang beratnya kurang dari 1,3 pound, penggunaan pethadine saat persalinan, dan induksi. Bila Ibu hamil memiliki sejumlah faktor risiko ini, dokter akan mewaspadainya dan mengatasi kemungkinan retensio plasenta.

(Ismawati, Yusrina)

Follow Ibupedia Instagram