Ibupedia

7 Cara Mengelola Inner Child Dalam Mengasuh Anak

7 Cara Mengelola Inner Child Dalam Mengasuh Anak
7 Cara Mengelola Inner Child Dalam Mengasuh Anak

Sebagian orang mungkin pernah mendengar istilah inner child. Ya, secara garis besar inner child adalah jiwa seseorang saat masa kanak-kanak yang dipengaruhi oleh hal-hal yang pernah dialaminya dahulu. Misalnya saja, seorang anak perempuan yang begitu sayang dengan ayahnya pada masa kecil. Ketika dia beranjak dewasa, dia pun akan memilih pasangan hidup seperti kepribadian sang ayah. Ini juga akan berpengaruh pada caranya mengasuh anak.

Contoh lain misalnya, seorang anak yang dahulu di didik dengan pola asuh keras, disiplin dan menjadikan sebuah hukuman sebagai ‘makanan sehari-hari’. Ketika dia beranjak dewasa dan menjadi orang tua, tanpa disadari dia pun menerapkan pola asuh seperti itu kepada anaknya.

Menurut John Bradshaw, dalam buku Home Coming: Reclaiming and Championing Your Inner Child (1990), inner child adalah istilah untuk menjelaskan konsep mengenai bagian dari diri kita yang berupa anak kecil, yang perlu untuk dicintai dan dirawat. Inner child yang dimiliki masing-masing orang dapat berada dalam kondisi baik atau dalam kondisi bermasalah trauma dan terluka.

Jika seseorang banyak mengalami peristiwa yang menyenangkan dalam hidupnya, maka inner childnya  akan berkembang dengan baik dan memberi energi positif bagi jiwa dan perilakunya. Sebaliknya, jika seseorang pernah atau sering mengalami peristiwa yang menyakitkan, maka inner childnya akan stuck di usia saat ia mengalami peristiwa yang menimbulkan luka pada jiwanya.

Pada intinya, inner child terbentuk berdasarkan pengalamannya sendiri yang terekam jelas dan sangat membekas yang didukung oleh lingkungan sekitar. Inner child sendiri terjadi karena, hingga usia enam tahun otak kita berfungsi pada kecepatan yang relatif lambat. Pada saat itu, frekuensi gelombang otak kita hanya berkisar 4-7 siklus theta per detik. Kondisi ini membuat gelombang otak menjadi sangat reseptif dan membuat kita mudah dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu yang sangat membekas.

Sayangnya, pada beberapa kasus, tanpa disadari, para orang tua masih sering membawa dampak inner child negatif mereka dalam hal mengasuh anak. Akibatnya, jika anak melakukan kesalahan yang sama seperti kita dulu, tanpa disadari emosi diri akan meluap untuk memarahinya. Tanpa memahami dampak dan luka yang ditimbulkan kepada Si Kecil nantinya.

Nah, karena inner child merupakan mata rantai yang sulit diputus, untuk mengurangi dampak negatifnya pada anak-anak sangat penting untuk mengelolanya dengan baik. Lalu, apa saja yang perlu kita kelola agar inner child orang tua tidak menjadi mimpi buruk bagi buah hati tercinta?

 

7 Langkah Mudah Mengelola Inner Child Dalam Mengasuh Anak

  1. Mulailah untuk berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu

    Salah satu cara paling penting untuk mengelola inner child yang sangat membekas adalah dengan berdamai pada diri sendiri terlebih dahulu. Terutama jika memiliki inner child yang memiliki dampak negatif. Sebisa mungkin, mulai sekarang Ibu harus belajar menerima jika dahulu pernah  disakiti dan dikasari secara verbal maupun fisik.

    Tentu saja hal ini sangat tidak mudah dilalui, apalagi untuk mengingat memori yang kurang menyenangkan rasanya sungguh tidak enak. Rasa sedih, kecewa, marah, takut, kesepian, semua terasa menyesakkan dada.

    Tapi cobalah mengenali rasa itu lagi, terima bahwa kita memang pernah merasakannya. Menyangkalnya berarti sama dengan menyangkal keberadaan inner child dalam diri.

    Cobalah untuk membentuk mindset dalam diri bahwa masa kecil kita dahulu sangatlah bahagia dan penuh dengan kasih sayang. Mulailah memaafkan kesalahan yang pernah di perbuat oleh orang tua atau lingkungan kita pada saat kita masih kanak-kanak.

