Ibupedia

Awas! 7 Jenis Kekerasan Pada Anak Ini Jarang Disadari

Awas! 7 Jenis Kekerasan Pada Anak Ini Jarang Disadari
Awas! 7 Jenis Kekerasan Pada Anak Ini Jarang Disadari

Mengasuh anak bukan hanya soal mencukupi kebutuhan nutrisi, memberikan akses pendidikan, maupun menyediakan tempat tinggal yang layak. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, dipaparkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dan merupakan salah satu kewajiban orangtua untuk menjamin perlindungan anak tersebut sebagai bentuk tanggung jawab pengasuhan.

Ibu tentu beberapa kali pernah mendengar melalui media tentang kasus-kasus kekerasan fisik yang dilakukan orangtua terhadap anaknya hingga kasus kekerasan seksual yang dialami anak yang dilakukan oleh orang asing maupun kerabat terdekat. Tak jarang Ibu turut merasa sedih dan kasihan terhadap anak sebagai korban kekerasan tersebut, bukan? Ada anak yang babak belur dihajar oleh ayahnya, disetrika oleh ibunya, dipukul habis-habisan hingga mengalami cedera, dan nahasnya ada pula yang berakhir meregang nyawa. Tidak hanya itu lho, Bu, kekerasan pada anak ternyata tidak hanya dilakukan oleh orangtua anak sendiri, tapi juga acapkali dilakukan oleh kerabat, guru, maupun orang asing yang ini bisa dialami oleh anak kapan pun dan di mana pun.

Kondisi ini sangat memprihatinkan dan menandakan bahwa masalah kekerasan pada anak di Indonesia masih memerlukan perhatian dan pencegahan yang lebih tegas. Di saat anak-anak semestinya menghabiskan masa kecil dengan bermain dan bahagia, beberapa anak yang malang justru harus bersusah payah keluar dari jerat kekerasan maupun diskriminasi yang dialaminya.

Akan tetapi, tahukah Ibu bahwa kekerasan pada anak tidak hanya berupa kekerasan fisik?

Jenis-jenis Kekerasan Pada Anak

  1. Kekerasan Fisik

    Banyak orangtua yang menganggap bahwa menggunakan kekerasan fisik untuk mendisiplinkan anak adalah hal lumrah. Padahal, hal ini merupakan penyiksaan atau penganiayaan yang tidak semestinya dilakukan dalam pengasuhan dengan alasan apa pun, termasuk untuk membuat anak menuruti perintah kita atau agar anak berperilaku baik. Kekerasan fisik bisa berupa, cubitan, tamparan, tendangan, maupun tindakan lain yang membahayakan fisik anak. 

  2. Kekerasan Mental

    Salah satu bentuk kekerasan pada anak yang jarang disadari adalah kekerasan mental atau emosional, dan kekerasan fisik pun dalam hal ini turut menyumbang luka pada mental anak. Tidak berhenti di situ saja, istilah lain dari kekerasan psikis ini juga bisa berupa teror atau ancaman kepada anak saat mereka tidak menuruti perintah orang dewasa, bullying, bentakan, hingga kata-kata kasar dan merendahkan yang dapat melukai perasaan dan menyebabkan trauma pada anak. Kekerasan mental ini dikatakan jarang disadari dan dianggap sepele, padahal dilansir dari laman Prevent Child Abuse America, dikatakan bahwa kekerasan mental ini justru merupakan bentuk kekerasan yang memiliki dampak paling buruk terhadap kondisi kesehatan mental, fisik, bahkan kemampuan sosial dan kognitif anak. Karena sejatinya segala bentuk kekerasan, akan bermuara pada kondisi mental anak.

  3. Kekerasan Seksual

    Bentuk kekerasan seksual pada anak bisa mencakup kontak seksual secara tak langsung dan tindakan langsung pada tubuh anak. Pada kontak seksual secara tak langsung, bisa berupa percobaan pelecehan seksual melalui cat-calling atau menggoda anak, hingga dengan sengaja mengintip atau melihat bagian tubuh anak yang tidak semestinya. Pada tindakan kekerasan seksual secara langsung, pelaku meraba-raba bagian tertentu tubuh anak, anak menjadi korban pemerkosaan, hingga menjadi sasaran pelaku pedofilia.

    Umumnya, anak tidak menyadari dan tidak mengerti adanya perlakuan yang mengarah pada bentuk kekerasan seksual ini karena kemampuan anak yang masih terbatas untuk mengkomunikasikannya. Apalagi jika kekerasan seksual ini diawali dengan rayuan dan iming-iming benda atau makanan yang anak sukai, atau bahkan dengan paksaan yang tak mampu dilawan sehingga anak menjadi mudah terjebak.

