Daftar Lengkap Tes Kehamilan untuk Ibu Hamil Trimester 1, 2, 3
Melakukan pemeriksaan kehamilan alias tes skrining prenatal kadang dianggap sepele oleh para ibu hamil. Di satu sisi, tes prenatal ini dibutuhkan demi mengetahui kondisi jabang bayi yang masih ada di dalam perut ibu. Namun di sisi lain, ibu hamil dibuat galau karena harus merogoh kantong dalam-dalam untuk melakukan skrining ini.
Tes skrining prenatal ialah serangkaian prosedur yang dilakukan oleh ibu hamil untuk mengetahui apakah bayi yang dikandungnya berpotensi lahir dengan kelainan bawaan atau tidak. Selain itu, tes ini juga berguna untuk mengetahui kondisi kesehatan ibu hamil dan menentukan apakah ibu hamil memiliki risiko untuk melahirkan secara prematur sehingga membantu dokter untuk melakukan berbagai langkah preventif.
Dr. Charles Lampley, asisten profesor di Sekolah Kedokteran Chicago sekaligus dokter kandungan di Rumah Sakit Mount Sinai Chicago, Amerika Serikat, mengamini bahwa pemeriksaan prenatal ini tidak bersifat wajib dijalani oleh ibu hamil. Meski demikian, ibu hamil berhak meminta untuk melakukan skrining prenatal jika betul-betul ingin mengetahui kondisi kesehatan ibu dan bayi di dalam kandungan.
"Sebagian besar bayi lahir dengan kondisi normal dengan catatan ibu hamil menjalani pola hidup sehat dan tidak ada riwayat kesehatan maupun keturunan yang berpotensi membawa kelainan bawaan pada bayi baru lahir," kata Lampley.
Sekalipun tidak wajib, ada baiknya ibu hamil menjalankan beberapa skrining prenatal ini. Jika hasilnya negatif, tentu hal itu menenangkan pikiran bahwa janin ibu akan tumbuh dengan baik-baik saja. Namun sekalipun hasilnya menunjukkan ada kelainan dengan ibu hamil atau janin yang ibu kandung, maka ibu dan ayah bisa lebih siap dalam mempersiapkan masa mendatang, baik untuk kesehatan dan keselamatan ibu maupun bayi.
Jika ibu hamil ingin menjalankan skrining prenatal, konsultasikan dengan dokter atau bidan tentang jenis tes yang akan diambil ya. Diskusikan juga manfaat tes tersebut, risikonya, serta pertimbangan jika hasil skrining itu tidak sesuai dengan harapan ibu hamil maupun suami. Skrining prenatal pun banyak macamnya dan tidak semuanya harus dijalankan oleh ibu hamil.
Tes Prenatal untuk Ibu Hamil di Trimester Pertama
Tes skrining prenatal biasanya dilakukan di trimester pertama dan timester kedua, namun ada juga yang dilakukan di trimester ketiga sebelum melahirkan, terlebih jika ditemukan masalah dalam diri ibu hamil. Untuk trimester pertama, semakin cepat dilakukan skrining maka akan semakin baik.
Dokter biasanya menyarankan ibu untuk melakukan tes darah rutin dan melakukan kontrol dokter per satu bulan, kecuali ibu memiliki riwayat kesehatan yang rentan terhadap keguguran maupun memiliki masalah kehamilan seperti flek. Selain itu, tekanan darah ibu juga wajib selalu dipantau tiap kontrol dokter untuk mengantisipasi risiko pre-eklampsia bagi ibu hamil dengan tekanan darah tinggi atau hipertensi.
USG
Pemeriksaan ultra sonografi (USG) di awal masa kehamilan biasanya dilakukan untuk menentukan umur kehamilan itu sendiri. Selain itu, USG juga berfungsi melihat kondisi fisik calon bayi secara keseluruhan, yakni kondisi tulang, detak jantung, maupun kelengkapan organ lainnya.
Jika tidak ada masalah dalam kehamilan ibu, biasanya dokter cukup melakukan USG lewat perut (USG abdominal) karena dari situ pun sudah bisa terlihat jelas kantong janin maupun janin dan detak jantungnya.
Dokter biasanya akan memulai pemeriksaan dengan USG 2 dimensi (2D). Meski merupakan pemeriksaan USG yang paling dasar, USG 2D ini sudah bisa mendeteksi kemungkinan cacat fisik yang diderita oleh janin. Jika dokter tidak menemukan indikasi cacat fisik tersebut, maka ibu tidak wajib melakukan pemeriksaan lanjutan yang sifatnya lebih detil.