    Cara ini bisa menjadi self healing agar kita bisa lebih mudah menerima dan mengenali keberadaan inner child. Sehingga dapat membuat rasa emosi lebih mudah di kelola. Terutama ketika mengasuh anak dan ia melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah kita lakukan dahulu, kemungkinan kita untuk meluapkan emosi pada sang buah hati dapat berkurang.

  2. Trying to forgive and let it go

    Memaafkan merupakan hal yang terlihat mudah, namun sulit dilakukan jika kita belum bisa berdamai pada diri sendiri atas kejadian yang menyakitkan pada masa lalu. But, at the end emosi, ego dan amarah yang membara hanya akan membakar diri kita sendiri.

    Cobalah untuk memaafkan kesalahan orang tua kita di masa lalu. Kesalahan yang mereka lakukan bukan berarti bahwa mereka tak sayang, lho Bu. Namun, mengertilah mungkin saja saat itu terlalu banyak tuntutan hidup yang harus mereka jalankan tanpa mengerti cara mengasuh anak yang baik dan benar. Tentunya tanpa harus menyakiti hati sang anak.

    Fokuslah untuk ikhlas dan bersyukur atas apa yang sudah kita dapatkan di masa sekarang. Ketimbang harus melampiaskan inner child yang negatif kepada Si Kecil. Setelah berhasil berdamai pada diri sendiri dan memaafkan, secara otomatis hati akan terasa lebih lega.

    Pikiran pun terasa tenang, perlahan kenangan masa lalu yang menyakitkan itu pun mulai bisa Ibu rangkul. Sehingga tak ada lagi inner child yang bisa Ibu lampiaskan dalam mengasuh anak. Tenang, tak perlu terburu-buru melakukan hal ini. Sesekali ketika bayangan inner child kembali datang, alihkan dengan kegiatan yang kita sukai agar suasana hati kembali ceria.

    Perlu diingat bahwa melampiaskan inner child dalam mengasuh anak hanya akan memperpanjang mata rantainya. Tentu saja hal ini tidak baik bagi kelangsungan hidup bagi anak cucu kita kelak ya, Bu.

  3. Beri perhatian penuh dan jadikan kehadiran anak sebagai self healing

    Ketika kita mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayang yang tulus kepada anak ternyata bisa menjadi salah satu self healing untuk mengelola inner child, lho Bu. Yup, sayangnya tak banyak orang tua yang sadar akan hal ini.

    Memberikan perhatian, cinta kasih yang tulus serta mendengarkan imajinasi mereka ternyata dapat membantu orang tua menghidupkan kembali semangat masa kecilnya. Bermainlah dengannya, kagumi imajinasinya kemudian ikuti proses berpikirnya.

    Kegiatan mengasuh anak seperti melukis bersama, bermain rumah-rumahan dan berdansa bisa membangkitkan inner child kita yang amat manis. Hal ini akan membuat kita mengerti betapa indahnya proses tersebut bagi setiap anak, sehingga sebagai orang tua pun dapat menghargainya.

  4. Identifikasikan karakteristik inner child yang kita miliki

    Jika harus dijabarkan, inner child ternyata memiliki beragam karakteristik yang berbeda, lho. Namun, biasanya kebanyakan inner child yang negatif berasal dari sebuah trauma yang cukup mendalam, akibatnya terjadi luka yang sulit dilupakan.

    Inner child semacam ini seringkali terjadi pada anak yang orang tuanya bercerai, atau sangat sibuk sehingga anak menjadi kurang perhatian, sering menerima bullying dan kerap mengalami kekerasan.

    Efek jangka panjang pada seseorang yang memiliki karakteristik inner child seperti ini biasanya cenderung, merasa takut ditinggalkan, merasa kesepian, atau tidak berdaya, mudah marah, menentang dan kasar.

    Sayangnya, disadari atau tidak ketika mereka sudah menjadi orang tua inner child negatif ini malah diterapkan pada saat mengasuh anak-anaknya. Meskipun tidak semua orang seperti itu, ya Bu.

    Sebaliknya, inner child dengan karakteristik positif biasanya berasal dari anak yang mengalami masa kecil ceria dan penuh kasih sayang. Inner child seperti ini biasanya pun berdampak positif seperti menyukai spontanitas, bebas dari rasa bersalah, bebas dari rasa cemas, merasa bahagia dan penuh dengan kasih sayang. Biasanya ketika sudah menjadi orang tua, disadari atau tidak mereka pun juga menerapkan inner child positif ini saat mengasuh anak. Nah, inner child seperti inilah yang sebaiknya ditanamkan dalam mengasuh anak.