  4. Pengabaian

    Pengabaian (neglection) merupakan bentuk kekerasan pada anak yang dilakukan secara pasif. Orangtua maupun caregiver tidak memedulikan kebutuhan bahkan keberadaan anak. Sehingga anak merasa tidak diperhatikan dan tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, baik kebutuhan emosional seperti kasih sayang dan rasa nyaman, hingga kebutuhan fisik dan sosial. Komunikasi tidak terjalin baik dengan anak, bahkan bisa dikatakan tidak ada ketertarikan yang mengarah pada kepedulian dan interaksi dengan anak sehingga anak menjadi tidak terurus. Misalnya, tidak terlibat pada kegiatan atau momen penting bagi anak, mengabaikan kesehatan maupun pendidikan anak.

  5. Penolakan

    Jika dalam pengabaian orangtua meniadakan perhatian terhadap anak, pada bentuk kekerasan pada anak yang satu ini biasanya orangtua cenderung melakukan penolakan terhadap kebutuhan anak secara sengaja maupun tidak sengaja sehingga membuat anak merasa tidak diinginkan. Beberapa di antaranya seperti menolak berkomunikasi dengan anak, menyalahkan anak, bahkan mengusir anak dari rumah karena tidak menuruti keinginan orangtua. 

  6. Pengaruh Buruk

    Memberikan pengaruh buruk terhadap tumbuh-kembang maupun pemikiran anak merupakan salah satu kekerasan pada anak yang jarang disadari. Sama halnya dengan bentuk kekerasan lainnya, pengaruh buruk tidak hanya berasal dari orangtua, tapi juga dari hasil interaksinya dengan lingkungan sosial. Pengaruh buruk ini diakibatkan oleh tindakan orang dewasa yang dilakukan secara langsung di depan anak, sehingga anak akan meniru bahkan masuk dalam keseharian mereka tanpa disadari. Misalnya, mencontohkan kepada anak berkata dan bersikap kasar terhadap orang lain, menyuruh anak mencuri, menyediakan tontonan yang tidak semestinya, hingga memberi anak narkoba.

  7. Eksploitasi Anak

    Eksploitasi anak merupakan bentuk kekerasan berupa pendayagunaan atau pemanfaatan anak dalam rangka mencari keuntungan untuk diri sendiri. Dalam lingkup besar, eksploitasi anak bisa terlihat pada kasus-kasus children trafficking yang menelan banyak korban. Banyak anak kecil yang diculik dan dipaksa bekerja bahkan mengemis. Dalam lingkup kecil, Ibu bisa menemukan bentuk eksploitasi anak berupa pemberian tugas atau tanggung jawab yang melampaui kemampuan dan usia anak. Misalnya, memaksa anak berusia 5 tahun untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang menuntut kekuatan fisik usia dewasa. Selain itu, memaksa anak untuk melakukan instruksi tertentu untuk kepentingan konten media sosial juga merupakan bentuk eksploitasi yang jamak dilakukan orangtua.

Dampak Kekerasan Pada Anak

Dilansir dari artikel Violence Against Children di laman resmi WHO, kekerasan pada anak memiliki dampak negatif yang tidak boleh diabaikan. Dampak negatif tersebut tidak hanya akan dirasakan oleh anak dalam hal kesehatan fisik dan mentalnya, tapi juga berimbas pada kondisi keluarga dan lingkungan masyarakat. Beberapa dampak buruk kekerasan pada anak yang bisa terjadi adalah:

  1. Cedera Fisik Sampai Kehilangan Nyawa

    Anak sangat rentan menjadi korban kekerasan, apalagi kondisi anak yang masih belum mengerti maupun menyadari permasalahan yang sebenarnya terjadi dan tidak bisa melawan. Selain menyebabkan luka fisik ringan hingga cedera permanen, kekerasan pada anak juga bisa berujung pada kematian. Ada pelaku kekerasan pada anak yang mengaku melakukannya dengan tidak sengaja, namun tidak sedikit yang dengan sengaja terus-menerus menganiaya anak hingga merenggut nyawanya.

  2. Merusak Otak dan Perkembangan Sistem Saraf

    Dalam jurnal penelitian dari McGill University dijelaskan bahwa ada kaitan antara perkembangan struktur saraf dengan pengalaman buruk dan trauma yang dialami anak. Tekanan dan gempuran ketakutan yang diderita anak semasa kecil mengakibatkan kerusakan pada otak dan sistem saraf yang mengatur sistem endokrin dan sirkulasi darah, sehingga mengganggu kerja sistem pernapasan dan bagian lain struktur saraf yang mengatur kekebalan tubuh. 

