Ibupedia

Korban Susah Melepaskan Diri, Ini Fakta Tentang Kasus KDRT Di Indonesia

Korban Susah Melepaskan Diri, Ini Fakta Tentang Kasus KDRT Di Indonesia
Korban Susah Melepaskan Diri, Ini Fakta Tentang Kasus KDRT Di Indonesia

Di bulan Juni 2023 ini, Indonesia cukup terguncang dengan ditemukannya jenazah seorang Ibu korban kasus KDRT yang meninggal sambil memeluk bayinya. Dua anak balita lainnya yang berusia 2 dan 4 tahun, juga ditemukan dalam keadaan memeluk Ibunya yang tidak bergerak.

Menurut keterangan pihak kepolisian yang menangani kasus ini, sang Ibu merupakan korban kasus KDRT yang dilakukan suaminya sendiri. Sang Ibu tidak langsung meninggal setelah mendapatkan kekerasan, namun meninggal akibat akumulasi kekerasan yang didapat selama ini.

Ditambah lagi, sang Ibu belum genap 1 bulan baru melahirkan. Artinya kondisi fisik Ibu belum membaik, namun sudah mendapatkan kekerasan yang merengut nyawanya.

Kalau membaca kasus KDRT seperti ini, bergetar rasa hati ya, Bu. Ikut sedih dengan kondisi sesama Ibu dan prihatin dengan kondisi anak-anaknya yang ditinggalkan.

Hanya saja, jika posisi Ibu sekarang sedang membaca ini, sedikit banyak Ibu akan berpikir bahwa Ibu tidak bisa berbuat banyak. Karena ini juga termasuk urusan dalam rumah tangga pelaku dan korban KDRT.

Rupanya, pemikiran seperti ini tak hanya Ibu saja yang punya. Sudah lazim di masyarakat untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga orang lain meski ada hubungannya dengan kasus KDRT.

Sehingga nggak jarang korban malah semakin terpuruk dan sulit dibantu. Bagaimana sebenarnya perkembangan kasus KDRT di Indonesia?

Lahir dan kekal karena budaya masyarakat


Siapa yang menyangka kalau kasus KDRT lahir dari tekanan dan kebiasaan masyarakat. Bahkan tak berhenti di situ, kasus KDRT juga kekal karena budaya dari masyarakat yang melazimkan tindak kekerasan sebagai bagian dari mendisiplinkan dan menguasai pasangan.

Kekerasan dalam rumah tangga, diartikan sebagai bentuk kekerasan yang terjadi dalam lingkup personal dan dalam hubungan di dalam rumah tangga. Kekerasan ini bisa terjadi pada istri, anak perempuan, pekerja perempuan dalam rumah tangga, keponakan perempuan atau cucu perempuan, dengan semua pelakunya mayoritas adalah laki-laki dalam keluarga.

Dijelaskan dalam laman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bahwa kasus KDRT berakar dari rasa berkuasa yang dimiliki pihak laki-laki untuk mendominasi, menguasai, mengatur dan menggunakan kekuatannya guna menekan dan mengeksploitasi pihak perempuan.

Sedangkan kekerasan dengan alasan ‘hak’ suami terhadap istri atau perilaku yang sah-sah saja, dilakukan seorang suami membangun perspektif masyarakat bahwa perempuan layak untuk mendapatkan kekerasan. Budaya inilah yang kemudian membuat kasus KDRT tak pernah sepi tapi jarang terungkap.

Jenis kekerasan dalam rumah tangga

  • Kekerasan fisik, hingga menyebabkan kematian
  • Kekerasan psikologis, perbuatan dan ucapan yang menimbulkan tekanan dan rasa takut
  • Kekerasan seksual, perbuatan melecehkan secara seksual, pemaksaan berhubungan seksual, hubungan seksual yang tidak wajar atau menjauhkan korban dari kebutuhan seksualnya
  • Kekerasan ekonomi, membatasi keuangan korban, melarang korban bekerja, mengekploitasi korban untuk mendapat uang, atau menelantarkan korban tanpa nafkah.

Perbuatan yang diwariskan


Yup, Ibu nggak salah baca, kok. Fenomena ini memang nyata terjadi di masyarakat kita, bahkan juga terjadi di negara-negara seperti Amerika Serikat, Amerika Latin dan negara Asia lainnya.

Kemenkumham menyebutkan bahwa sebuah penelitian di Jawa Tengah menunjukkan terjadinya “Penularan Kekerasan Antar Generasi”. Anak perempuan yang semasa hidupnya menyaksikan Ayah memukuli Ibunya, mengira bahwa tindakan ini normal dilakukan seorang suami.

