Catat! Ini Ketentuan dan Cara Membayar Fidyah Ibu Hamil
Selain ibu menyusui, ibu hamil juga termasuk golongan yang mendapat keringanan untuk meninggalkan puasa Ramadan. Alasannya, berpuasa dianggap bisa berisiko buruk pada perkembangan janin dalam kandungan. Nah, buat bumil yang tahun ini terpaksa absen berpuasa karena alasan kesehatan, jangan lupa melunasi utang puasa dengan membayar fidyah ibu hamil, ya!
Apa Sih Fidyah Itu dan Bagaimana Kriterianya?
Ketika hamil, beragam perubahan fisik serta emosional sangat mungkin dirasakan oleh tubuh. Tak jarang ada ibu hamil yang sampai harus bed rest karena kondisi kesehatannya yang terus menurun. Selain lemah, beberapa gejala seperti pusing, mual dan muntah, lelah, dll. juga kerap dirasakan ketika hamil.
Nah, kondisi semacam itulah yang sering kali membuat ibu hamil tak kuat menjalani puasa Ramadan. Aturan syar’i sendiri memperbolehkan (bahkan menganjurkan) bumil untuk tidak berpuasa jika kesehatannya tidak mendukung. Semata demi keselamatan si ibu sendiri dan janin dalam rahim. Sebagai gantinya, ibu hamil diwajibkan untuk mengganti puasa (qadha) dan/atau membayar fidyah ibu hamil.
Hal tersebut tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 184 yang artinya:
”(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Ya, dari ayat tersebut didapat tafsir bahwa ibu hamil dan ibu menyusui termasuk golongan yang sakit sehingga diperbolehkan meninggalkan puasa DAN menggantinya dengan cara membayar fidyah ibu hamil atau fidyah ibu menyusui.
Nah, sebelum membahas lebih jauh tentang cara membayar fidyah ibu hamil, kita cari tahu dulu yuk apa sih sebetulnya fidyah itu?
Dilansir dari laman website BAZNAS, fidyah berasal dari kata “fadaa” yang dalam bahasa Arab artinya mengganti atau menebus. Fidyah untuk ibu hamil di sini merujuk pada sesuatu yang dipakai untuk menggantikan utang puasa Ramadan yang ditinggalkan karena alasan tertentu.
Fidyah ini bisa berupa uang, bahan makanan pokok, maupun makanan siap santap. Besaran fidyah ibu hamil dihitung sebanyak hari puasa yang ditinggalkan. Nantinya, fidyah harus dibagikan kepada orang-orang miskin. Lalu, bagaimana sih aturan atau cara bayar fidyah untuk ibu hamil yang sesuai dengan syariat Islam?
Berapa Takaran Bayar Fidyah Ibu Hamil?
Takaran fidyah ibu hamil nggak sembarang ditentukan, lho. Ada hitungannya menurut syariat. Pendapat soal besaran jumlah fidyah ibu hamil terbagi menjadi:
1. Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpandangan bahwa jumlah fidyah yang harus dibayarkan ibu hamil adalah sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons = 675 gram = 0,75 kg) per hari puasa.
2. Pendapat Imam Hanafi
Imam Hanafi berpendapat bahwa besaran fidyah ibu hamil yang wajib dikeluarkan adalah sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha' gandum. (Jika 1 sha' setara 4 mud = sekitar 3 kg, maka 1/2 sha' berarti sekitar 1,5 kg) per hari puasa.
Nah, pendapat ulama Hanafiyah ini umumnya dipakai oleh bumil yang membayar fidyah dalam bentuk beras.
Nah, dalam kesepakatan ulama di atas disebutkan bahan pokok gandum sebagai fidyah ibu hamil. Karena kita tinggal di Indonesia yang mayoritas makanan pokoknya adalah nasi, maka konteksnya kita sesuaikan dengan kondisi lokal saja. Artinya, Ibu bisa mengganti gandum dengan beras atau makanan siap santap lainnya.
Begitu pun jika Ibu menggunakan uang sebagai fidyah. Nominalnya tinggal disesuaikan dengan harga rata-rata makanan pokok pada saat itu. Agar lebih jelas, coba simak ilustrasi dari cerita berikut yuk.
Ibu Sari terpaksa tidak ikut berpuasa Ramadan karena sedang hamil dan kondisi kesehatannya kurang mendukung. Nah, dia berniat bayar fidyah ibu hamil. Jumlah hari puasa yang ditinggalkan Ibu Sari adalah 30 hari. Maka rumus menghitung fidyahnya adalah sebagai berikut:
- Menurut Imam Malik & Imam Syafi’i:
0,75 kg x 30 hari = 22,5 kg beras
- Menurut Imam Hanafi:
1,5 kg x 30 hari = 45 kg beras
Jika Ibu Sari berniat membayar fidyah berupa uang tunai, jumlahnya tinggal disesuaikan. Misalnya harga beras di pasaran saat ini adalah Rp12.000 per kg. Maka nominal yang harus dibayarkan adalah:
- 22,5 kg beras x Rp12.000 = Rp270.000 (Imam Malik & Imam Syafi’i)
- 45 kg beras x Rp12.000 = Rp540.000 (Imam Hanafi)
Nah, fidyah ini bisa dibagikan kepada 30 orang ATAU beberapa orang saja. Jika fidyah dibagi ke 3 orang miskin (misalnya), maka per orang mendapat 10 takar. Sampai sini jelas kan, Bu, soal takaran fidyah ibu hamil?
