4 Pertimbangan Sebelum Ibu Memutuskan Resign Kerja
Pertanyaan yang selalu muncul di pikiran Ibu baru maupun Ibu hamil adalah, “Perlukah saya resign kerja dan tinggal di rumah untuk mengurus bayi?” Tidak ada jawaban yang mudah atau benar untuk pertanyaan ini. Penelitian yang dilakukan selama 5 dekade terakhir menunjukkan kalau keputusan Ibu untuk bekerja atau tinggal di rumah bukan penentu seperti apa anak nantinya saat besar.
Kedekatan keluarga jauh lebih penting bagi anak dibanding yang lain, dan ini menjelaskan kenapa perasaan Ibu tentang keputusannya untuk bekerja atau tinggal di rumah sangat berarti. Bila Ibu tidak bahagia, kesedihan dan kemarahannya bisa mempengaruhi interaksinya dengan anak.
Sebagian besar Ibu mengalami mood swing selama beberapa bulan setelah melahirkan dan ini bisa membuat Ibu sulit mengambil keputusan besar mengenai pekerjaannya. Bahkan seorang Ibu yang workaholic pun bisa menjadi bimbang di masa-masa tersebut. Ada juga Ibu yang mengira bisa kembali bekerja setelah melahirkan dengan tenang, tapi lalu menyadari bahwa bayinya sangat membutuhkannya sehingga akhirnya ia memutuskan untuk resign kerja.
Jadi bagaimana memutuskan apa yang terbaik untuk keluarga? Mulailah untuk membuat penilaian yang rasional tentang apa yang akan Ibu hadapi dan bila Ibu ragu, ambil sedikit waktu untuk membuat keputusan.
Sebaiknya, cobalah untuk melihat dengan sudut pandang 5 tahun ke depan. Ibu perlu pikirkan tentang karir Ibu dan bagaimana hidup Ibu dalam waktu 5 tahun yang akan datang. Berikut ini beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum resign kerja:
Keuangan keluarga
Bila Ibu sudah memikirkan untuk resign kerja, Ibu mungkin sudah berdiskusi dengan suami tentang menjalani kehidupan dengan satu income, setidaknya untuk sementara waktu. Tapi apakah Ibu sudah mempertimbangkan hal ini untuk jangka waktu lama?
Resign kerja tidak hanya berarti income keluarga berkurang untuk saat ini, tapi juga nantinya. Naik jabatan dan promosi akan terjadi lebih lambat bila Ibu memutuskan untuk resign kerja, dan banyak wanita yang mengalami penurunan gaji ketika ia berganti pekerjaan setelah punya anak. Seiring waktu, dampaknya bisa signifikan.
Sebuah penelitian menunjukkan kalau wanita yang terus bekerja hingga usia 40 tahun memperoleh penghasilan sekitar 40 persen lebih banyak dibanding mereka yang resign kerja, lalu kembali memasuki dunia kerja setelah beberapa tahun menganggur.
Kemunduran karir
Ibu juga perlu pertimbangkan seberapa “menjualnya” Ibu setelah melewati periode tidak bekerja. Tiap bidang pekerjaan punya kondisi berbeda. Resign kerja dari industri teknologi, misalnya, bisa membuat Ibu mengalami penurunan karir karena perubahan di industri ini terjadi sangat cepat.
Beberapa Ibu mungkin masih bisa kembali ke industri di bidang yang sama setelah resign kerja. Tapi tidak demikian untuk Ibu-Ibu yang lain. Misalnya, ketika Ibu jadi polisi wanita, tidak ada posisi freelance untuk profesi ini, dan ada banyak orang yang menginginkan pekerjaan ini. Ini artinya Ibu tidak bisa resign kerja dan lalu kembali menjalani pekerjaan yang sama.