Sehingga ketika dewasa dan menjalin hubungan, mereka tidak memperhatikan tanda bahaya kalau kekasih atau suaminya adalah seorang penganiaya. Seperti lingkaran setan, energi mereka seolah menarik energi negatif lain dari laki-laki penganiaya dan menjalin hubungan. Siklus ini kemudian terulang kembali.

Anak laki-laki yang tumbuh menyaksikan Ayah memukuli Ibunya, menganggap bahwa jalan terbaik memperlakukan perempuan adalah dengan kekerasan. Sehingga mereka beranggapan bahwa menganiaya istri adalah lazim.

Alasan seseorang melakukan kekerasan


Selain karena mewarisi dari keluarga, ada alasan lain kasus KDRT banyak terjadi di masyarakat. Melansir dari jurnal tahun 2023 berjudul Domestic Violenceberikut alasan seseorang melakukan kekerasan pada istrinya:

  • Tidak bisa mengatur amarah
  • Terbakar cemburu
  • Tidak percaya diri
  • Merasa kurang dibandingkan istrinya, sedangkan egonya terluka
  • Anggapan masyarakat bahwa suami punya hak untuk mengontrol istrinya
  • Kelainan psikis atau kelainan perilaku
  • Pengaruh alkohol dan narkoba.

Lalu kenapa korban kasus KDRT jarang mau melapor bahkan tidak mau berpisah dari suaminya?

Alasan perempuan memilih diam dan bertahan


Adanya kecenderungan bergantung pada suami dari segi ekonomi, menjadi alasan pertama yang muncul pada kasus KDRT masyarakat menengah ke bawah. Para perempuan ini merasa tidak bisa bertahan secara ekonomi jika berpisah dari suaminya.

Anak-anak juga menjadi pertimbangan mereka. Mereka merasa tidak berdaya, jika harus membesarkan anak-anak dengan status tanpa suami. Selain itu alasan-alasan ini juga menjadi latar belakang kasus KDRT tidak selesai:

  • Perempuan menganggap kekerasan dari suaminya lumrah, sudah biasa, dan wajar-wajar saja
  • Perempuan menanamkan dalam pikirannya kalau suaminya suatu saat akan berubah
  • Merasa dirinya lemah tanpa suami dan tidak ada dukungan dari sekitar
  • Tekanan lingkungan untuk bertahan dalam hubungan (lingkungan juga menganggap kekerasan adalah wajar)
  • Perempuan mengalami sindrom hostage, di mana perempuan merasionalkan perilaku suami dan citra masyarakat yang menganggap bahwa rumah tangga sukses dilihat dari istri. Pada akhirnya perempuan-perempuan ini merasa malu, bimbang dan seolah berdosa jika sampai rumah tangganya diakhiri karena kasus KDRT.

Bagi mereka yang menyalahkan korban yang tidak bisa lepas dari hubungan toksik ini, turunkan ekspektasi dulu. Lebih baik membantu korban untuk bisa segera lepas, daripada menyalahkan korban yang merasa tertawan seumur hidupnya dengan KDRT.

Bila korban akhirnya melapor

Perempuan korban kasus KDRT yang memutuskan melapor akan mendapatkan hak-hak ini, berdasar pada Komite Nasional Perempuan:

  • Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial dan pihak lain
  • Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis
  • Penanganan khusus terkait kerahasiaan korban
  • Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap proses pemeriksaan
  • Pendampingan kerohanian.

Cara mengatasi kasus KDRT


Inilah saatnya para korban melindungi dirinya dan masyarakat ikut membantu mereka lepas dari jerat kasus KDRT. Karena tak hanya Ibu, anak-anak pun dapat terkena dampak kekerasan dari seorang Ayah.

Kenali tanda kekerasan yang dilakukan pasangan, dan berhenti menyalahkan diri sendiri untuk kegagalan rumah tangga. Seorang feminis postmodernisme asal Perancis, Luce Irigaray, menekankan peran Ibu dalam menciptakan demokrasi dari rumah.

Demokrasi ini tentang hak asasi manusia, kesetaraan dan kebebasan. Wujudnya berupa contoh saling mengasihi, pengembangan aspek emosional, memelihara hubungan satu sama lain, peka dan peduli pada tiap anggota keluarga.

Tentu ini membutuhkan peran Ayah sebagai partner dalam mewariskan nilai-nilai cinta kasih dan menghargai anggota keluarga. Jika Ibu adalah korban, selamatkan diri segera. 

Yakinlah ini bukan kesalahan Ibu dan mintalah bantuan dari pihak berwenang. Hubungi SAPA 129 atau 08111129129 untuk pengaduan kekerasan anak dan perempuan.

Editor: Aprilia 

Follow Ibupedia Instagram