15 Ciri-Ciri Tiger Mom dan Dampaknya dalam Mendidik Anak
Ketika Amy Chua, ibu dua orang puteri sekaligus profesor di Yale Law School, Amerika Serikat, menerbitkan tulisannya mengenai cara mendidik anak, dunia parenting seperti mendapat tamparan keras. Pasalnya, Chua memutarbalikkan semua teori parenting yang menyatakan bahwa orang tua tidak boleh memaksa maupun memarahi anak.
Merupakan pemikiran yang lazim di Amerika bahwa hasil akademis bukanlah segalanya. Anak harus dibebaskan memilih jalan hidup sesuai minat dan bakatnya, sedangkan orang tua hanya bertugas mengarahkan dan memotivasi anak. Pola mendidik anak seperti ini tidak jarang melahirkan anak-anak Amerika atau negara non-Asia lainnya yang tidak suka belajar, tapi lebih senang menekuni hobinya sehingga ketika dewasa memilih profesi sebagai olahragawan maupun seniman.
Hal ini berkebalikan 180 derajat dengan cara mendidik anak yang diterapkan oleh Amy Chua dan para orang tua yang masuk dalam kategori 'tiger parents' (orang tua macan), atau lebih spesifik ialah 'tiger mom' (ibu macan). Bagi mereka, pencapaian akademis adalah nomor satu yang bisa diasosiasikan sebagai keberhasilan orang tua dalam mendidik anak.
Dalam tulisannya, Chua tidak menampik bahwa metode parenting-nya memang memiliki perbedaan ekstrem dengan yang biasa dilakukan oleh sebagian besar orang tua di negara-negara barat. Bagi tiger parents, terutama tiger mom, semakin pintar anak dalam bidang akademis, maka semakin sukses orang tua dalam mendidik anak. Namun, jika anak tidak mampu menjadi yang terbaik, berarti anak itu tidak mampu menjalankan instruksi orang tua dengan baik, tidak bekerja keras, dan membangkang. Dengan kata lain, tiger mom selalu benar, anak selalu salah!
"Orang tua (macan) percaya bahwa mereka tahu yang terbaik untuk anak sehingga mereka tidak segan mengendalikan seluruh keinginan maupun minat anak mereka sendiri," kata Chua.
Misalnya, ketika anak mendapatkan nilai B atau nilai 7 (dari 10) saat ujian, maka orang tua pada umumnya akan tetap memuji usaha anak meski tidak mendapat hasil atau nilai paling tinggi. Kemudian, orang tua akan mencari solusi bersama anak agar si anak bisa mendapatkan nilai yang lebih tinggi di kemudian hari.
Sikap ini dinilai lemah oleh tiger mom. Dalam cara mendidik anak a la tiger mom, anak selalu dituntut untuk menjadi sempurna, mendapat nilai paling tinggi, atau menjadi yang terbaik di kelas secara akademis. Jika anak tidak mampu memenuhi ekspektasi itu, tiger mom akan marah, bahkan tidak jarang menyebut anak-anak mereka sebagai 'sampah' atau 'bodoh' serta membandingkannya dengan anak lain yang bisa mendapat nilai lebih tinggi darinya.
Nah, untuk mencapai nilai tertinggi atau menjadi yang terbaik di kelas ini, anak harus dididik dengan tegas, keras, dan tanpa kompromi. Tiger mom pun tidak segan menerapkan hukuman yang berat kepada anak jika tidak menuruti metode pembelajaran yang mereka tetapkan.
Kok tega ya?
Bagi tiger mom seperti Amy Chua, sikap tega ini memang dirasa perlu demi kebaikan anak mereka juga, terutama di masa mendatang. Lihat saja contoh konkret kesuksesan dari cara mendidik anak a la tiger mom ini, yakni kedua puteri Chua sendiri, Sophia dan Louisa, yang masing-masing merupakan lulusan dan murid di Harvard University.
15 Ciri-Ciri Tiger Mom
Dalam tulisan yang dipublikasikan lewat buku berjudul Battle Hymn for Tiger Mother, mendidik anak dengan pola asuh tiger mom bisa dibilang anti-mainstream untuk zaman millenial ini. Ibu bisa dicap sebagai orang tua yang konvensional alias kuno, kolot, dan kasar serta tidak mengenal istilah 'anak sebagai teman bagi orang tua'.
