26 Kalimat yang Perlu Dihindari Saat Mendidik Anak
Cara mendidik anak yang paling efektif melibatkan interaksi antara anak dan Ibu yang baik. Interaksi tersebut dibentuk dari kemampuan berbicara dan mendengarkan kedua belah pihak. Apakah selama ini Ibu menerapkan cara mendidik anak yang baik dengan memilah betul perkataan yang Ibu lontarkan?
Tanpa disadari, kita mewariskan cara mendidik anak dari orang tua kita terdahulu. Padahal, menurut psikolog anak, ada banyak ekspresi klasik yang berulang dari generasi ke generasi yang sebenarnya memberi pelajaran berbahaya untuk anak. Ada alternatif ucapan ke anak yang lebih baik, dan yang perlu Ibu lakukan adalah menggunakannya di keseharian.
Berikut ini beberapa bentuk ucapan sebagai cara mendidik anak yang sebaiknya dihindari:
“Biar Ibu aja” atau “Sini Ibu bantu”
Motivasi Ibu baik ketika ingin membantu anak yang kesulitan, tapi terlalu mencampuri usaha anak bisa menghilangkan kepuasan anak untuk belajar. Tunggu anak meminta bantuan Ibu atau ketika ia mencapai titik frustrasi sebelum menawarkan bantuan atau membantu mengatasi masalah. Bila Ibu terlalu dini menawarkan bantuan, ini bisa mengganggu kemandirian anak, karena ia akan selalu mencari orang lain untuk membantunya. Terus menerus mengambil alih tugas si kecil bisa jadi cara mendidik anak yang kurang tepat.
“Anak baik” atau “anak hebat”
Apa yang salah dengan ucapan sederhana seperti “anak baik”? Yang jadi masalah menurut psikolog adalah menggunakan pujian umum macam ini untuk tiap hal kecil sebagai cara mendidik anak akan mengajarkannya untuk menilai pujian Ibu bukan sebagai kepuasan atas pencapaian yang sebenarnya.
Ibu tidak perlu sepenuhnya menghilangkan ucapan “anak baik” dari kosa-kata Ibu, tapi coba selektif tentang kapan Ibu menggunakannya dan fokus pada usaha yang dilakukan anak.
Dengan mengatakan kalimat seperti, “Kamu sudah sangat berusaha,” berarti Ibu mengajarkan ke anak kalau usaha lebih penting dibanding hasilnya. Ini mengajarkan anak untuk lebih gigih ketika mereka melakukan tugas yang sulit dan melihat kegagalan sebagai cara untuk berhasil.
Fokus pada proses pencapaian juga mendorong anak untuk memahami apa yang membuat perilakunya sangat berharga. Katakan kalimat seperti “Bunda suka cara kamu mengoper bola agar tim kamu dapat nilai,” bisa membuat anak berpikir tentang proses untuk memperoleh gol. Cara mendidik anak yang bertumpu pada pujian terhadap proses ketimbang hasil akan meningkatkan apresiasi si kecil pada dirinya sendiri.
“Kamu pintar banget”
Tujuan Ibu saat memuji kecerdasan anak adalah untuk memotivasi mereka menyelesaikan tugas dengan baik, tapi cara mendidik anak seperti ini bisa berefek sebaliknya. Anak yang melihat dirinya sebagai orang yang pintar akan menghindari tugas yang benar-benar sulit yang mungkin merusak reputasi kecerdasan mereka.
Mengatakan ini ke anak sebenarnya bisa bertentangan dengan perjuangan untuk belajar. Belajar adalah kumpulan percobaan dan kesulitan.
“Ibu tahu kamu tidak bermaksud menyakiti adik”
Bagaimana bila ia memang menyakiti adiknya? Menyangkal emosi anak tidak membantu mereka belajar mengontrol diri dan merupakan cara mendidik anak yang sangat buruk. Sebagai orang tua, kita perlu mengajarkan anak kemampuan untuk mengatur reaksi dan mengatasi emosi yang kuat dengan cara yang lebih produktif.
“Jangan sampai Ayah putar balik kendaraan dan kita ga jadi pergi”
Sebenarnya tak apa Ibu mengatakan ini, tapi hanya bila Ibu akan mengakhiri sesi keluar rumah dan anak tidak bisa berhenti bertengkar.
