Begini Cara Membayar Fidyah Ibu Menyusui. Busui, Catat!
Cara membayar fidyah Ibu menyusui seringkali menimbulkan banyak pertanyaan karena memang ada beberapa pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan kalau pembayaran fidyah harus berupa makanan (nasi beserta lauk pauk), makanan pokok (beras, gandum), dan ada juga yang membolehkan fidyah Ibu menyusui berupa uang.
Namun, sebelum membahas lebih lanjut tentang fidyah bagi Ibu menyusui, mungkin Ibu perlu memahami dulu golongan orang yang diperbolehkan tidak menunaikan ibadah puasa Ramadan. Hal ini seperti yang telah dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 184 yang berbunyi:
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Disebutkan kalau orang sakit dan musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) boleh tidak berpuasa. Ibu menyusui (dan Ibu hamil) termasuk golongan yang pertama, sehingga mereka juga mendapat keringanan untuk tidak puasa, apalagi jika khawatir akan membahayakan kesehatannya dan bayinya. Meski secara umum, puasa tidak membahayakan Ibu hamil dan menyusui, namun puasa tetap berisiko membuat mereka mengalami mual berlebih, pusing, lemas, hingga dehidrasi. Gejala-gejala tersebut semakin mungkin terjadi bila Ibu hamil dan menyusui tidak mengonsumsi makanan tinggi nutrisi serta tidak mendapat cairan yang cukup. Karena berbagai risiko itulah, mereka pun boleh tidak berpuasa atau membatalkan puasa jika dirasa tidak kuat melanjutkan.
Beberapa Pendapat Mengenai Qada atau Fidyah
Mengganti puasa di hari lain (mengqada) dan (atau) membayar fidyah menjadi kewajiban bagi mereka yang tidak bisa menjalankan ibadah puasa Ramadan, termasuk Ibu menyusui. Hukum tentang kewajiban ini pun termasuk masalah fiqih yang mana bersifat dinamis dan kontekstual. Sehingga, wajar jika ada beberapa pendapat di dalamnya. Berikut ini dua pendapat terkuat dari sekian pendapat para ulama yang bisa jadi pertimbangan para busui yang tahun ini belum bisa menjalankan puasa, seperti dikutip dari laman Almanhaj.
1. Pendapat pertama
Ibu menyusui harus mengqada puasa tanpa harus membayar fidyah. Hal ini sifatnya mutlak, entah karena si Ibu khawatir akan kondisinya sendiri maupun kondisi bayinya. Dari pendapat ini Ibu menyusui disamakan “derajat”nya dengan Ibu hamil dan para musafir yang tidak puasa, di mana musafir memiliki uzur atau halangan yang membuatnya tidak bisa berpuasa, dan uzur itu bisa hilang di kemudian hari. Qada bisa dilaksanakan ketika uzur tersebut sudah hilang, atau kalau busui ketika masa menyusuinya sudah habis.
2. Pendapat kedua
Ibu menyusui hanya wajib membayar fidyah tanpa harus mengqada puasanya. Para ulama yang condong ke pendapat ini beranggapan bahwa kedudukan Ibu menyusui sama seperti orang yang tidak mampu berpuasa, misalnya karena sakit menahun yang sulit sembuh atau karena sudah tua. Maka, mereka pun diwajibkan membayar fidyah. Fidyah Ibu menyusui bisa berupa memberi makan orang miskin sebagai pengganti setiap hari berbuka.
Pendapat ini juga berlaku bagi Ibu yang masa menyusuinya lebih dari dua tahun atau berturut-turut, misalnya saat ia punya anak lagi setelah selesai menyapih, sehingga terasa berat jika harus membayar utang puasa berbulan-bulan lamanya. Jika Ibu termasuk kondisi ini, diperbolehkan untuk membayar fidyah saja tanpa mengqada.
Apa itu Fidyah?
Fidyah sendiri diambil dari kata fadaa yang artinya mengganti atau menebus. Istilah ini juga bisa disebut kafarat atau denda. Orang-orang yang tidak bisa menjalankan ibadah puasa karena uzur syari, boleh tidak berpuasa dan wajib menggantinya di lain waktu. Atau jika tidak mampu mengganti puasa di hari lain, bisa membayar fidyah. Fidyah juga bisa diartikan sejumlah harta benda dalam kadar tertentu yang diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti suatu ibadah yang ditinggalkan atau tidak bisa dijalankan.
Golongan Orang yang Boleh Menerima Fidyah Ibu Menyusui
Pada Surah Al-Baqarah ayat 184 di atas, disebutkan bahwa fidyah harus diberikan kepada seorang yang miskin. Lalu apa syarat orang dikatakan miskin sehingga boleh menerima fidyah Ibu menyusui?
- Fakir: orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
- Miskin: mereka memiliki pekerjaan namun hanya punya sedikit harta sehingga masih kesulitan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, bahkan yang paling mendasar sekalipun
- Yatim dan janda: bila anak-anak yatim dan janda berada dalam kondisi ekonomi yang buruk, boleh saja mereka menerima fidyah karena masih termasuk golongan fakir miskin. Kalau mereka memiliki kecukupan harta, maka tidak berhak menerima fidyah
Kata kunci golongan orang yang berhak menerima fidyah Ibu menyusui adalah “fakir” dan “miskin”. Bagaimana pun status sosialnya; pekerja, janda, anak-anak (yang belum balig), yatim, selama kondisi ekonominya buruk, tidak memiliki perbekalan yang cukup, dan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, mereka berhak menerima fidyah. Sedangkan untuk anak-anak miskin, mereka juga boleh memperoleh fidyah, namun beberapa ulama masih memperselisihkan tentang apakah anak tersebut sudah disapih. Sebagian berpendapat, syarat anak-anak ini haruslah yang sudah disapih, namun sebagian lain memperbolehkan anak-anak yang masih menyusu untuk menerima fidyah.