  5. Lindungi dan rangkul inner child kita

    Setelah menerima inner child yang dimiliki, saatnya untuk melindunginya. Eits, ingat ya Bu harus dilindungi bukan malah dihindari. Dikarenakan inner child biasanya menyisakan kesan mendalam, serta trauma yang tidak akan pernah bisa di ‘usir’ dari kehidupan kita maka inner child perlu dilindungi.

    Untuk melindunginnya, kita perlu mengurangi intensitas berada dalam lingkungan yang mengandung ‘toxic situation’. Misalnya saja, kita bisa mengurangi intensitas bertemu dengan orang yang sering mem-bully dan menghina kita sampai membuat cemas. Sekali lagi, dikurangi bukan dihindari ya, Bu.

  6. Gunakan strategi re-parenting untuk lebih mencintai diri sendiri

    Sejatinya, diri kita yang sudah cukup dewasa ini memiliki cukup pengetahuan bagaimana untuk memenuhi kebutuhan inner child kita. Misalnya, ketika dulu orang tua mengasuh anak dengan cara otoriter, kasar dan jarang memuji kerja keras kita secara otomatis memiliki dampak seperti hilangnya kepercayaan diri.

    Nah, justru di sinilah saatnya bagi kita untuk mengatakan pada diri sendiri bahwa “saya bangga dengan diri ini beserta pencapaian yang di dapatkan”. Sesekali boleh juga kok untuk sekadar memberikan apresiasi pada diri sendiri berupa membeli hadiah, meluangkan waktu me time dan sebagainya. Jangan lupa pula untuk selalu mencintai dan menghargai diri kita sendiri, untuk mengurangi dampak inner child tersebut.

  7. Ceritakan masalah yang Ibu rasakan pada orang terdekat 

    Bercerita tentang keluh kesah kita kepada orang terdekat, termasuk pasangan ternyata bisa membuat beban pikiran masa lalu sedikit berkurang. Dengan bercerita, bisa meningkatkan rasa percaya diri dan mendapatkan dukungan yang dapat memberikan spirit baru pada diri kita.

    Namun, tidak berarti semua hal boleh kita ceritakan ke semua orang ya, Bu. Sebaiknya, pilihlah orang terdekat yang sekiranya mampu memberikan masukan maupun solusi atas masalah yang sedang Ibu alami.

    Terutama pada orang yang mungkin juga pernah mengalami hal yang sama seperti yang Ibu rasakan. Kalau belum berhasil, konsultasikan masalah ini pada orang yang lebih berkompeten misalnya seperti psikolog.

Pengaruh inner child yang terluka dalam mengasuh anak

Seperti yang diketahui sebelumnya, inner child tentu memiliki dampak bagi diri kita sendiri maupun bagi anak ketika kita sudah menjadi orang tua. Meskipun dampaknya bisa positif, namun kebanyakan kasus inner child yang dialami berdampak negatif. Bahkan mata rantainya sulit untuk diputuskan apabila tidak bisa me-manage diri dengan baik.

Nah, berikut ini adalah pengaruh inner child orang tua dalam mengasuh anak yang seringkali ditemui.

 

  1. Emosi sering meledak-ledak 

    Pagi tadi, Si Kecil Navya yang berumur 1,5 tahun menumpahkan satu mangkok sup saat sedang sarapan. Akibatnya lantai rumah menjadi basah dan berantakan, ditambah si Mbak yang biasa bantu-bantu di rumah sedang pulang kampung.

    Amarah tentu tak terbendung, anak yang tak tahu apa-apa menjadi target kemarahan Ibu secara verbal. Padahal kalau dipikir-pikir, dia pun tak sengaja menumpahkannya.

    Rupanya, saat Ibu masih kecil orang tuanya sering marah jika rumah kotor dan berantakan akibat ulah kita. Tanpa sengaja inner child negatif ini di ‘tularkan’ saat mengasuh anak.

    Tentu saja hal ini bukan malah mengurangi kehadiran inner child yang negatif, justru malah memperpanjang mata rantainya. Anak akan merekam bahkan bisa jadi berpengaruh pada psikologisnya, seperti timbulnya trauma dan takut berbuat salah.