  3. Risiko Gangguan Kesehatan Mental

    Dampak buruk kekerasan pada anak yang mustahil dihindari adalah risiko gangguan kesehatan mental anak. Tentu saja hal ini tidak boleh diabaikan karena kesehatan mental anak tidak bisa disembuhkan dalam seminggu atau bahkan hitungan bulan. Anak yang memiliki pengalaman kekerasan yang sangat membekas rentan mengalami stres dan depresi, tingkat impulsive yang tinggi, gangguan kecemasan, agresif, bahkan mengarah pada kemungkinan percobaan bunuh diri.

    Anak yang memiliki gangguan kesehatan mental karena dampak kekerasan yang pernah dialaminya, bisa mengalami masalah yang rumit dalam bermasyarakat. Anak menjadi minder dan kesulitan dalam kemampuan bersosialisasi serta beradaptasi dengan masyarakat sehingga akan mengakibatkan mereka semakin merasa terasing dengan lingkungan sekitar. Umumnya, anak dengan jejak trauma masa kecil mengalami kesulitan dalam mencari solusi atau jalan keluar (coping) dari permasalahan yang dialami.

  4. Meningkatkan Risiko Penyakit Tidak Menular

    Berbicara tentang penyakit tidak menular, bukan berarti penyakit ini tidak berbahaya. Seiring bertambahnya usia anak, diiringi dengan trauma dan pengalaman kekerasan yang dialami, anak memiliki risiko menderita penyakit tidak menular yang berbahaya seperti diabetes, kanker, penyakit kardiovaskular, dan kondisi kesehatan lainnya karena tubuh bereaksi terhadap penanggulangan negatif dan kecenderungan memiliki pola hidup yang tidak sehat.

  5. Mengikis Potensi Generasi Masa Depan

    Selain memiliki dampak buruk bagi fisik, mental, dan lingkungan sekitar, kekerasan pada anak juga memengaruhi potensi masa depannya yang semestinya cemerlang. Anak yang mengalami kekerasan rentan putus sekolah dikarenakan anak kesulitan untuk fokus dan mengasah kecerdasan, kesulitan mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan karena memiliki gangguan dalam menjalankan pendidikan, dan rentan kembali menjadi korban kekerasan bahkan jadi pelaku kekerasan sehingga anak-anak akan kehilangan masa depannya yang gemilang.

Di Mana Kekerasan Pada Anak Bisa Terjadi dan Apa Penyebabnya?

  1. Di Rumah

    Apakah rumah adalah tempat berlindung paling aman untuk anak? Ataukah ternyata rumah menjadi panggung utama kekerasan pada anak? Tentu saja Ibu menginginkan yang pertama sebagai pilihan, bukan? Akan tetapi, percaya atau tidak, banyak diberitakan di media massa kasus-kasus kekerasan pada anak justru kerap terjadi di rumah. Beberapa faktor berikut ini bisa menjadi penyebab terjadinya kekerasan pada anak di rumah:

    • Kemiskinan. Kondisi ekonomi yang lemah dalam keluarga bisa menimbulkan stres. Tuntutan pekerjaan, ketimpangan penghasilan dengan kebutuhan, kesalahan dalam pengelolaan keuangan keluarga, serta kelelahan karena beban kerja yang melampaui kemampuan bisa memicu ledakan emosi. Stres yang umumnya dialami oleh orangtua ini terkadang membuat mereka lepas kendali dan melampiaskannya kepada anak secara sadar maupun tidak sadar.

    • Baby blues atau depresi pasca melahirkan. Tidak hanya masalah pekerjaan yang dapat memicu stres, baby blues dan depresi pasca melahirkan juga merupakan salah satu faktor munculnya kekerasan pada anak. Rasa lelah dan gejolak emosi yang dirasakan  Ibu setelah melahirkan memang tidak seharusnya dianggap sepele, karena depresi yang berkepanjangan ini bisa berlanjut menjadi depresi pengasuhan dalam merawat dan mendidik anak.

    • Masalah dengan Pasangan. Jamak terjadi dalam perselisihan antara Ayah dan Ibu, anak sering menjadi korban. Mulai dari hal kecil seperti kena imbas omelan Ibu dan bentakan Ayah, maupun menjadi korban penganiayaan sebagai pelampiasan amarah orangtua terhadap pasangan. 

