Mengenal Quit Quitting Yang Sedang Viral Dan 4 Ciri Utamanya!
Serba-serbi dunia kerja memang sangatlah banyak dan kita dituntut untuk bisa selalu menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. Cara kerja di sebuah perusahaan juga nampaknya terus update dan berubah seiring bergeraknya waktu.
Bagi para pekerja yang terbiasa bekerja di sebuah perusahaan kota metropolitan, pekerjaan rasanya tidak pernah cukup dikerjakan dalam waktu 8 jam saja, ada yang masih terus diburu pekerjaan meski waktu pulang kantor sudah tiba. Pada dasarnya hal ini tidak bagus diterapkan mengingat para pekerja tersebut juga punya kehidupan pribadi dan urusan lain yang harus diperhatikan. Nah, baru-baru ini santer beredar tentang istillah quit quitting dalam dunia kerja, ada yang sudah tahu apa maknanya?
Mengenal quit quitting yang sedang marak diperbincangkan
Menerapkan work life balance dalam hidup ternyata sangat perlu dan berdampak besar pada kesehatan para pekerja. Mereka yang punya work balance dinilai lebih produktif daripada seorang workaholic yang seperti bekerja tak kenal waktu. Ini berkaitan juga dengan istilah quit quitting yang sedang banyak dibicarakan netizen di jagat raya, khususnya Gen-Z.
Melansir dari laman Merdeka, quiet quitting adalah sebuah upaya tentang menegakkan betapa pentingnya kesejahteraan bagi setiap pekerja. Quiet quitting digalakkan untuk mengingatkan kepada para pekerja bahwa sebaiknya bekerja sesuai dengan job desc saja, jangan sampai kelelahan karena pekerjaan yang tak kunjung usai, hingga mendedikasikan hidup hanya untuk pekerjaan yang sedang menjadi tahapan karir saat ini.
Quiet quitting ini lebih mengedepankan kualitas karyawan dari segi kesejahteraan pada dirinya sendiri, seperti pulang on time, tidak sibuk dengan laptop atau handphone di luar jam kantor, dan mulai memperhatikan kehidupan bersama dengan keluarga, teman-teman, ataupun orang tua. Quiet quitting adalah sebuah tanggapan positif tentang menyikapi betapa pentingnya seorang manusia untuk tidak merasa diperbudak atau dikekang oleh pekerjaan karena hal ini tidak akan ada habisnya sampai pekerja tersebut sakit atau mungkin meninggal dunia.
Fenomena quit quitting ditanggapi positif oleh sejumlah pihak karena memang dampaknya sangat baik untuk kesehatan serta kualitas hidup bagi para pekerja. Dengan menerapkan quit quitting maka work balance juga akan otomatis terwujud.
Viralnya quit quitting ini bersamaan dengan berubahnya budaya dan metode bekerja saat ini seperti diterapkannya WFA atau WFH karena pandemi Covid-19 belum juga usai. Ketika menjalani WFA atau WFH, para pekerja diharapkan tetap bisa menjalankan quit quitting dengan disiplin diri, bekerja sesuai jam masuk kantor, beristirahat saat waktunya tiba, dan selesai bekerja saat jam pulang kantor tiba, bedanya jika WFA atau WFH bisa dikerjakan di rumah.
Alasan pekerja menjalankan quit quitting
Munculnya quit quitting diduga karena adanya sejumlah penelitian yang mengungkap bahwa pekerja saat ini mengalami semangat dan kualitas yang menurun. Tak hanya itu saja, beberapa perusahaan harus memotong gaji karyawannya selama masa pandemi covid 19 ini yang terhitung sudah 2 tahun lamanya.
Hal ini membuat karyawan merasa tidak seharusnya terlalu terikat dengan pekerjaan karena sebaik-baiknya kualitas yang diberikan, pemotongan gaji apalagi PHK tetap mengintai di depan mata. Metode WFA atau WFH yang memanfaatkan video call untuk meeting di kantor atau saat berdiskusi tentang pekerjaan juga menjadi penentu mengapa quit quitting ini muncul, mereka kehilangan pertemuan berharga di kantor dan tak ada lagi koneksi erat antara karyawan dengan atasannya.
Ciri-ciri karyawan menerapkan quit quitting
Lalu apakah ada ciri khusus tentang pekerja yang menerapkan quit quitting ini? Melansir dari laman Merdeka, berikut ini adalah ciri-ciri quit quitting yang sedang dijalani:
1. Melewatkan waktu meeting
Ini bisa terjadi pada siapapun dan dengan alasan apapun. Namun melewatkan waktu meeting baik offline maupun online dinilai sangat khas dengan metode quit quitting yang sedang viral ini. Banyak karyawan yang mendadak tidak suka mendatangi meeting atau rapat perusahaan yang seringnya justru berakhir ngobrol dan membuat jam kerja mereka.
2. Datang ke kantor terlambat
Quit quitting juga dijalani dengan sering datang ke kantor terlambat atau justru lebih awal. Bagi perusahaan yang tidak menerapkan pemotongan gaji karena karyawan telat mungkin tidak menjadi masalah, tapi ini akan berdampak buruk pada pendapatan jika diberlakukan pemotongan gaji jika karyawan telat datang hingga batas waktu yang ditentukan oleh HRD.
3. Berkurangnya produktivitas karyawan
Kalau dulu seorang karyawan dinyatakan workaholic hingga meyerahkan semua waktunya pada pekerjaan, maka lain halnya dengan metode quit quitting ini, karyawan justru dinilai berkurang produktivitasnya. Mereka cenderung bekerja sesuai job desc, tidak melakukan improvisasi bila tidak diminta, dan tidak lagi berkeinginan untuk membantu pekerjaan karyawan lain.
Ini juga erat kaitannya dengan gaji yang masih dipotong dengan alasan pandemi. Tak hanya itu saja, bagi yang bekerja dengan tim, karyawan quit quitting cenderung hanya melakukan sedikit kontribusi saja dan tidak mau terlibat lebih jauh lagi apalagi sukarela.
4. Berkurangnya Antusiasme Karyawan
Berkurangnya antusiasme karyawan ini juga sangat erat dengan ciri quit quitting. Mereka juga kehilangan semangat kerja tinggi dan bekerja ala kadarnya saja. Quit quitting ini seringnya juga membuat kualitas karyawan seolah berkurang, jadi bagi perusahaan harus waspada akan hal ini. Cek kembali apakah hak karyawan sudah dipenuhi dengan baik sesuai dengan kinerjanya?
Editor: Aprilia