Perubahan psikologis
Meninggalkan dunia kerja juga bisa mempengaruhi citra diri dan dinamika pernikahan Ibu. Resign kerja dan tinggal di rumah membuat Ibu harus melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci baju, mengajak anak jalan-jalan di taman, dan sebagainya. Di satu sisi Ibu mungkin akan merasa senang bisa ada di rumah bersama anak. Tapi tak akan ada orang yang memuji kalau Ibu sudah melakukan tugas dengan baik, tidak seperti saat di kantor, di mana Ibu mungkin akan memperoleh pujian dari rekan kerja atau atasan. Ibu memperoleh pujian itu dengan melihat anak tumbuh besar dan menyadari bahwa Ibulah yang berperan banyak sehingga anak bisa berkembang sebaik ini.
Ada juga Ibu lain yang melihat pekerjaan sebagai bagian yang menyatu dengan identitasnya. Misalnya, seorang Ibu punya ambisi dan cinta dengan pekerjaannya sebagai guru. Ia merasa khawatir bila berhenti kerja, ia tidak lagi punya passion dalam hidup. Ia juga merasa pekerjaannya penting karena berkontribusi pada anak-anak yang membutuhkan profesinya.
Penelitian menunjukkan kondisi pernikahan juga bisa berubah ketika Ibu resign kerja. Beberapa Ibu merasa kurang ingin bicara. Ada perubahan dalam otoritas ketika Ibu tidak punya income.
Banyak Ibu tidak merasa berhak menyuarakan pendapat atau membuat keputusan keluarga ketika mereka tidak berkontribusi secara finansial. Ini sebabnya kenapa pasangan yang keduanya bekerja dan saling menghargai punya kehidupan pernikahan yang lebih bahagia.
Tapi ada dua pengecualian penting terhadap hal ini. Yang pertama adalah ketika Ibu bekerja mengurus rumah tangga tanpa banyak bantuan dari pasangannya, pernikahan akan berjalan lebih baik ketika pasangan saling memberi dukungan.
Semua akan berjalan lebih lancar bagi Ibu bekerja jika suami mau berbagi tanggung jawab untuk merawat anak. Jika tidak, gabungan beban dari pekerjaan dan mengurus anak bisa terasa sangat berat bagi Ibu.
Pengecualian yang kedua berasal langsung dari hati: bila Ayah merasa kodrat istri bukan bekerja, Ayah dan Ibu bisa menjalani kehidupan pernikahan yang penuh stres bila Ibu tetap bekerja di luar rumah.
Pilihan childcare
Banyak calon Ibu memutuskan tinggal di rumah setelah melahirkan hingga mereka menemukan pengasuh atau childcare yang tepat untuk bayi, jadi pertimbangkan pilihan Ibu sebelum Ibu merasa tertekan untuk memastikan keputusan.
Sebaliknya, banyak Ibu yang memutuskan untuk resign kerja dan tinggal di rumah, mereka tidak mau meninggalkan anak di bawah pengasuhan orang lain. Sedang bagi Ibu yang lain, ini adalah masalah waktu. Ada Ibu yang merasa kalau keberadaannya dekat bayi selama tahun pertama anak sangatlah penting.
Tentu, pada akhirnya, memilih untuk resign kerja dan jadi ibu rumah tangga atau melanjutkan pekerjaan adalah keputusan yang sangat personal. Yang bisa Ibu lakukan, pertimbangkan semua hal dan ikuti insting Ibu.
Pertanyaan sebelum memutuskan resign kerja
“Perlukah saya resign kerja?” Mungkin Ibu menanyakan hal ini ke diri sendiri setelah mengalami perubahan hidup seperti hamil, melahirkan, atau punya anak. Tapi pertanyaannya, apakah Ibu sanggup meninggalkan pekerjaan?
Resign kerja bisa jadi keputusan sulit karena akan mempengaruhi kondisi keluarga serta prospek karir di masa depan. Jadi untuk membantu memutuskan apakah resign kerja adalah hal tepat, ajukan pertanyaan berikut ke diri sendiri:
Apakah resign kerja mempengaruhi kondisi keluarga?
Tidak bisa dipungkiri, uang bisa membuat keluarga kita merasa aman. Semua anggota keluarga bisa mendapat semua yang dibutuhkan dan diinginkan. Bila Ibu resign, apakah keluarga akan merasa kekurangan?
