9 Tradisi Ibu Hamil Unik dari Berbagai Daerah di Indonesia
Tahukah Ibu? Indonesia memiliki banyak tradisi ibu hamil yang diselenggarakan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hadirnya janin dalam rahim. Ritual adat saat ibu hamil juga biasanya diadakan untuk mendoakan keselamatan ibu dan calon bayi agar terhindar dari segala mara bahaya.
Ya, di negara dengan adat dan budaya yang masih sangat kental seperti Indonesia, kehamilan memang dianggap sebagai fase hidup yang sakral, dan oleh karena itu wajib “dirayakan” sebaik mungkin. Nah, kira-kira apa saja sih tradisi ibu hamil yang masih lestari di berbagai daerah di Tanah Air?
Tingkeban (Jawa)
Tingkeban adalah tradisi ibu hamil yang jamak dilakukan masyarakat dari suku Jawa. Biasa juga disebut dengan mitoni, upacara adat ini diselenggarakan ketika usia kehamilan masuk tujuh bulan.
Tradisi yang satu ini bertujuan untuk mendoakan bayi agar nantinya bisa lahir dengan sehat, normal, selamat, dan jauh dari mara bahaya. Calon ibu yang sedang mengandung juga didoakan agar selalu sehat dan selamat sampai proses persalinan nanti.
Dilansir dari Javaans.net, penamaan upacara tingkeban diambil dari kisah sepasang suami istri, Ki Sedya dan Ni Satingkeb yang mengerjakan laku prihatin atas nasihat Raja Jayabaya. Oh ya, pada ritual tingkeban/mitoni, calon ayah dan ibu akan menjual rujak atau dawet yang nanti “dibeli” para tamu dengan menggunakan pecahan genteng sebagai mata uang.
Mimbit Arep (Dayak)
Mimbit arep adalah tradisi ibu hamil yang hingga kini masih lestari di kalangan masyarakat Dayak Ngaju. Upacara ini dilakukan saat usia kehamilan menginjak 3 bulan dan identik dengan prosesi mengikatkan tali bernama palis pangereng di perut si calon ibu. Filosofinya adalah untuk menjaga kandungan ibu agar kelak bayi bisa lahir dengan sehat dan tidak lahir prematur.
Manggantung Sahur Kehamilan (Dayak)
Selain mimbit arep, suku Dayak juga mengenal ritual manggantung sahur kehamilan, yakni tradisi ibu hamil yang dilakukan ketika usia kandungan sekitar 6-7 bulan. Tujuannya adalah agar proses melahirkan berjalan normal tanpa halangan apa pun dan bayi lahir dengan selamat.
Bagi masyarakat Dayak, calon orang tua yang sedang menantikan kehadiran si buah hati punya pantangan-pantangan tertentu, misalnya:
Tidak boleh berkata bohong;
Dilarang meminta milik orang lain tanpa izin;
Tidak boleh mengejek bentuk fisik orang lain;
Dilarang melilitkan handuk di leher; dan
Tidak boleh pelit, terutama jika ada yang meminta sedekah, dll.
Manyaki Tihi (Dayak)
Satu lagi tradisi ibu hamil yang umum dilakukan suku Dayak. Namanya manyaki tihi. Sama seperti ritual kehamilan lainnya, prosesi adat ini dilakukan dengan tujuan agar kandungan ibu tetap sehat dan bayi lahir dengan selamat, sempurna, tanpa halangan apa pun.
Manyaki tihi ini digelar pada bulan kelima kehamilan dan punya ciri khas mengoleskan darah ayam atau babi pada wanita yang sedang hamil sambil diiringi doa manyaki tihi.
Mappanre to-mangideng (Bugis)
Nah, selanjutnya ada tradisi ibu hamil ala suku Bugis yang bernama mappanre to-mangideng. Upacara adat ini dilakukan saat kehamilan masih berusia 1 bulan (4 minggu). Prosesinya juga terbilang sederhana, yakni menyuapi calon ibu dengan berbagai makanan lezat dan bergizi, termasuk makanan kesukaannya.
Tujuan upacara mappanre to-mangideng adalah untuk menyenangkan hati ibu hamil, sehingga nanti ketika usia kandungannya terus bertambah si ibu lebih lapang dan tidak “dibebani” dengan ngidam sesuatu yang sulit atau bahkan kurang sehat. Wah… Unik juga ya, Bu.