Lain halnya jika ibu hamil memiliki keluhan dalam perjalanan kehamilannya, maka dokter bisa memilih untuk melakukan USG melalui vagina alias USG transvaginal. USG transvaginal biasanya dilakukan ketika ibu hamil mengalami kandungan yang berisiko, misalnya kehamilan yang dibarengi dengan tumor, kista, endometriosis, nyeri panggul yang tidak normal, perdarahan vagina, maupun posisi plasenta yang menutupi jalur lahir alias plasenta previa.
Selain itu, ketika usia kandungan ibu sudah mencapai 11 hingga 14 minggu, ibu hamil bisa meminta untuk dilakukan USG nuchal translucensy (NT) untuk mengetahui ada atau tidaknya risiko bayi lahir dengan kelainan bawaan down syndrome. Lewat USG NT, dokter akan melihat akumulasi cairan di belakang leher janin. Semakin banyak cairannya, maka potensi bayi lahir dengan kondisi down syndrome juga semakin besar.
Down syndrome sendiri merupakan kelainan genetis yang bisa memengaruhi kondisi fisik maupun intelektual dalam diri anak. Kelainan bawaan lahir ini terjadi dalam satu di antara 380 kelahiran dan bisa menimpa ibu hamil di usia berapapun dengan ibu hamil berusia di atas 35 tahun memiliki risiko lebih besar.
Pengambilan sampel darah
Banyak skrining terhadap ibu hamil yang bisa dijalankan dengan pengambilan tes darah ini, oleh karenanya konsultasikan dengan dokter mengenai skrining yang ingin ibu jalani. Biasanya, pengambilan sampel darah dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan rutin kehamilan, yakni mengetahui golongan darah ibu, kadar gula dalam darah untuk mengetahui apakah ibu mengidap diabetes, kadar zat besi untuk menentukan apakah ibu anemia, maupun jenis resus (Rh) terutama jika suami dan istri memiliki Rh yang berbeda.
Selain itu, pengambilan sampel darah ibu hamil juga diperlukan untuk mengetahui apakah ibu mengidap penyakit menular seperti HIV. Tidak lupa juga untuk ibu melakukan skrining untuk mengetahui ada atau tidaknya virus TORCH (Toksoplasma, Other agents seperti sivilis, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes) di dalam tubuh ibu hamil. Biaya untuk tes TORCH lengkap biasanya berkisar antara Rp1,2 juta hingga Rp2 jutaan.
Ibu hamil yang terinfeksi virus ini kemungkinan melahirkan bayi dengan kelainan bawaan. Semakin dini virus ini diketahui berada di tubuh ibu hamil, maka semakin besar harapan untuk meminimalisir risikonya, meski kans untuk sembuh benar atau virus tidak menyerang janin cukup kecil.
Tes urin
Pengambilan sampel urin bisa dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan di ginjal yang ditandai dengan positifnya bakteri di dalam sampel urin tersebut. Namun, adanya bakteri dalam urin tidak mutlak berarti ginjal ibu rusak karena selama hamil, urin ibu akan menjadi kurang asam dan lebih banyak mengandung glukosa sehingga meningkatkan potensi pertumbuhan bakteri.
Oleh karena itu, penting bagi ibu hamil untuk selalu menjaga kebersihan organ intim selama masa kehamilan dan usahakan untuk selalu kering dan tidak lembab. Bila ibu hamil mengeluhkan adanya keputihan atau rasa sakit pada vagina, langsung konsultasikan kepada dokter agar dilakukan pemeriksaan menyeluruh demi mencegah terjadinya infeksi saluran kencing (ISK).
Pap smear
Pemeriksaan pap smear diperlukan jika ibu hamil belum pernah atau sudah lama tidak melakukan pemeriksaan ini. Pap smear dilakukan dengan mengambil sampel lendir atau cairan dari vagina untuk dicek apakah ibu hamil mengidap kanker serviks atau penyakit menular yang ditularkan lewat hubungan seks seperti gonore ataupun chlamydia. Infeksi bakteri tersebut bisa mengakibatkan ibu hamil melahirkan bayi prematur sehingga harus segera diobati untuk meminimalisir dampaknya.
Chorionic villi sampling (CVS)
Jika 4 pemeriksaan di atas tidak bersifat invasif alias relatif tidak mengganggu keberadaan janin di dalam perut ibu hamil, chorionic villi sampling (CVS) berbeda. Prosedur skrining CVS berisiko menyebabkan ibu hamil mengalami keguguran sebesar 1%, namun memiliki tingkat akurasi hasil skrining mencapai 99%. Atas pertimbangan risiko tersebut, dokter biasanya baru menganjurkan skrining CVS jika ibu hamil memenuhi kriteria sebagai berikut:
Ibu hamil terindikasi lewat USG 2D mengandung janin yang berisiko mengalami kelainan bawaan
Ibu pernah melahirkan anak dengan kelainan bawaan
Ibu hamil berusia 35 tahun ke atas
Ibu atau ayah memiliki kelainan bawaan lahir atau memiliki riwayat keturunan dengan kelainan bawaan lahir.
