KDRT Di Indonesia, Haruskah Tutupi Aib Orang Terdekat?
Belakangan ini publik dihebohkan dengan berita mengenai seorang penceramah wanita yang membahas mengenai KDRT. Ia mengatakan bahwa menutup aib ketika suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga merupakan hal yang wajib dilakukan oleh istri.
Hal ini jelas langsung mengundang beragam komentar dari orang-orang. Apalagi mereka menganggap KDRT bukanlah suatu hal yang perlu ditutupi, justru korban KDRT perlu mengungkapkan kondisinya tanpa peduli tentang aib keluarga ya Bu!
Sayangnya, budaya kita seringkali menormalisasi KDRT di Indonesia. Layaknya yang dilakukan oleh penceramah tersebut. Sehingga seringkali mereka menganggap KDRT merupakan hal normal yang dilakukan dalam rumah tangga.
Dimana korbannya pun kebanyakan diminta untuk tidak ‘baper’ dalam menanggapinya. Padahal, KDRT tak jarang berakibat pada korban yang menjadi trauma dan menarik diri dari lingkungan.
Bentuknya pun beragam mulai dari KDRT fisik maupun psikologis. Lalu kenapa sih KDRT di Indonesia lebih sering dilakukan oleh orang terdekat? Simak selengkapnya dalam ulasan berikut ini berdasarkan Zoom Class yang dilakukan Ibupedia bersama Dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, Psikiater dan Mindfulness Based Stress Reduction Teacher.
KDRT di Indonesia, kenapa bisa terjadi?
Rasa marah, emosi yang meledak-ledak, perasaan takut, trauma masa lalu, kecewa dan lain sebagainya merupakan hal-hal yang bisa memicu adanya KDRT di Indonesia. Sayangnya tak semua pelaku paham dibalik alasan mereka melakukan KDRT.
Dijelaskan oleh Dr. Jiemi, para pelaku KDRT di Indonesia biasanya akan mengalami beberapa pola yang mudah ditebak yakni;
- Tension building: alasan marah, kecewa, takut, dan lainnya
- Incident: kesulitan berkomunikasi, lalu meledak jadi insiden dan melakukan KDRT mulai dari verbal maupun non verbal
- Reconciliation: amarah menurun, minta maaf, penyesalan dan beragam hal yang menjelaskan ia melakukan KDRT
- Calm: hubungan menjadi baik-baik saja setelahnya.
Namun, menurut Dr. Jiemi tak menutup kemungkinan pola ini akan terus terjadi berulang. Sehingga membuat para pelaku KDRT di Indonesia sulit keluar dari pola ini.
Kekerasan verbal apakah termasuk KDRT?
Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa kekerasan verbal termasuk dalam KDRT di Indonesia. Melansir Very Well Mind kekerasan verbal biasanya mencakup:
- Marah sambil berteriak dengan kata-kata kasar dan kurang pantas
- Name calling
- Memanipulasi
- Merendahkan
- Mengkritik
- Mengancam
Bahkan menurut Dr. Jiemi beberapa pasangan yang melakukan silent treatment hingga berhari-hari juga termasuk dengan kekerasan verbal lho! Sehingga penting bagi kita agar bisa terus mengontrol emosi dengan baik ketika marah, agar tidak ada trigger yang membuat kita menjadi ingin melakukan beragam jenis KDRT baik secara verbal maupun non verbal.
Kenapa pelaku KDRT dilakukan orang terdekat?
Dr. Jiemi setuju jika pelaku KDRT di Indonesia memang lebih banyak dilakukan oleh orang terdekat. Hal ini dikarenakan pelaku memiliki emosi yang rapuh, tapi tak ia kenali.
Untuk meregulasi emosi yang rapuh, maka ia cenderung mengendalikan orang lain. Lalu kenapa tidak terjadi di luar atau bukan orang terdekatnya (misalnya saja istri atau suami)?
Biasanya hal ini dikarenakan pelaku merasa takut untuk ditinggalkan oleh orang terdekatnya. Kebanyakan menganggapnya dengan istilah, karena sayang justru menyakiti atau inilah bentuk dari rasa sayang pelaku pada korban.
“Itu kenapa kita wajib waspada terhadap sesuatu yang disebut ‘sayang’. Jangan-jangan bisa menjadi sesuatu yang bisa menyakiti”. jelas Dr. Jiemi.
Kenapa sulit keluar dan kapan butuh pertolongan?
Menurut Dr. Jiemi, sangat disayangkan mengapa banyak pelaku KDRT yang sulit keluar dari pola ini. Hal tersebut dikarenakan di Indonesia sendiri budaya kita hingga saat ini masih ‘menormalisasi’ kekerasan.
Apalagi self esteem atau harga diri menjadi terganggu dan merasa punya ketergantungan diri pada pelaku. Belum lagi, adanya fase calm yang membuat korban mungkin berharap akan perubahan pada diri pelaku.
Sehingga korban KDRT di Indonesia takut untuk keluar dari hubungan ini karena tidak memiliki rencana yang aman. Lalu bagaimana agar bisa keluar dari situasi ini?
Dr. Jiemi mengatakan, butuh strategi khusus agar seseorang bisa keluar dari situasi ini. Keluar dari zona KDRT tidak bisa dilakukan instant, apalagi jika korban masih belum biasa berdamai atau denial dengan penyulitnya.
“Yang jelas, kekerasan itu bukan suatu yang yang patut untuk ditoleransi. Tidak boleh ditoleransi, lebih tepatnya!” tegas Dr. Jiemi.
Dr. Jiemi pun menjelaskan, korban KDRT perlu peka terhadap dirinya dan segera minta bantuan jika mulai mengalami;
- Distress: sudah sangat menderita akan hal ini
- Disability: tidak bisa melakukan hal apapun mulai dari bersosialisasi, komunikasi dengan keluarga atau teman dekat dan lain sebagainya
- Danger: segera konsultasi jika ada suatu hal yang berbahaya
Ingat! KDRT di Indonesia bukanlah suatu hal yang perlu untuk ditutup-tutupi ya Bu. Mintalah bantuan ahli atau orang terdekat lainnya yang membuat korban merasa nyaman jika harus berbagi masalah tersebut.
Tujuannya agar korban bisa pelan-pelan keluar dari kondisi yang tidak nyaman ini. Memendamnya hanya akan membuat korban makin sulit untuk keluar dari zona yang berbahaya tersebut.
Editor: Dwi Ratih