Suami mungkin punya gaji yang cukup untuk membayar tagihan. Tapi, pikirkan juga tentang kemungkinan paling buruk, misalnya bila suami di-PHK, bagaimana nasib keluarga?
Bila Ibu ingin resign kerja, buat rencana cadangan lebih dulu. Siapkan tabungan agar kondisi keluarga tetap baik ketika masa sulit datang.
Apakah tantangan pekerjaan yang membuat Ibu ingin resign kerja?
Ketika Ibu mengalami tekanan dalam pekerjaan atau anak mengalami kesulitan beradaptasi dengan pengasuhnya, Ibu akan lebih mudah untuk berpikir, “Seandainya saya bisa berhenti bekerja, semua masalah ini akan hilang.”
Tapi bila Ibu resign kerja, Ibu mungkin akan merasa masalah masih tetap ada dan Ibu telah menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa bekerja. Menyalahkan pekerjaan untuk masalah yang Ibu hadapi saat ini, bisa jadi sebuah kesalahan.
Sebaiknya, jangan buat keputusan besar seperti berhenti bekerja ketika ada hal lain terjadi dalam hidup Ibu, seperti baru punya anak. Ambil waktu beberapa minggu untuk bisa berpikir lebih jernih.
Sementara itu, tulislah apa yang terjadi dalam pekerjaan Ibu. Coba untuk sejujur mungkin. Menulis tentang masalah yang Ibu alami selama bekerja bisa membantu. Dengan menulis, Ibu punya kesempatan untuk duduk dan berpikir tentang masalah Ibu. Selain itu, ketika Ibu menulis, Ibu punya kesempatan untuk merenungkan apa yang Ibu tulis. Baca lagi apa yang Ibu tulis di hari berikutnya dan semoga ada solusi yang muncul setelah Ibu bisa berpikir jernih.
Apakah Ibu sanggup bila resign kerja?
Ibu mungkin ingin resign kerja, tapi apakah Ibu bisa membayar semua tagihan? Sekarang waktunya untuk melihat kembali kondisi keuangan keluarga. Periksa rekening dan kartu kredit, lalu analisa bagaimana cara keluarga menggunakan pendapatan. Apakah ada cara untuk memotong biaya bulanan saat keluarga hanya memiliki single income? Tanyakan ini ke diri sendiri:
Apakah ada pengeluaran besar yang bisa Ibu kurangi, seperti pindah ke rumah yang lebih kecil atau tidak menggunakan mobil?
Apakah Ibu bisa bekerja part time untuk membantu meringankan penurunan income? Jenis pekerjaan apa yang sekiranya tepat?
Berapa banyak Ibu menghemat untuk transportasi, pakaian kerja, daycare, makan di luar, dan lain-lain bila Ibu resign kerja?
Pengeluaran lain apa yang Ibu punya yang termasuk mewah dan tidak perlu? Bisakah Ibu hidup tanpa ini?
Di mana Ibu berbelanja? Apa ada tempat lain untuk berbelanja untuk menghemat uang?
Apa Ibu bekerja untuk membayar daycare?
Mungkin Ibu berada di situasi di mana Ibu senang bekerja, tapi tidak suka bila income Ibu banyak digunakan untuk membayar daycare. Pengeluaran paling besar terjadi ketika usia anak di bawah 5 tahun atau lebih dari 18 tahun, ketika mereka masuk kuliah. Bila Ibu punya anak usia sekolah, biaya merawat anak akan menurun secara drastis, apalagi jika mereka masuk ke sekolah negeri.
Coba lihat gambaran jangka panjang ketika Ibu membayar daycare. Mungkin pengeluaran ini sebanding bila hanya untuk beberapa tahun, terutama bila Ibu di bidang pekerjaan dengan persaingan karir yang ketat.
Seberapa mudah nantinya untuk masuk kembali ke dunia kerja?
Bila Ibu resign kerja, apakah Ibu akan kembali ke bidang Ibu di masa depan? Di sebagian besar industri pekerjaan, kadang Ibu tidak mungkin kembali ke pekerjaan yang sama setelah resign kerja untuk beberapa tahun.