Skrining CVS dilakukan ketika ibu hamil memasuki usia kehamilan 10 hingga 12 minggu dengan cara mengambil sampel plasenta ibu. Dokter bisa memasukkan kateter seukuran benang melalui serviks ibu hamil atau menusukkan jarum melalui perut untuk mengambil sampel plasenta. Skrining ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya risiko kelainan bawaan pada bayi yang diakibatkan oleh genetik, seperti down syndrome, sel bulan sabit (menyebabkan anemia serta komplikasi lain seperti mudah lelah, keterlambatan pertumbuhan, dan sebagainya), cystic fibrosis (penyumbatan saluran pencernaan dan pernapasan), hemofilia (kekurangan faktor pembekuan darah), maupun distrofi otot (kelemahan progresif dan degradasi otot).
Tes Prenatal untuk Ibu Hamil di Trimester Kedua
Skrining di trimester kedua ini biasanya bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan genetik serta mengecek kelengkapan fisik janin. Skrining di trimester dua sudah bisa dilakukan saat usia kehamilan memasuki 15 atau 16 minggu.
Tes darah
Di trimester kedua, ibu bisa meminta untuk melakukan tes darah untuk mengetahui ada atau tidaknya potensi kelainan bawaan pada bayi, seperti down syndrome dan kelainan pada tabung saraf (neural tube) seperti spina bifida (pembentukan saraf tulang belakang yang tidak sempurna) dan anencephaly (sebagian otak dan tulang tengkorak kepala bayi tidak terbentuk). Dokter mungkin akan menyatankan ibu hamil untuk melakukan skrining MSAFP (maternal serum alpha-fetoprotein) di usia kandungan 15 hingga 18 minggu.
Ketika darah ibu diambil untuk dijadikan sampel skrining MSAFP, darah yang sama juga bisa dijadikan sebagai sampel untuk mendeteksi hormon estriol dan hCG sehingga disebut juga sebagai skrining multiple marker. Tes ini memperbesar akurasi dalam menentukan ada atau tidaknya kemungkinan kelainan bawaan down syndrome maupun neural tube defects.
Sebanyak 5% ibu hamil yang menjalani skrining ini biasanya divonis positif mengidap bayi dengan kelainan bawaan. Namun, hanya 10% dari jumlah tersebut yang benar-benar melahirkan bayi dengan kelainan bawaan sesuai hasil skrining MSAFP maupun multiple marker tersebut.
Neural tube defects sendiri bisa dicegah dengan ibu hamil rajin mengonsumsi 0,5 mg asal folat per hari. Konsumsi asam folat ini dilakukan satu bulan sebelum hamil maupun selama trimester pertama kehamilan karena neural tube defects biasanya terjadi di pekan keempat usia kehamilan.
USG
Ketika ibu hamil sudah memasuki trimester kedua, ibu juga bisa melanjutkan rutinitas pemeriksaan USG 2D untuk menentukan hari perkiraan lahir (HPL). Ketika usia kehamilan makin besar, ibu juga bisa mengecek kelengkapan fisik bayi lainnya, seperti tangan, kaki, maupun jumlah jarinya.
Selain USG 2D, ibu hamil juga bisa meminta dokter untuk melakukan USG 3 dimensi (3D), 4 dimensi (4D), bahkan 5 dimensi (5D). Semakin tinggi dimensi USG, semakin detil organ tubuh janin yang bisa diamati. Pada USG 3D, misalnya, ibu hamil juga bisa memastikan apakah janin mengidap kelainan bawaan seperti bibir sumbing ketika kehamilan memasuki usia 18 hingga 23 minggu.
Sedangkan pada USG 4D, ibu hamil bisa memantau gerakan janin secara real time. Nah, untuk USG 5D yang merupakan teknologi ultra sonografi terkini dari para pendahulunya, gambar yang ditampilkan lebih tajam lagi, bahkan seolah-olah ibu sedang masuk ke rahim dan berinteraksi langsung dengan jabang bayi.
Namun, dokter biasanya tidak merekomendasikan ibu hamil melakukan USG di atas 2D jika tidak ada indikasi cacat pada bayi. Terlebih, USG 3D dan 4D membutuhkan biaya yang lebih mahal dibanding USG 2D dan belum semua klinik atau rumah sakit menyediakan USG di atas 2D, selain karena keterbatasan alat, dokter yang memeriksa ibu hamil untuk melakukan skrining USG 3D, 4D, atau 5D seharusnya memiliki sertifikasi khusus.