Ada psikolog yang mengkategorikan pola mendidik anak seperti ini sebagai pola asuh otoriter. Dalam pola mendidik anak yang otoriter, kuncinya ialah keras, tegas, dan tidak kenal negosiasi. Anak-anak dipaksa mengikuti aturan yang ditetapkan oleh orang tua dan orang tua berhak memarahi atau melabeli anak sebagai orang yang 'malas, sampah, tidak berguna' dan sebagainya jika anak tidak bisa memenuhi ekspektasi orang tua itu.
Ibu bisa saja merasa sudah sangat keras terhadap anak, tapi mungkin belum dapat dikategorikan sebagai tiger mom. Lebih lengkapnya, berikut 15 ciri-ciri tiger mom seperti dirangkum dari buku Battle Hymn for Tiger Mother.
Melarang anak menonton televisi
Ini bukan sekedar pembatasan screen time, tapi memang sama sekali tidak ada screen time untuk anak. Tiger mom percaya meniadakan waktu menonton televisi maupun lewat gawai lainnya membuat bakat anak lebih terasah karena ia bisa melakukan kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Anak bisa diberikan mainan blok untuk mengasah skill motoriknya hingga diikutkan les menari, main piano, maupun les aritmatika untuk merangsang IQ-nya.
Melarang anak main video games
Kontroversi video games untuk anak seakan tidak ada habisnya. Ada ibu yang merasa video games memiliki efek dalam meningkatkan kecerdasan anaknya, semisal dalam hal problem solving maupun kemampuannya berbahasa Inggris, namun tidak banyak juga orang tua, termasuk tiger mom, yang menentang gim video dimainkan oleh anak-anak.
Bagi tiger mom, sama sekali tidak ada video games yang memiliki manfaat, sekalipun untuk melepas penat. Bahkan anak dari tiger mom tidak boleh mengenal kata penat, terlebih dalam hal belajar untuk menjadi yang terbaik di bidangnya.
Melarang anak bermalam bersama teman
Menginap bersama teman (sleepover) bisa menjadi ajang sosialisasi bagi anak, terutama remaja. Mereka biasanya bertukar pikiran sambil bergosip ataupun membicarakan hal-hal tidak penting sekedar untuk membangun hubungan yang baik dengan teman dekatnya.
Tiger mom tidak akan mengizinkan anaknya untuk ikut dalam kegiatan ini. Ia tidak akan memperbolehkan anaknya sleepover di rumah temannya, maupun mengadakan sleepover di rumah sendiri. Tiger mom tidak ingin pikiran anaknya tercemar oleh pola pikir anak-anak sebayanya sehingga mereka melenceng atau tidak fokus dalam mencapai target yang dibebankan oleh orang tua.
Melarang anak punya pacar
Jangankan punya pacar, keluar malam dengan teman laki-lakinya pun tidak boleh selama anak masih sekolah. Tiger mom percaya bahwa urusan asmara ini bisa jadi masalah besar, terutama karena dikhawatirkan bisa membelokkan fokus anak, sehingga anak gagal menjadi yang terbaik di kelasnya.
Menuntut anak untuk selalu sempurna
Sempurna dalam kamus tiger mom bukanlah anak yang cantik atau tampan serta jago dalam semua bidang. Bagi tiger mom, anak yang sempurna ialah yang memiliki IQ tinggi dan menjadi yang terbaik di bidang akademis maupun bidang lain yang memerlukan keahlian khusus seperti bermain biola, piano, maupun balet.
Tingkat kecerdasan anak berbeda-beda, tapi anggapan itu tidak berlaku bagi tiger mom karena mereka yakin setiap anak lahir dengan IQ tinggi. Hanya faktor lingkungan yang mampu menurunkan tingkat intelejensia anak, seperti orang tua yang kurang mengarahkan, anak yang malas berusaha, serta guru yang salah dalam menerapkan metode mendidik anak. Oleh karena inilah, tiger mom bisa langsung mendatangi guru atau bahkan kepala sekolah untuk mempertanyakan metode pengajaran mereka jika si anak memperoleh nilai kurang dari A selama 3 kali beruntun.
Perfeksionis
Untuk menghasilkan anak yang sempurna, tiger mom juga wajib punya pencapaian diri yang sempurna. Amy Chua, misalnya, merupakan pengacara, penulis buku, sekaligus pengajar senior di salah satu universitas level Ivy League, Yale Law School.
Semasa mudanya, Chua juga terdaftar sebagai murid di Harvard University. Tidak heran jika ia mendidik anak dengan standar seorang perfeksionis supaya kedua anaknya juga bisa minimal setara dengan dirinya.