Ketika orang tua menetapkan batasan, mereka harus selalu siap untuk mengikutinya. Jadi jangan mengancam dengan apapun yang sebenarnya tidak Ibu lakukan, seperti balik pulang saat sedang liburan keluarga. Jika menerapkan ancaman pura-pura seperti ini sebagai cara mendidik anak, maka bisa jadi si kecil akan hilang kepercayaan terhadap perkataan Ibu.
“Ibu lagi diet”
Tidak semua ucapan ke anak tentang diri anak. Anak belajar melalui contoh, jadi bila mereka melihat Ibu bermasalah dengan image tubuh yang buruk, mereka tentu menganggap mereka perlu memenuhi kriteria fisik tertentu yang ideal untuk merasa nyaman dengan diri sendiri. Itu sebabnya psikolog menyarankan Ibu tak perlu membahas tentang usaha Ibu berdiet. Untuk alasan yang sama, memberitahu anak “Ibu ga bisa matematika,” juga bukan ide yang baik.
Apa yang sebaiknya Ibu katakan? “Ibu makan makanan sehat karena Ibu suka manfaatnya” atau “Cuaca lagi bagus di luar, Ibu mau jalan-jalan dulu ya.” Cara mendidik anak seperti ini jauh lebih baik dibanding mengeluhkan program diet atau olahraga yang Ibu jalani.
“Kamu lebih baik dari temanmu itu”
Tentu, Ibu merasa anak Ibulah yang paling baik, yang sangat luar biasa. Tiap orang tua melakukan ini. Tapi Ibu seharusnya tidak memberitahu anak kalau ia lebih baik dari anak lain, kecuali Ibu ingin membuat anak narsis. Cara mendidik anak dengan terus membanding-bandingkan seperti ini akan membuat kepribadian anak menjadi terlalu narsistis dan self-centered. Penelitian menunjukkan kalau anak yang dipuji lebih superior dibanding temannya jauh berisiko akan merasa dirinya memiliki harga diri yang tinggi. Mungkin ini cara mendidik anak pilihan Ibu agar si kecil tumbuh sebagai pribadi yang percaya diri dan kompetitif, tapi ingat batasan ya, Bu.
“Karena Ibu bilang begitu”
Ini bisa jadi ucapan ke anak yang paling mereka benci. Ucapan ini mengambil semua kontrol dari anak. Ibu tidak selalu punya waktu untuk menjelaskan tapi Ibu harus mencoba memberi anak konteks yang lebih baik kenapa Ibu meminta mereka melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
“Tinggalkan Ibu sendiri”
Orang tua yang tidak pernah istirahat kadang lupa kalau mereka membutuhkannya. Masalahnya, ketika Ibu terus memberitahu anak, “Jangan ganggu, Ibu” atau “Ibu sibuk,” mereka mulai berpikir tidak ada untungnya berbicara pada Ibu karena Ibu selalu mengusir mereka. Bila Ibu selalu menggunakan ucapan ini ketika anak masih kecil, mereka jadi kurang suka berbagi cerita ke Ibu ketika beranjak besar. Semua Ibu pasti butuh waktu sendiri, tapi terang-terangan mengucapkan hal ini di hadapan anak bukanlah cara mendidik anak yang baik. Privasi boleh, tapi jangan sampai membuat si kecil merasa tidak dicintai.
Sejak bayi, anak perlu terbiasa melihat orang tua meluangkan waktu untuk mereka. Ibu bisa bergantian mengasuh anak agar Ibu bisa punya waktu 30 menit untuk istirahat.
Di waktu Ibu kewalahan dan stres, Ibu bisa jelaskan ke anak, “Ibu harus selesaikan pekerjaan ini dulu, jadi kamu tenang dulu menggambar beberapa menit. Kalau Ibu sudah selesai, kita main di luar.” Coba berpikir realistis. Anak batita dan usia prasekolah tidak mungkin bermain sendiri selama satu jam penuh, bukan? Sebelum tugas Ibu selesai, ia akan rewel kembali dan minta ditemani. Cobalah minta Ayah untuk bergantian mengajak main si kecil kalau Ibu benar-benar butuh waktu sendiri.