    • Dianggap Hal Lumrah. Banyak kekerasan pada anak yang secara tidak sadar dilakukan dan menjadi kebiasaan sehari-hari karena dianggap sebagai hal lumrah. Anggapan bahwa kedisiplinan hanya bisa dicapai dengan cara kekerasan merupakan persepsi yang keliru. Apalagi jika kekerasan ini dilakukan secara turun-temurun dan tidak ada satu pun anggota keluarga yang memiliki kesadaran untuk memutus rantai kekerasan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

  2. Di Sekolah

    Ternyata, tempat menimba ilmu yang sering disebut-sebut sebagai “rumah kedua” bagi anak juga bisa menjadi sumber kekerasan pada anak. Tenaga pendidik dan warga sekolah dengan jabatan dan posisi apa pun bisa menjadi pelaku kekerasan, tidak terkecuali teman sebaya korban kekerasan tersebut. Kekerasan bisa berupa tindakan yang mencederai fisik seperti memukul siswa yang tidak mengerjakan PR, intimidasi yang melukai mental pada murid yang lebih lambat dalam menyerap pelajaran, pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap murid laki-laki maupun perempuan, hingga bullying antar murid yang akhir-akhir ini sering terjadi dalam lingkup sekolah dan menyebabkan korban mengalami kesulitan dalam kegiatan belajar bahkan sampai putus sekolah.

  3. Di Tempat Asing dan Dunia Maya

    Disadari atau tidak, dunia media atau yang kerap dikenal dengan sosial media ternyata sama asingnya dengan tempat keramaian seperti pusat perbelanjaan maupun jalanan yang gelap dan sepi. Banyak anak-anak yang menjadi korban pedofilia dan prostitusi online, juga penculikan dan pelecehan seksual yang dialami di tempat ramai maupun sepi. Pelakunya adalah orang asing yang tidak dikenal, baik itu secara nyata maupun dalam sosial media dan biasanya terjadi secara tidak terduga.

Langkah Pencegahan dan Penyelesaian

Mengingat dampak buruk yang terjadi akibat adanya kekerasan pada anak, langkah pencegahan dan penyelesaian sangat penting untuk Ibu ketahui demi menjaga masa depan si kecil. Beberapa hal yang bisa Ibu dan Ayah lakukan sebagai upaya pencegahan dan respons terhadap kekerasan pada anak yaitu:

  • Edukasi Diri: Saat memutuskan untuk memiliki anak, hal pertama yang harus dilakukan Ibu dan pasangan adalah berupaya untuk mengedukasi tentang pengasuhan dan pentingnya menanamkan kebaikan dengan cara yang baik pula, termasuk dengan menghindari model pengasuhan anak dengan cara kekerasan. Ibu bisa mengikuti seminar maupun membaca buku seputar cara mendidik anak tanpa kekerasan.

  • Komunikasi dengan Pasangan: Semua kebijakan dalam keluarga sebaiknya telah didiskusikan dan disepakati bersama sehingga perselisihan bisa diminimalisasi dan beban bisa ditanggung bersama. Rencana keuangan, masalah ekonomi keluarga, hingga persoalan hubungan intim, pun harus dikomunikasikan secara terbuka dengan pasangan demi mendapatkan solusi yang tepat.

  • Libatkan Anak: Jika anak sudah lebih besar dan mengerti, Ibu dan Ayah bisa melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan anak seperti memilih mata pelajaran ekstra, aturan keluar rumah bersama teman, sampai hal-hal detail tentang masalah yang dialami anak di luar rumah. Hal ini sangat penting dilakukan untuk membangun kepercayaan anak bahwa dia berharga bagi orangtuanya dan pendapatnya pun diperhitungkan. Melibatkan anak dalam hal ini juga bisa menunjukkan kasih sayang dan kepedulian orangtua sehingga anak tidak merasa diabaikan, komunikasi dengan anak akan lebih nyaman, dan risiko kekerasan pada anak pun semakin kecil.

  • Peka Terhadap Lingkungan: Sebagai bagian dari masyarakat, rasa empati dan kepekaan sangat dibutuhkan untuk menjaga lingkungan agar tetap harmonis dalam kebersamaan dan kebaikan. Saat Ibu menyadari adanya kekerasan pada anak di sekitar Ibu, Ibu sebaiknya tidak tinggal diam. Ibu bisa melakukan pendekatan secara personal tanpa penghakiman, atau segera melaporkan pada perangkat desa maupun pihak berwenang jika terjadi kekerasan pada anak yang membahayakan jiwa.

  • Minta Bantuan: Salah satu upaya pencegahan dan penyelesaian yang bisa Ibu lakukan adalah dengan mencari support dari keluarga maupun tenaga medis atau psikolog saat Ibu menyadari bahwa Ibu mengalami stres, baby blues, atau depresi pasca melahirkan dan pengasuhan. Hal ini tidak boleh disepelekan karena bisa berdampak jangka panjang tidak hanya bagi anak sebagai korban kekerasan, tapi juga bagi kesehatan fisik dan mental Ibu sendiri. Satu hal penting yang harus selalu Ibu ingat, bahwa Ibu yang bahagia akan mampu mengasuh anak-anak yang bahagia.

(Dwi Ratih)

Follow Ibupedia Instagram