Terlalu kompetitif
Tiger mom ingin anaknya selalu menjadi yang terbaik sehingga setiap anak yang bisa lebih baik dari anaknya ialah saingan, sekalipun si anak tidak menganggap demikian. Positifnya, ibu yang memiliki sikap sangat kompetitif ini akan bersikap adil, misalnya memberi pujian kepada anaknya setinggi langit ketika berhasil menjadi yang terbaik.
Menebar ancaman
"Kalau tidak mau belajar, jangan harap kamu makan malam!"
Kalimat seperti itu merupakan ancaman kepada anak, tapi dianggap biasa saja oleh tiger mom. Ancaman memang merupakan bagian tak terpisahkan dalam cara mendidik anak a la tiger mom mengingat mereka merasa bebas melakukan apapun demi membuat anak mencapai target yang mereka tetapkan.
Membuat banyak aturan
Aturan harus dibuat agar anak menjadi disiplin. Tetapi aturan yang dibuat oleh tiger mom bisa sangat detil, tidak kenal kompromi, dan menyentuh hingga hal-hal pribadi anak. Misalnya, anak dituntut berlatih piano 3 jam per hari dan dilakukan setiap hari tanpa mengenal libur atau akhir pekan.
Mencintai anak? Tergantung prestasinya
Pepatah yang mengatakan bahwa cintai ibu sepanjang jalan tidak berlaku untuk tiger mom. Bagi mereka, anak harus berusaha meraih cinta ibu dengan memberikan prestasi yang bagus atau nilai yang sempurna. Ketika anak dinilai gagal, ibu akan menunjukkan ketidaksukaannya kepada anak dengan harapan anak akan berusaha lebih keras lagi agar merasa dicintai oleh ibunya sendiri.
Suka mendikte anak
Bagi tiger mom, anak-anak merupakan makhluk yang tidak berdaya tanpa bantuan orang tua. Oleh karenanya, anak-anak harus dipandu sampai hal-hal kecil sekalipun agar mereka tidak salah arah. Tidak jarang, panduan ini terasa seperti mendikte anak karena tiger mom tidak akan membiarkan anaknya melakukan hal-hal di luar perintahnya.
Mengekang kebebasan anak
Psikolog Ruth Chao menggambarkan pola asuh a la tiger mom sebagai 'melatih anak', bukan mendidik anak. Pada intinya, orang tua melecut anak untuk melakukan keinginan dan menuruti hasrat orang tua serta tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada anak untuk mengekplorasi bakat dan minatnya sendiri.
Bersikap keras terhadap anak
Sekeras apapun cara orang tua dalam mendidik anak, mereka tetaplah anak-anak yang ingin bermain dan bersenang-senang dengan teman maupun lingkungannya. Tetapi, premis ini tidak berlaku untuk tiger mom yang menegaskan bahwa anak-anak mereka tidak boleh merasa bosan dengan rutinitas demi bermain apalagi bersenang-senang. Tiger mom akan dengan senang hati mengawasi pelatihan anaknya sendiri demi si anak terus patuh dan disiplin pada jadwal yang telah ia tetapkan.
"Banyak orang tua yang khawatir tentang harga diri anak (jika orang tua terlalu keras). Tetapi sebagai orang tua, hal paling menakutkan tentang harga diri anak ialah membiarkannya menyerah. Sebaliknya, tidak ada satupun hal yang mampu mengangkat harga diri anak, selain melihatnya mampu melakukan hal-hal yang tadinya ia merasa tidak bisa melakukannya," ujar Amy Chua.
Bersikap dingin terhadap anak
Tiger mom lebih mengkhawatirkan masa depan anak jika ia tidak cerdas dibandingkan mengkhawatirkan perasaan anak yang mungkin terluka jika terus dibentak atau dipaksa belajar. Oleh karena inilah tiger mom kerap dicap sebagai ice queen alias ibu yang tidak punya perasaan dalam mendidik anak.
Tidak mendengarkan kritik dari kanan-kiri
Inti dari menjadi tiger mom adalah menerapkan cara ekstrem dalam mendidik anak dengan relatif mengeliminasi semua kesenangan dalam perjalanan hidup anak demi masa depannya yang cerah. Karena pola parenting yang berbeda dari pola asuh pada umumnya inilah, tiger mom memilih untuk menutup kuping rapat-rapat dari kritik kanan-kiri. Bagi mereka, yang terpenting adalah hasil mendidik anak yang memang baru akan terlihat ketika anak dewasa, sudah bisa menentukan masa depan sendiri (misalnya seusai kuliah atau membangun keluarga sendiri).