Lalu, apakah pembayaran fidyah ibu hamil boleh diwakilkan? Pembayaran fidyah ibu hamil bisa dilakukan secara langsung oleh yang bersangkutan maupun melalui tangan orang lain. Sekarang juga sudah banyak lembaga tepercaya yang menampung dan membagikan zakat serta fidyah dengan cara yang mudah. Ibu tinggal menyesuaikannya dengan kebutuhan. Mudah sekali, kan, Bu?
Fidyah dan Qadha Puasa. Boleh Salah Satu atau Wajib Keduanya?
Aturan mengenai fidyah ibu hamil dan menyusui ternyata nggak cuma sampai di situ lho, Bu. Masih ada tambahan catatan lain yang perlu diperhatikan, yaitu soal qadha puasa. Sebagian Ibu mungkin masih bimbang, apakah utang puasa bisa dilunasi hanya dengan bayar fidyah saja, meng-qadha puasa, atau bahkan dua-duanya?
Nah, soal itu bisa disimak penjelasan dari Abdurrahman al-Juzairi seperti yang dikutip dari NU Online berikut ini:
“Madzhab syafii berpendapat, bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinnya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla`nya. Namun dalam kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan memmbayahakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah”. (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, h. 521)
Dari pendapat di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa ibu hamil dan ibu menyusui yang tidak ikut berpuasa tergolong dalam 3 kelompok:
- Bumil/busui yang khawatir terhadap kondisi dirinya sendiri jika berpuasa;
- Bumil/busui yang khawatir terhadap kondisi janin atau bayinya jika berpuasa; dan
- Bumil/busui yang khawatir terhadap kondisi dirinya sendiri dan bayi atau janinnya jika berpuasa.
Bumil atau busui yang masuk kelompok pertama dan kedua tetap diwajibkan mengganti puasa (qadha) di hari lain (di luar bulan Ramadan) sejumlah hari yang ditinggalkan.
Sedangkan untuk kelompok ketiga, selain meng-qadha puasa, ia juga diwajibkan membayar fidyah ibu hamil/menyusui dengan jumlah yang sudah ditetapkan (sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkan).
Nah, pendapat lain datang dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah (merujuk pada pendapat mazhab Hanafiyah) yang menyatakan bahwa ibu hamil atau ibu menyusui yang tidak dapat berpuasa pada bulan Ramadan wajib membayar fidyah sejumlah hari puasa yang ditinggalkan. Namun, ia tidak punya kewajiban untuk mengganti puasanya di hari lain.
Pendapat ini didasarkan pada dua hadis Rasulullah yang artinya:
“Diriwayatkan dari Anas Ibnu Malik al-Ka’bi bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separo salat bagi orang yang bepergian, dan membebaskan pula dari puasa orang hamil dan orang yang menyusui.” (HR. lima ahli hadis)
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi wanita yang mengandung dan menyusui berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya.” [HR. Abu Dawud]
Bumil Ingin Berpuasa? Konsultasi ke Dokter Kandungan Dulu, Yuk!
Dirangkum dari dalil-dalil di atas, perempuan muslim yang sedang hamil atau menyusui jelas mendapat keringanan untuk meninggalkan puasa Ramadan. Namun, juga tidak ada larangan berpuasa selama kondisi kesehatannya mendukung.
Saya ibu hamil ingin ikut berpuasa Ramadan, bagaimana cara mengetahui apakah kondisi fisik saya mendukung untuk ikut berpuasa? Jawabannya tak lain tak bukan adalah dengan berkonsultasi pada dokter kandungan yang merawat Ibu.
Sebelum memberi lampu hijau, dokter akan melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk memastikan bahwa puasa tidak akan membahayakan Ibu serta janin dalam kandungan. Nah, izin dokter ini biasanya juga dibarengi dengan anjuran untuk segera berbuka/membatalkan puasa jika di tengah jalan Ibu merasa tidak kuat atau mendapati sesuatu yang kurang beres—baik pada janin maupun bumil sendiri.
Sebaiknya selalu patuhi apa yang dikatakan dokter ya, Bu. Sebab dokterlah yang tahu betul kondisi kesehatan Ibu dan calon bayi. Pun jika Ibu berpuasa, pastikan untuk selalu memantau kesehatan diri dan janin setiap saat untuk menghindari kejadian fatal yang tak diinginkan.
Beberapa kondisi yang mengharuskan bumil membatalkan puasanya adalah:
- Lemah dan letih;
- Dehidrasi;
- Kepala pusing;
- Mata berkunang-kunang;
- Mual dan muntah;
- Mimisan;
- Berat badan turun drastis;
- Pandangan kabur;
- Warna urine pekat;
- Nyeri pada sekitar ulu hati atau perut; dan
- Gerak janin tak terdeteksi.
Jika bumil masih meneruskan puasa dengan kondisi-kondisi di atas, dikhawatirkan ini akan berdampak pada keselamatan bayi dalam kandungan. Dilansir dari Parenting Firstcry, berikut beberapa risiko yang mungkin terjadi jika bumil memaksakan diri berpuasa:
- Risiko kelahiran prematur;
- Dehidrasi parah;
- Ibu dan bayi kekurangan nutrisi esensial; dan
- Bayi lahir cacat.
Ya, saat hamil Ibu tidak hanya perlu memperhatikan kesehatan diri sendiri, tapi juga janin dalam rahim. Jadi, jangan terlalu memaksakan diri untuk ikut berpuasa Ramadan jika memang belum bisa ya, Bu. Toh masih ada opsi lain yang lebih aman, yaitu dengan qadha puasa atau membayar fidyah. Semoga penjelasan ini bermanfaat ya, Bu…
Penulis: Kristal Pancarwengi
Editor: Dwi Ratih