Tes glukosa
Skrining untuk menentukan kadar gula dalam darah ini biasanya dilakukan jelang berakhirnya trimester kedua, yakni di usia kehamilan (UK) 24 minggu hingga 28 minggu. Tes glukosa yang positif akan menunjukkan bahwa ibu hamil mengidap diabetes gestasional, yakni tingginya kadar gula dalam darah yang dipengaruhi oleh kehamilan.
Ibu hamil yang mengidap diabetes gestasional berisiko mengalami proses kelahiran yang sulit karena bayi yang besar dan berat, namun dengan kadar gula rendah, sehingga tidak jarang dokter menyarankan ibu hamil dengan diabetes gestasional untuk melahirkan dengan operasi caesar. Setelah melahirkan, ibu pun kembali disarankan untuk melakukan tes diabetes karena penderita diabetes gestasional berpotensi menderita diabetes melitus dalam kurun 10 tahun setelah melahirkan.
Prosedur skrining diabetes gestasional ialah ibu hamil diminta untuk mengonsumsi zat dengan kandungan gula yang tinggi, misalnya meminum soda. Satu jam kemudian, ibu hamil diambil darahnya untuk dites. Sebanyak 20% ibu biasanya memang dinyatakan positif diabetes gestasional, tapi ibu biasanya diminta untuk melakukan tes lanjutan untuk memastikan diagnosa tersebut.
Amniocentesis
Sama seperti CVS, skrining amniocentesis bersifat invasif alias berpotensi kecil menyebabkan ibu keguguran sehingga hanya disarankan untuk menegaskan diagnosa dari tes skrining MSAFP atau multiple marker. Amniocentesis biasanya dilakukan di usia kehamilan 15 hingga 18 minggu atau lebih dini jika terdapat faktor risiko dalam diri ibu hamil, yakni:
Ibu pernah melahirkan anak dengan kelainan bawaan
Ibu hamil berusia 35 tahun ke atas
Ibu atau ayah memiliki kelainan bawaan lahir atau memiliki riwayat keturunan dengan kelainan bawaan lahir.
Prosedur skrining amniocentesis ialah dokter menyuntikkan jarum lewat perut ibu hamil untuk mengambil sampel air ketuban dalam rahim ibu hamil. Kegiatan mengganggu kantong kehamilan inilah yang membuat ibu hamil berisiko mengalami keguguran dalam tes skrining amniocentesis, tapi persentase keguguran itu bervariasi, tergantung usia kehamilan ibu dan keahlian dokter dalam melakukan skrining tersebut. Jika tes dilakukan di usia 15 minggu atau lebih, persentase keguguran dalam tes skrining ini rata-rata ialah 0,2% hingga 0,5%, sedangkan persentase itu bertambah menjadi rata-rata 2,2% ketika ibu memilih untuk melakukan skrining di usia kehamilan 11 hingga 14 minggu.
Skrining amniocentesis juga bisa dilakukan untuk menentukan apakah paru-paru janin sudah matang. Tes ini penting dilakukan jika ibu hamil memiliki rencana untuk melahirkan secara caesar atau normal (dengan induksi) dalam rentang usia kehamilan 32 hingga 39 minggu karena banyak hal, misalnya alasan kesehatan.
"Jika calon ibu dan ayah tidak ingin mengambil tindakan apapun hasil tesnya, maka sebaiknya tidak usah menjalankan skrining prenatal yang bersifat diagnostik, seperti amniocentesis atau CVS," kata Dr. Michael Mennuti, kepala dokter kandungan di Sekolah Kedokteran University of Pennsylvania, Amerika Serikat.
Tes Prenatal untuk Ibu Hamil di Trimester Ketiga
Grup B Streptococcus (GBS)
Mirip dengan pemeriksaan pap smear, skrining GBS juga dilakukan dengan cara mengambil sampel lendir dari vagina ibu hamil saat usia kehamilan memasuki 35 hingga 37 minggu untuk menemukan ada atau tidaknya bakteri Grup B Streptococcus (GBS). GBS merupakan bakteri yang biasanya berkembang di vagina ibu dan tidak berbahaya bagi ibu, tapi bisa menyebabkan penyakit serius pada bayi baru lahir karena belum memiliki sistem imun yang baik, seperti sepsis hingga lahir dalam keadaan meninggal dunia (stillbirth). Jika ibu hamil didiagnosa positif GBS, dokter biasanya akan meresepkan antibiotik agar efek dari GBS terhadap bayi baru lahir tidak terlalu parah.
Setelah menjalani serangkaian tes di atas, ibu hamil harus langsung mendiskusikan hasilnya dengan dokter ya. Jangan mengambil kesimpulan sendiri karena hasil positif belum tentu menandakan bahwa ibu hamil memiliki masalah ataupun dipastikan melahirkan bayi dengan kelainan bawaan.
(Asni / Dok. Freepik)