Mangirdak (Batak)
Mangirdak adalah tradisi ibu hamil khas Batak yang sedikit mirip dengan upacara tingkeban atau mitoni di Jawa. Ritual ini diadakan di rumah si pihak ibu ketika usia kandungan 7 bulan. Biasanya ibu si wanita (calon nenek) akan memasak beragam sajian lezat sebagai syarat. Satu menu yang tak boleh ketinggalan adalah ikan mas arsik.
Nah, selanjutnya si ibu akan menyuapi langsung anaknya yang sedang hamil sambil mendoakan agar kelak proses persalinan berjalan lancar. Tamu yang hadir juga turut bersuka cita mendoakan dan memberi wejangan kepada si calon ibu bagaimana agar kehamilan tetap sehat dan tips-tips supaya persalinan lancar tanpa kendala.
Tradisi Mee Bu (Aceh)
Mee bu adalah tradisi mengirim makanan kepada ibu hamil yang masih jamak ditemui di kalangan masyarakat Aceh. Acara ini dilakukan ketika usia kandungan 7 bulan. Dalam mee bu, keluarga dari pihak laki-laki (calon ayah) akan mengirim beragam masakan kepada si ibu mengandung.
Menu yang dibawa biasanya tidak jauh dari makanan tradisional Aceh, seperti dodoi, bhoi, timphan, keukarah, meuseukat, dan kue wajeb. Selain itu, ada juga rujak dan bu kulah, semacam nasi lezat khas Aceh yang dibungkus dengan daun pisang.
Tamu yang hadir juga dipersilakan untuk memberikan salam tempel (sedekah) kepada calon ibu dan menikmati jamuan yang sudah disediakan. Ibu pembaca sekalian yang tinggal atau berasal dari Aceh, masihkah menjumpai tradisi ibu hamil yang satu ini?
Magedong-Gedongan (Bali)
Di Bali, prosesi tujuh bulanan pada ibu hamil disebut dengan magedong-gedongan. Bedanya, ritual adat ini dilakukan saat usia kehamilan masih berusia 5 atau 6 bulan. Tujuan diadakannya magedong-gedongan adalah agar calon ibu selalu sehat, jauh dari mara bahaya, dan bayi lahir suputra—bayi lahir selamat, normal, dan kelak mempunyai budi pekerti yang luhur.
Oh iya, dalam prosesi ini terdapat sajen atau sesaji yang berisi daun kumbang, ikan lele, ikan nyalian, belut, ikan karpel, tumbak tiing, serta paso dari tanah liat. Di Pulau Dewata, ibu hamil juga pantang mengonsumsi gurita, sebab menurut kepercayaan setempat hewan laut yang satu ini bisa menyulitkan proses persalinan.
Pelet Kandung (Madura)
Pelet kandung adalah tradisi ibu hamil asal Madura yang masih bertahan sampai saat ini. Upacara adat ini digelar ketika usia kehamilan 7 bulan, tepatnya pada tanggal 14. Tujuannya adalah agar bayi yang dikandung nantinya lahir dengan sempurna layaknya bulan purnama. Filosofis sekali ya, Bu?
Ritual ini dimulai dengan pemijatan ibu hamil oleh paraji (dukun bayi) dibarengi pembacaan ayat Al-Qur’an, seperti surat Yasin, Maryam, dan Yusuf. Selanjutnya calon ibu akan menjalani prosesi mandi kembang dengan gayung yang dibuat dari bathok kelapa.
Dikutip dari Okezone, pada prosesi ini, segala sesuatu yang dipegang Ibu mesti mengeluarkan bunyi-bunyian agar si bayi nantinya lahir tidak menderita bisu/tuli. Untuk menyelenggarakan pelet kandung dibutuhkan bahan-bahan seperti kelapa muda, kelapa, kembang tujuh rupa, bubur, nasi rasol (tumpeng), ayam muda, dan telur ayam mentah.
Tentu masih banyak tradisi ibu hamil lain khas Indonesia yang tak kalah unik dan filosofis. Apa pun itu, tujuan utamanya adalah mendoakan keselamatan serta kesehatan calon ibu dan bayi. Nah, kalau Ibu sendiri pernah atau akan mengikuti prosesi adat yang mana, nih?
Penulis: Kristal
Editor: Dwi Ratih