Lihatlah di sekitar Ibu, apakah Ibu melihat ada Ibu dengan usia lebih tua yang berhenti kerja untuk sementara waktu? Tapi bila Ibu bekerja di bidang yang sangat dinamis, Ibu perlu bersikap realistis saat mengambil keputusan untuk resign kerja.
Bisakah Ibu mengurangi jam kerja, daripada memilih untuk resign kerja?
Mengurangi jumlah jam kerja bisa menurunkan stres Ibu terhadap pekerjaan dan kehidupan. Jika kondisi memungkinkan, Ibu bisa bertanya ke atasan apakah mungkin untuk bekerja di waktu yang lebih fleksibel? Ibu tidak pernah tahu kapan atasan bisa bersikap terbuka untuk bernegosiasi untuk jadwal yang fleksibel.
Ibu bisa mulai mencari pekerjaan yang lebih fleksibel. Carilah posisi yang mungkin mirip tapi tidak terlalu menuntut banyak waktu dan tenaga. Cari relasi dengan kolega di perusahaan lain bila Ibu merasa lebih senang bekerja di tempat lain.
Apakah Ibu siap untuk hal yang tidak terduga?
Ini bagian yang paling berat yang perlu Ibu pikirkan dan kadang banyak dari kita tidak siap untuk menghadapinya. Hal tak terduga yang mungkin terjadi antara lain:
Bila suami sakit, atau tidak mampu bekerja, atau meninggal dunia. Meskipun kita berharap ini tidak terjadi, kehidupan tidaklah abadi dan kita tidak punya kuasa untuk mengontrol semua ini. Ibu harus siap secara finansial jika hal ini terjadi. Keuangan mungkin bukan hal pertama yang Ibu pikirkan ketika menghadapi penyakit atau kematian dalam keluarga, tapi ketika ini terjadi, ini jadi masalah yang besar.
Suami meninggalkan Ibu. Meski Ibu tidak merencanakan perceraian, sayangnya banyak pernikahan yang berakhir demikian. Bila keluarga Ibu hanya mengandalkan suami sebagai pencari nafkah, ia akan membawa semua penghasilannya ketika berpisah dari Ibu. Bila perceraian terjadi, Ibu tidak akan punya apa-apa. Bila ini yang jadi kekhawatiran Ibu, pertimbangkan untuk punya rencana finansial untuk hal tak terduga ini.
Ibu meninggalkan suami. Bila Ibu tidak bekerja maka Ibu tidak punya income. Tak butuh waktu lama untuk resign kerja, tapi butuh berbulan-bulan untuk memperoleh pekerjaan baru. Pikirkan apakah keputusan Ibu untuk resign kerja bisa mengatasi masalah ini dan mencegah perceraian.
Apakah Ibu merasa senang menjadi ibu rumah tangga?
Para Ibu bekerja tentu pernah membayangkan menjadi Ibu rumah tangga. Ibu akan mengalami kondisi di mana selalu terburu-buru ke kantor setelah anak ngambek dan tidak mau berpisah dari Ibu, dan saat Anda melihat Ibu yang sedang asyik bermain dengan anaknya di taman, mungkin Anda dalam hati mengatakan “Itu harusnya aku.”
Tapi ingat Bu, kehidupan Ibu rumah tangga tidak selalu indah dan menyenangkan. Ibu rumah tangga harus mengerjakan tugas yang sama berkali-kali. Ibu rumah tangga juga harus bekerja 24 jam setiap hari, tidak jarang ini membuat kesabaran menipis dan kehidupan parenting jadi lebih sulit. Apa Ibu siap untuk ini? Namun, memang banyak Ibu merasa bisa lebih fokus ke anak dan punya waktu bersama di luar hari kerja. Apa Ibu salah satu dari mereka? Pikirkan pertanyaan ini. Pastikan Ibu akan bahagia ketika memilih menjadi Ibu yang tidak bekerja.
Si kecil akan masuk SD dalam waktu 5 tahun lagi atau akan lulus SMA dalam 13 tahun yang akan datang. Jadi janganlah buat keputusan yang akan punya dampak jangka panjang dengan hanya mempertimbangakan situasi saat ini.
(Ismawati / Dok. Freepik)