    Meski ujung-ujungnya Ibu menyesali dan berjanji tidak mengulangi perbuatan ini kembali, namun tetap saja hal tersebut sudah terlanjur membekas di benak anak. Bahkan di kebanyakan kasus, janji orang tua hanyalah janji. Besok mungkin bisa dilakukan kembali, hmmm.. ayo ngaku siapa yang sering begini?

  2. Terlalu memanjakan anak

    Penting diingat bahwa, cara kita menyayangi dan mengasuh anak tidak selalu harus memanjakannya, lho. Misalnya saja dengan selalu manut untuk membelikan mainan ketika dia sudah mulai merengek. Hal ini berdasarkan inner child orang tua yang dahulu jarang dibelikan mainan saat masih kecil.

    Sayangnya, kondisi ini seringkali dipandang sebelah mata oleh para orang tua, yang menganggap bahwa mereka sedang menanam sebuah kebaikan pada sang anak. Hmm.. faktanya mereka justru sedang menanam ‘dendam’ yang tentu tidak baik bagi kehidupan sang anak kelak.

    Memang, dampak positifnya, orang tua dinilai akan memberikan yang terbaik terhadap kebutuhan anaknya. Namun, jangan sampai terlampau memanjakan anak dengan menuruti semua kemauannya, ya Bu. Sebab, hal itu akan membuat anak tidak mengenal kerja keras, malas dan cenderung manja. Untuk itu, sebaiknya hal ini penting untuk dibatasi dalam hal mengasuh anak.

  3. Over protective 

    Memproteksi dan memastikan anak dalam keadaan aman memang menjadi salah satu kewajiban utama bagi setiap orang tua. Tetapi, bukan berarti harus dikekang atau over protective ya, Bu.

    Cobalah untuk berdamai pada masa lalu. Meskipun saat masih kecil Ibu mungkin memiliki trauma karena pernah mengalami suatu pelecehan, tak berarti harus melindungi dan mengasuh anak dengan proteksi diri yang berlebihan.

    Siapa tahu anak kita bisa lebih pandai dan siap dalam memproteksi dirinya sendiri, misalnya dengan mengikuti ekstrakurikuler ilmu bela diri dan sebagainya. Dengan menerapkan proteksi diri yang berlebihan dalam mengasuh anak, justru hanya akan membuat anak menjadi takut untuk bereksplorasi dengan lingkungan sekitar.

  4. Membanding-bandingkan masa kecil dulu dengan sekarang

    Di jaman yang serba canggih seperti sekarang, semua hal pasti dipengaruhi oleh teknologi. Meski berdampak positif, namun seringkali disalah gunakan sehingga timbul dampak negatif.

    Misalnya saja, orang tua menganggap anak kurang tangkas tidak seperti waktu orang tuanya kecil dulu. Sebab, dulu anak-anak main di lapangan, sungai atau sawah sehingga banyak mengeksplor alam. Sedangkan anak sekarang, hanya main game atau di lingkungan rumah yang sempit.

    Dalam hal ini, kita tidak bisa terapkan mengasuh anak jaman dahulu di kehidupan sekarang. Kitalah yang harus mengalah dan lebih banyak belajar untuk masuk ke dalam ’dunia’ anak yang serba canggih seperti sekarang.

  5. Bersikap displin dan keras dalam mendidik anak

    Secara keseluruhan, sebenarnya tak ada salahnya untuk menerapkan sikap disiplin kepada anak. Namun, yang menjadi masalah adalah para orang tua seringkali salah dalam menerapkan sikap ini.

    Misalnya saja, terlalu sering menghukum anak dan bertindak otoriter sesuai peraturan yang di buat di  rumah, tanpa memedulikan hak dan pendapatnya. Dalam hal ini, bukan berarti hukuman tidak diperlukan, lho. Tapi, kita harus pandai menempatkan kapan anak harus di hukum dan kapan saatnya memaklumi perbuatannya.

    Sikap seperti ini mungkin muncul akibat inner child kita yang dahulu mendapatkan pola asuh yang sama. Tentu saja jika hal ini terus dibiarkan, maka mata rantai inner child yang terluka tidak akan pernah putus.

    Perlu diingat bahwa dalam mengasuh anak, sangat penting untuk selalu menjaga perasaan mereka. Apalagi di usia remaja, dimana pada saat itu pola pikirnya akan mudah sekali terluka.

(Aprilia / Dok. Freepik)