“Jangan nangis”
Termasuk variasinya seperti “Jangan sedih,” “Jangan seperti bayi,” “Sudah... sudah ga usah takut.” Anak memang mudah menangis, terutama batita, yang tidak selalu bisa mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Mereka merasa sedih dan takut. Wajar bila Ibu ingin melindungi anak dari perasaan ini. Tapi mengatakan “jangan” tidak membuat anak merasa lebih baik, dan ini juga membuat anak merasa kalau emosi yang ia rasakan tidak valid, dan menganggap perasaan sedih dan takut tidak bagus. Aduh, terlalu banyak “jangan” adalah cara mendidik anak yang buruk lho, Bu.
Daripada menyangkal apa yang anak rasakan, segera kenali emosi ini. “Pasti kamu sangat sedih waktu Jason bilang tidak mau jadi temanmu lagi.” Dengan menyebutkan perasaan nyata yang anak alami, Ibu memberinya kata-kata untuk mengungkapkan perasaan dirinya dan Ibu bisa menunjukkan bagaimana berempati. Akhirnya anak jadi lebih sedikit menangis dan menjelaskan emosinya. Membiarkan anak menyadari emosi dan tidak malu membagikannya kepada Ibu adalah cara mendidik anak yang efektif agar hubungan Ibu-anak semakin dekat.
“Kenapa kamu tidak bisa seperti kakakmu?”
Salah satu cara mendidik anak yang buruk adalah menunjukkan kalau saudara kandung atau teman anak sebagai contoh yang baik. “Lihat pintar sekali temanmu memakai baju” atau “Jenna sudah bisa pakai potty, kenapa kamu belum juga bisa?” Ibu, membandingkan anak bisa berefek negatif, lho.
Memang wajar bila orang tua membandingkan anaknya, untuk mencari bingkai referensi tentang tumbuh kembang dan perilakunya. Tapi jangan sampai anak mendengar Ibu membandingkannya. Anak punya kepribadian dan bakat sendiri. Membandingkan anak Ibu dengan anak lain menunjukkan Ibu berharap anak Ibu berbeda. Cara mendidik anak semacam ini sama buruknya dengan membanggakan anak sepanjang waktu.
Membandingkan juga tidak mengubah perilaku. Bahkan anak bisa merasa kurang percaya diri. Sebaiknya beri dorongan atas prestasinya, “Wah, kamu bisa memakai baju sendiri,” atau “Makasih sudah kasih tahu kalau popokmu penuh dan perlu diganti.”
“Kamu pasti sudah tahu, kan?”
Sama halnya dengan cara mendidik anak melalui kebiasaan membanding-bandingkan anak dengan orang lain, kata-kata ini bisa punya efek lebih buruk dari yang Ibu bayangkan. Anak sebenarnya minim pengetahuan dan pengalaman. Belajar adalah proses trial and error. Apakah anak benar memahami kalau teko yang berat akan sulit dituang? Mungkin saja isinya tidak penuh atau teko itu beda dengan yang berhasil ia tuang saat TK.
Dan meski anak melakukan kesalahan yang sama seperti kemarin, komentar Ibu ini tidak produktif dan suportif. Ibu perlu spesifik mengatakan, “Akan lebih baik kalau kamu lakukan seperti ini.”
Hal yang sama berlaku untuk “Ibu tidak percaya kamu lakukan ini.” Anak mungkin tidak merasa bersalah, tapi jangan katakan ini berlebihan. Pesan yang anak terima adalah ia tidak bisa melakukan apapun dengan benar. Alih-alih membuat anak merasa bisa melakukan berbagai hal, cara mendidik anak macam ini justru akan membuat si kecil minder.
“Berhenti atau kamu akan menyesal”
Orang tua sering memberi peringatan seperti, “Lakukan ini atau...,” atau “Kalau berbuat itu sekali lagi, akan Ibu pukul.” Masalahnya adalah cepat atau lambat Ibu harus merealisasikan ancaman ini atau akan kehilangan kekuatannya. Ancaman memukul bisa mengarah ke kebiasaan memukul anak berlebihan, yang telah terbukti tidak efektif sebagai cara mengubah perilaku.
