Mengenal Siklus dan Alasan Kenapa Bertahan dalam KDRT
Mungkin Ibu sering berpikir mengapa banyak korban lebih memilih bertahan dalam KDRT daripada berpisah dari pasangannya.
Cukup sulit bagi orang yang tidak mengalami KDRT untuk memahami apa yang dirasakan korban yang memilih bertahan dalam KDRT. Padahal, dengan memosisikan diri sebagai korban KDRT dan mencoba memahami alasan mereka dapat membuat Ibu membantu korban keluar dari jerat kekerasan.
Siklus kekerasan KDRT
Korban yang memilih bertahan dalam KDRT memiliki harapan bahwa keadaan akan membaik suatu hari nanti. Menurut Lenore E. Walker yang merupakan psikolog sekaligus penemu teori sosial siklus kekerasan, KDRT adalah sebuah siklus yang bisa ditebak.
1. Tahap satu
Siklus dimulai dari munculnya masalah dalam hubungan semisal masalah finansial ataupun anak. Pada tahap ini biasanya korban berusaha memperbaiki keadaan dengan cara mengalah atau menuruti pasangannya saja.
2. Tahap dua
Jika usaha korban gagal, berikutnya akan masuk ke tahap kedua, yakni kekerasan. Dalam tahap ini pelaku akan menyiksa dan menindas korban baik secara mental maupun psikis sebagai hukuman atau pelampiasan emosi. Korban mungkin secara tak sadar berpikir bahwa ia memang pantas mendapatkan ganjaran karena gagal menyelesaikan masalah.
3. Tahap tiga (honeymoon phase)
Setelah puas melakukan kekerasan, pelaku menjadi merasa bersalah dan minta maaf pada korban. Pelaku mungkin saja memberi hadiah, pujian, dan rayuan manis serta berjanji untuk tidak mengulang kembali kekerasan yang telah diperbuatnya. Bahkan, tak jarang pelaku malah pura-pura tidak tahu kalau ia sudah melakukan kekerasan. Tahap ini dikenal dengan tahapan “bulan madu”.
4. Tahap empat
Tahap ini juga disebut dengan tahap ketenangan. Biasanya korban dan pelaku akan menjalani hari-hari layaknya pasangan pada umumnya. Mereka menjalani hari-hari seperti biasanya. Makan bersama dan juga berhubungan seks seperti biasa. Namun, pada saat timbul suatu permasalahan, pasangan ini akan masuk lagi ke tahap pertama. Tahap ini akan berjalan lagi dan siklus pun akan berputar tanpa henti.
Alasan bertahan dalam pernikahan
Meski hubungan pernikahan diwarnai oleh tindak kekerasan, Ibu pasti heran apa yang membuat korban betah bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia ini. Inilah berbagai alasan bertahan dalam KDRT yang diungkapkan oleh korban. Apa sajakah?
1. Malu
Alasan bertahan dalam pernikahan meski terjadi kekerasan rumah tangga yang pertama adalah adanya rasa malu. Banyak korban yang bertahan dalam KDRT karena merasa perceraian atau perpisahan akan menjadi aib untuk diri dan keluarganya. Apalagi memikirkan betapa hancur hati orangtua saat mengetahui pasangan yang kejam. Korban merasa malu karena gagal mempertahankan keharmonisan rumah tangganya.
2. Merasa bersalah
Ada juga korban yang merasa bersalah kalau meninggalkan pasangannya. Inilah yang melandasinya untuk tetap bertahan dalam KDRT. Korban merasa bahwa amukan dan kekejaman pasangannya justru disebabkan oleh kesalahan perbuatannya sendiri. Sebagai contoh, seorang istri merasa dirinya pantas dipukuli suami karena ia pulang malam tanpa izin. Meski terlihat tidak masuk akal, pikiran yang salah ini sebenarnya berasal dari mekanisme pertahanan diri korban sehingga ia tidak terlalu stres. Inilah alasan bertahan dalam pernikahan yang sering dipakai korban.
3. Diancam
Diancam adalah alasan mengapa banyak korban memilih bertahan dalam KDRT. Pelaku mungkin mengancam akan membunuh, menyakiti, dan mengganggu kehidupan korban dan keluarga korban bila korban nekat meninggalkan pelaku. Karena takut akan ancaman tersebut, korban jadi sulit berpikir jernih apalagi mencari bantuan. Akibatnya, korban lebih memilih bertahan dalam KDRT.
4. Ketergantungan ekonomi
Banyak korban memilih bertahan dalam KDRT karena ia bergantung secara finansial pada pelaku. Korban takut kalau ia meninggalkan pelaku, ia tak bisa menghidupi dirinya sendiri dan anak-anak.
5. Tekanan sosial atau agama
Wanita yang bertahan dalam KDRT sering mendapat tekanan sosial atau spiritual untuk bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia. Pasalnya, di budaya dan agama tertentu menganggap bahwa perceraian itu adalah sesuatu yang dilarang dan tidak diperbolehkan. Korban yang menelan mentah-mentah nilai ini kemudian percaya bahwa ini adalah suratan takdirnya dan tetap harus bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia.
6. Sudah punya anak
Bertahan dalam pernikahan demi anak adalah alasan yang paling banyak digunakan oleh korban yang bertahan dalam KDRT. Korban tak mau meninggalkan pernikahannya karena memikirkan efek yang ditimbulkan kepada anak akibat dari perceraian dan perpisahan. Namun, benarkah bertahan dalam pernikahan demi anak malah membuat anak bahagia? Pasalnya banyak anak yang tidak bahagia akibat KDRT di dalam keluarga dan malah lebih menginginkan sebaiknya orang tuanya berpisah saja.
7. Depresi
Depresi yang menyerang korban yang bertahan dalam KDRT membuatnya tidak mampu bertindak, membela diri, apalagi memutuskan untuk meninggalkan pasangannya. Pelaku juga bisa mengekang korban sehingga korban tidak bisa mencari bantuan dari keluarga, polisi, atau yayasan pelindung korban kekerasan. Efeknya, korban jadi semakin merasa terisolasi dan tak punya pilihan.
Tidak ada alasan apapun yang dapat menjadi pembenaran bertahan dalam KDRT, termasuk bertahan dalam pernikahan demi anak. Yang pertama harus diselamatkan adalah jiwa korban KDRT terlebih dahulu. Jika Ibu mengetahui ada keluarga atau rekan yang bertahan dalam KDRT, jadilah pundak bagi mereka dan bantu mereka untuk dapat keluar dari siklus KDRT.
Penulis: Zeneth Thobarony
Editor: Dwi Ratih