Cara Membayar Fidyah Ibu Menyusui
Aturan fidyah untuk Ibu menyusui pada dasarnya sama saja dengan aturan fidyah bagi manula, orang sakit, musafir, atau Ibu hamil. Ada beberapa pendapat ulama mengenai apa yang harus dibayarkan sebagai fidyah Ibu menyusui, antara nasi dan lauk, makanan pokok, atau uang. Berikut tata cara bayar fidyah Ibu menyusui:
1. Membayar dengan satu bungkus makanan dikali hari batalnya puasa
Ketentuan mengenai apa jenis makanan yang boleh dijadikan fidyah sebenarnya bisa mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Yang terpenting dengan fidyah tersebut orang yang diberi makan, sudah bisa dikatakan makan berat. Contohnya fidyah Ibu menyusui dapat berupa nasi beserta lauk pauknya. Ukuran atau banyaknya pun juga bisa disesuaikan dengan porsi rata-rata kita sekali makan. Dalam hal ini, memberikan fidyah berupa makanan ringan berarti tidak termasuk fidyah, ya, Bu.
Membayar fidyah juga tidak mesti memberikan fakir miskin makan tiga kali sehari, seperti pendapat beberapa orang. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Rumaysho, mengatakan memberi makan untuk sarapan atau makan siang, walau diberikan hanya sekali (dalam sehari) sudah bisa disebut membayar fidyah. Fidyah paling mudah adalah dengan makanan siap saji yang dibuat per bungkus makanan, misalnya nasi dengan sayur, lauk pauk, atau bisa juga dilengkapi dengan buah dan air mineral. Kalau Ibu memiliki utang puasa sebanyak 30 hari, berarti Ibu perlu menyiapkan 30 bungkus makanan. Pembagiannya bisa dibagikan ke 30 orang berbeda, namun bisa juga ke orang yang sama setiap hari selama 30 hari (30 kali makan).
2. Membayar dengan makanan pokok atau bahan mentah
Fidyah Ibu menyusui juga bisa ditunaikan dengan memberikan makanan pokok atau bahan mentah seperti beras, gandum, dan semisal, kepada fakir miskin. Para ulama berselisih pendapat mengenai takaran bahan mentah yang digunakan untuk membayar fidyah. Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi berpendapat bahwa fidyah itu ukurannya ½ sha’. Misal satu sha’ sama dengan 2,5 kg beras (seperti zakat fitrah), makan ½ sha’ berarti kurang lebih 1,25 kg.
Imam Malik dan Imam As-Syafi’i berpendapat kalau fidyah yang harus dibayarkan itu sebesar 1 mud gandum yang kira-kira 0,75 gram. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, fidyah itu sebesar 1,5 kg. Jika Ibu ingin membayar fidyah berupa beras, bisa menggunakan konversi Fatwa Kerajaan Arab Saudi atau ulama Hanafiyah. Besaran itu tinggal dikalikan saja dengan jumlah utang puasa. Misalnya utang puasa Ibu 30 hari, maka Ibu perlu menyediakan 1,5 kg dikali 30, sama dengan 45 kg beras yang dibagi untuk 30 orang atau beberapa orang saja.
3. Membayar dengan uang
Selain dua pendapat di atas, ada juga yang memperbolehkan membayar dengan uang, yakni para ulama Hanafiyah. Dalam pandangan ini fidyah Ibu menyusui boleh dibayar menggunakan uang dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin. Nominal uang yang digunakan haruslah sebanding dengan harga kurma, anggur, atau jewawut seberta 3,25 kg atau bisa juga menggunakan nominal harga setara 1,625 kg gandum, untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Jadi misalnya harga 1,625 kg gandum Rp29.250, dan utang puasa Ibu 30 hari, maka Ibu harus menyiapkan uang sebesar Rp877.500 untuk dibagikan kepada 30 orang fakir miskin.
Namun, banyak juga ulama yang menyangkal pendapat bahwasannya fidyah boleh dibayar dengan uang. Ini karena mereka berpegang pada Surah Al-Baqarah ayat 184 di atas:
“...Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…”. Sehingga membayar fidyah menggunakan uang dianggap menyelisihi ayat di atas. Selain itu, menggunakan uang sebagai pembayaran fidyah Ibu menyusui juga ditakutkan mendorong orang atau penerimanya untuk menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan lain, bukan untuk membeli makan. Jadi jika memang Ibu ragu-ragu atau takut tidak bisa mengontrol penggunaan uang tersebut, Ibu bisa membayar fidyah menggunakan makanan.
Waktu Bayar Fidyah Ibu Menyusui
Lalu, kapan waktu yang tepat membayar fidyah bagi Ibu menyusui? Ibu dapat membayar fidyah pada hari itu juga ketika Ibu tidak berpuasa. Mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk waktu Subuh juga diperbolehkan. Bisa juga menggabungkan pembayaran fidyah sampai hari terakhir bulan Ramadan, misalnya bulan ini Ibu tidak puasa 30 hari, maka fidyah untuk 30 hari itu dibayarkan di hari terakhir Ramadan.
Pendapat lain ada juga yang mengatakan kalau pembayaran fidyah tidak mesti ditunaikan pada bulan Ramadan, bisa juga fidyah Ibu menyusui dibayarkan setelah Ramadan usai. Jadi sebenarnya tidak ada batasan waktu pembayaran fidyah. Fidyah bisa ditunaikan sesuai kelapangan dan kemampuan, hal itu tidak mengapa walau harus ditunda beberapa tahun. Tapi kalau khawatir lupa, ada baiknya segera dibayarkan, ya, Bu!
Penulis: Darin Rania
Editor: Dwi Ratih