Semakin kecil usia anak, semakin butuh waktu lama pelajaran diterima. Penelitian menunjukkan kemungkinan anak usia 2 tahun mengulangi kesalahan di hari yang sama sebesar 80 persen, tanpa melihat bentuk disiplin yang Ibu gunakan.
Bahkan pada anak dengan usia lebih besar, tidak ada strategi disiplin yang segera berhasil. Jadi lebih efektif mengembangkan taktik yang konstruktif seperti pengarahan, memindahkan anak dari situasi, atau time out, dibanding memberi konsekuensi negatif termasuk ancaman verbal dan memukul. Cara mendidik anak yang mengedepankan strategi konstruktif akan sangat efektif lho, Bu.
“Tunggu sampai Ayah pulang”
Ucapan ke anak ini tidak hanya terdengar seperti ancaman tapi juga pendisiplinan yang keliru. Agar efektif, Ibu perlu mengatasi situasi ini segera seorang diri. Disiplin yang ditunda sama halnya dengan menunda konsekuensi tindakan anak. Di saat ayah pulang, kemungkinan anak telah lupa dengan kesalahannya.
Melempar wewenang ke orang lain juga menurunkan otoritas Ibu. Anak akan merasa, “Kenapa saya perlu mendengar Ibu bila ia tidak akan melakukan apa-apa?”
Cara mendidik anak seperti ini bisa jadi akan membuat kesan Ayah terlihat buruk dan galak di mata si kecil. Sementara Ibu akan menjadi sosok yang lemah.
“Ayo cepetan!”
Siapa yang tidak pernah mengutarakan ucapan ini? Tentunya tiap orang tua yang batitanya tidak bisa menemukan sepatu atau bonekanya akan mengatakan ini. Perhatikan nada suara Ibu ketika meminta anak untuk bersegera melakukan sesuatu. Ayo hitung seberapa sering Ibu mengucapkannya dimulai dari menarik napas, dengan tangan di pinggang, dan jari kaki menepuk-nepuk lantai! Ada kecenderungan ketika orang tua menyuruh anak untuk cepat, ini membuat anak merasa bersalah. Cara mendidik anak dengan menekankan rasa bersalah membuat anak merasa buruk dan justru tidak memotivasi mereka untuk bergerak lebih cepat.
“Kita tidak mampu beli”
Mudah saja menggunakan respon ini ketika anak meminta dibelikan mainan terbaru. Tapi melakukan ini mengirim pesan ke anak kalau Ibu tidak bisa mengontrol keuangan. Anak usia sekolah juga bisa mengatakan hal serupa bila Ibu membeli barang dengan harga mahal. Pilih cara alternatif untuk mengungkapkan hal yang sama seperti, “Kita nggak akan beli itu karena kita sedang menghemat uang untuk hal yang lebih penting.” Bila anak mendesak, Ibu bisa memulai percakapan tentang bagaimana mengatur keuangan. Cara mendidik anak seperti ini juga akan membuat anak mengerti tentang konsep uang, prioritas belanja, dan menabung.
“Jangan bicara pada orang asing”
Ini jadi konsep yang sulit untuk anak kecil terima. Anak bisa salah menerimanya dan menolak bantuan pak polisi atau pemadam kebakaran yang mereka tidak kenal. Cara mendidik anak seperti ini bisa berakibat anak menjadi tidak percaya pada siapapun dan enggan meminta tolong di saat ia benar-benar butuh bantuan seperti tersesat.
Daripada memberi peringatan tentang orang asing, berikan contoh kondisi, “Apa yang akan kamu lakukan bila orang yang tidak kamu kenal memberi permen dan tumpangan ke rumah?” Minta anak menjelaskan apa yang ia lakukan, lalu beri panduan untuk tindakan yang tepat. Karena kebanyakan kasus penculikan anak melibatkan orang yang anak sudah kenal, Ibu perlu beritahukan, “Kalau ada orang yang bikin kamu sedih, takut, atau bingung, segera beri tahu Ibu.”
“Hati-hati”
Mengatakan ini ketika anak sedang menjaga keseimbangan di arena permainan sebenarnya membuat lebih besar kemungkinan ia akan terjatuh. Kata-kata Ibu mengacaukan konsentrasi anak, jadi ia kehilangan fokus. Bila Ibu merasa cemas, bergerak mendekat ke anak untuk mengantisipasi ia terjatuh.