Nah, setelah membaca 15 kriteria di atas, ibu termasuk tiger mom atau hanya ibu yang galak?
Dampak Pola Mendidik Anak ala Tiger Mom
Satu hal yang perlu digarisbawahi dari pola mendidik anak a la tiger mom ialah anak-anak tidak pernah mendapat kekerasan fisik dari orang tuanya. Inilah yang membedakan tiger parents dengan orang tua yang menerapkan pola asuh koersif di mana anak-anak mereka menerima kekerasan fisik sehingga tumbuh dewasa menjadi pribadi yang abusif juga.
Dalam cara mendidik anak a la tiger mom, anak tetap merasakan kasih sayang dari orang tua, sekalipun pernah dihujat dengan sumpah-serapah yang keluar dari mulut ibunya sendiri. Mereka percaya dengan pepatah 'action speaks louder than words' alias orang tua mereka menunjukkan kasih sayang ya memang lewat aturan-aturan ketat itu.
Anak-anak didikan tiger mom percaya bahwa aturan-aturan yang mengeliminasi waktu mereka untuk bersenang-senang itu memang dibuat demi kebaikan mereka sendiri. Mereka mungkin akan marah di kala bosan dengan rutinitas yang ditetapkan orang tua, tapi anak-anak itu cepat atau lambat akan kembali menuruti sederet aturan tegas yang ditetapkan oleh orang tua mereka.
Lalu, benarkah anak-anak didikan tiger mom bisa menjadi yang terbaik di kelasnya?
Well, berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap lebih dari 23 ribu anak di 9 sekolah di California dan Wisconsin, Amerika Serikat, rata-rata nilai terendah yang didapatkan oleh anak-anak keturunan Asia memang adalah A minus!
Dari penelitian selanjutnya atas data tersebut ditemukan bahwa semakin tinggi ekspektasi nilai yang dituntut oleh orang tua, maka semakin tinggi nilai yang didapatkan oleh anak. Faktor lain yang memengaruhi tinggi atau rendahnya nilai anak ialah norma yang dianut dalam kelompok anak tersebut, misalnya sekolah yang memang mengeset standar tinggi maupun teman-teman yang kompetitif.
Meskipun demikian, penelitian lain menunjukkan bahwa pola mendidik anak yang otoriter justru cenderung menghasilkan anak dengan pencapaian akademis yang rendah. Hal ini mirip dengan anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh permisif, yakni ketika orang tua mereka tidak membebankan target apapun kepada anak serta membiarkan anak berlaku sesuka hati tanpa arahan dari orang tua.
Adalah pola parenting autoritatif yang disebut sebagai cara mendidik anak paling ideal dan bisa menghasilkan anak yang sukses dari segi akademis namun tetap menjaga kesehatan mental si anak itu sendiri. Dalam pola mendidik anak yang autoritatif, orang tua tetap mengeset standar baku bagi anak untuk dicapai. Orang tua juga tetap memberikan panduan bagi anak untuk mencapai target-target itu serta menjalankannya dengan tegas dan disiplin.
Namun demikian, orang tua masih memberi ruang bagi anak untuk menunjukkan minat dan bakatnya serta mendiskusikannya dengan orang tua. Anak juga masih bisa merasakan manisnya masa kanak-kanak, seperti bermain dan bersosialisasi dengan teman-temannya.
Psikolog Kevin D. Arnold menganjurkan agar orang tua tidak membesar-besarkan metode parenting a la tiger mom ini dan lebih memilih cara mendidik anak autoritatif.
"Tetapkan standar yang tinggi, komunikasikan dengan anak mengapa standar tinggi itu penting untuk dicapai, pancing anak untuk berpikir independen dengan berbagai pertanyaan. Cobalah memberi nasehat kepada anak dengan cara mengutarakan alasan-alasan logis mengenai target yang ibu canangkan. Gambarkan juga kepada anak tentang perasaan bangga yang akan ia dapatkan ketika bisa mencapai target tersebut," ujarnya.
Cara mendidik anak seperti ini, lanjut D. Arnold, memang tidak langsung menghasilkan anak yang pintar, bahkan butuh waktu lebih lama untuk membentuk anak yang menuruti nasehat orang tua dibanding dengan menggunakan cara tiger mom. Namun, cara ini berguna untuk jangka panjang di mana anak akan menjadi lebih lembut dan sukses.
(Asni / Dok. Freepik)