Hukum Tata Cara Adzan Bayi Baru Lahir yang Tidak Diketahui
Salah satu amalan yang kerap dilakukan oleh umat Islam Indonesia saat bayi baru lahir adalah melakukan tata cara adzan bayi baru lahir. Namun, bagaimana hukum adzan bayi baru lahir?
Kebanyakan buku atau kitab yang menjelaskan hal-hal yang harus dilakukan ketika lahir sang buah hati adalah amalan adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir. Tidak hanya penulis-penulis kecil yang menulis tentang tata cara adzan bayi serta bacaan adzan bayi baru lahir. Bahkan, ulama-ulama besar pun kerap menganjurkan.
Ternyata hukum adzan bayi baru lahir tidak seperti yang sudah kita jamak ketahui.
Pendapat para ulama mazhab
Hukum adzan bayi baru lahir berbeda-beda tiap ulama mazhab. Para ulama Hambali hanya menyebutkan bacaan adzan bayi baru lahir di telinga bayi saja. Sementara para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka tidak menolak perkataan Imam Asy Syafi’i perihal tata cara adzan bayi baru lahir. Begitu juga menurut sebagian ulama Malikiyah yang berpendapat tidak mengapa untuk mengamalkan hal ini.
Inilah pendapat para ulama mazhab dan ulama lainnya. Intinya, terdapat perselisihan dalam masalah ini. Namun manakah yang lebih kuat perihal hukum adzan bayi baru lahir?
Sebagai umat muslim, kita harus mengembalikan suatu perselisihan yang ada kepada Al Quran dan sunnah sesuai firman Allah:
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (Q.S An-Nisa: 59)
Hadits yang menyatakan tata cara adzan bayi baru lahir
Seperti yang dinukil dari Rumaysho, Ada tiga hadits yang diriwayatkan perihal tata cara adzan bayi baru lahir. Ketiga hadits ini dapat memberikan kita gambaran soal hukum adzan bayi baru lahir.Apa sajakah?
Pertama
Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata,
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Salah seorang perawi dari jalur riwayat Haditsnya terdapat Hammad bin Syuaib yang sanadnya (derajat perawi hadits) lemah sekali. Dengan begitu, status hadits ini menjadi dhaif atau lemah.
Namun, beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi. Beliau mengatakan bahwa hadits ini Hasan. Kemungkinan beliau berpendapat ini karena melihat beberapa riwayat penguat.
Kedua
Dari Husain bin “Ali , Rasulullah bersabda,
“Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka setan tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan).
Salah satu perawi hadits ini bernama Jubaroh dinilai Ibnu Hajar membuat derajat hadits ini lemah. Beberapa ulama lain menilai derajat hadits ini matruk (harus ditinggalkan) bahkan dusta.
Selain itu, dua perawi hadits ini lainnya yang bernama Yahya bin Al ‘Alaa dan Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering memalsukan hadits.
Ketiga
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Salah satu perawi hadits ini yang bernama Al Hasan bin Amru dikenal dengan pendusta sehingga derajat hadits ini menjadi matruk (harus ditinggalkan). Satu saja terdapat perawi yang matruk, maka kualitas perawi lainnya tidak bisa membuat hadits ini menjadi dapat diamalkan.
Hadits kedua dan ketiga singkatnya adalah hadits maudhu (palsu) atau mendekati maudhu
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits penguat yang bersifat palsu tidak dapat menguatkan hadits pertama yang lemah.
Banyak ulama besar yang mengatakan bahwa hadits pertama adalah kekeliruan. Sebagai contoh, Syaikh Al Albani pada awalnya juga menilai bahwa hadits pertama adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapatnya sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dhoifah no. 321.
Jadi kesimpulannya, hadits yang membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah sehingga tidak bisa diamalkan.
Kesimpulan tata cara adzan bayi baru lahir
Terdapat perselisihan pendapat antara para ulama perihal tata cara adzan bayi baru lahir. Sebagian ulama menganjurkan dan sebagian lain mengatakan bahwa tidak ada tuntutannya. Dari hasil jabaran di atas, hadits yang menganjurkan tata cara adzan bayi baru lahir tidak dianjurkan untuk diamalkan.
Seorang ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al huwaini mengatakan, “Hadits yang menjelaskan tata cara adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah. Sedangkan suatu amalan secara sepakat tidak bisa ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha mencari dan membahas hadits ini namun belum juga mendapatkan penguatnya (menjadi hasan).”
Itulah penjelasan mengenai tata cara adzan bayi baru lahir. Tradisi atau ritual adzan kepada bayi baru lahir telah berlangsung lama di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dengan adanya artikel ini, diharapkan menjadi pencerahan mengenai tata cara adzan bayi baru lahir.
Editor: Dwi Ratih