“Tak ada es krim kecuali makan sudah dihabiskan”
Menggunakan ungkapan ini membuat anak merasa terancam dan menghilangkan kesenangannya menikmati makanan, yang bertolak belakang dengan apa yang Ibu inginkan. Sampaikan pesan Ibu dengan kalimat ini, “Pertama kita makan dulu lalu kita makan es krim.” Perubahan pilihan kata, meski halus, punya dampak jauh lebih positif pada anak.
“Kamu bikin Ibu sangat marah”
Tugas nomor satu orang tua adalah bersikap tenang apapun yang terjadi. Selain kita biasanya ketika marah mengucapkan hal yang nantinya kita sesali, tetap tenang juga mencontohkan ke anak bagaimana kita mau mereka berperilaku. Ini terutama cara mendidik anak yang penting untuk orang tua dari anak yang cenderung mudah marah.
“Kamu gemuk”
Anak yang kelebihan berat badan bisa terbantu dengan melakukan penyesuaian nutrisi, tapi menyebut anak gemuk akan menyakitkan anak dan tidak memberi panduan tentang bagaimana menjadi kurus. Cara mendidik anak dengan memberi label negatif pada tubuh si kecil bisa menyebabkan gangguan makan dan gangguan kesehatan.
“Ayah dulu merokok atau minum-minum atau lainnya”
Mengatakan kalau Ibu menggunakan obat-obatan ketika kecil bisa diartikan Ibu membolehkan anak minum alkohol atau merokok. Meski bila anak tidak merespon dengan mengatakan, “Tapi Ayah tetap sehat sampai sekarang,” ini mungkin apa yang ada di pikiran anak. Anak akan mencontoh perilaku Ibu, bila Ibu tidak cukup baik menjelaskan ke anak kenapa melakukan itu semua, jangan beri mereka kesempatan untuk menggunakannya karena Ibu melakukannya. Sebab, cara mendidik anak yang terlalu mengobral cerita masa lalu malah bisa jadi bumerang bagi orang tua nantinya.
“Kamu malas sekali!”
Bukannya anak malas, sering kali ada alasan yang menyebabkan mereka tidak bisa menyelesaikan tugas yang diminta. Cara mendidik anak dengan menyerang rasa percaya diri seperti ini hanya akan membuat anak semakin jengkel. Justru,tak ada orang yang termotivasi untuk menjadi lebih baik dengan dipanggil pemalas.
“Ibu nggak bisa bilang nggak ke kamu”
Tidak punya batasan atau aturan yang mengungkung anak kerap kali jadi impian bocah, tapi anak perlu batasan untuk belajar dan tumbuh. Mengatakan “tidak” ke anak kadang bisa terasa keras tapi orang tua yang permisif cenderung membuat anak kurang bisa mengontrol diri. Cara mendidik anak yang baik adalah tahu kapan harus tegas dan bersikap luwes.
“Yakin kamu bisa lakukan itu?”
Orang tua yang terlalu protektif bermaksud baik untuk membuat anak aman dari semua bahaya, tapi ini juga mengindikasikan Ibu tidak menganggap anak cukup cerdas atau mampu untuk mencoba hal baru. Mengatakan ini cukup sering akan membuat anak mengalami "Peter Pan Syndrome” dimana ia merasa takut untuk tumbuh besar.
“Ibu nggak nangis kok, semua baik-baik saja”
Ibu mungkin mengira dengan menunjukkan wajah bahagia ketika Ibu sedih akan melindungi anak. Tapi anak melihat yang Ibu sembunyikan dan ini membuat mereka takut. Menyembunyikan emosi negatif dan menunjukkan emosi positif tidak hanya membuat Ibu merasa lebih buruk tapi juga menyakiti hubungan Ibu dan buah hati. Ibu tidak harus memberitahu anak semua yang terjadi tapi mengutarakan perasaan Ibu menunjukkan ke mereka kalau tidak apa-apa lho merasakan hal yang sama. Cara mendidik anak dengan menunjukkan bahwa semua emosi itu valid, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa, akan membuat si kecil bersikap lebih terbuka nantinya.
(Ismawati & Yusrina / Dok. Pixabay)