Menjadi Ayah Rumah Tangga, Kenapa Tidak?
Selain adanya istilah ibu rumah tangga, masyarakat juga harus menganggap normal jika ada ayah rumah tangga atau dikenal dengan stay-at-home-dad.
Peran ayah rumah tangga sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun, tradisi dan dinamika kehidupan modern membuat ayah rumah tangga dianggap negatif dan dipandang sebelah mata. Padahal, menjadi ayah rumah tangga tidak seperti banyak dipersepsikan.
Seperti apakah ayah rumah tangga itu?
Kenapa seorang ayah memutuskan jadi ayah rumah tangga?
Ada beberapa alasan yang membuat sebuah keluarga memutuskan bahwa sang ayah lah yang akan menjadi ayah rumah tangga. Beberapa alasan tersebut adalah:
- Pilihan pribadi. Sang ayah memutuskan untuk menjadi garda terdepan dalam pengasuhan keluarga;
- Menderita penyakit kronis dan ketidakmampuan;
- Kehilangan pekerjaan utama; dan
- Biaya penitipan anak yang mahal serta yang menjadi punggung ekonomi adalah sang istri.
Jika Ibu dan ayah sudah bersepakat dengan peran Ibu sebagai punggung ekonomi dan ayah memiliki peran ayah rumah tangga, ada beberapa kesepakatan dan tantangan yang harus dipahami agar masing-masing menjalankan perannya dengan baik.
Tantangan menjadi ayah rumah tangga
Ayah rumah tangga bukan lah peran yang asing ditemui sekarang. Menurut Healthline, inilah tantangan yang dihadapi oleh ayah rumah tangga.
1. Stigma dan stereotip
Tantangan paling utama menjadi ayah rumah tangga adalah berhadapan dengan stigma dan stereotip. Ini termasuk pada penghakiman orang-orang terkait maskulinitas dan etos kerja.
51% masyarakat Amerika berpikir bahwa anak lebih baik bersama Ibunya di rumah ketimbang sang Ibu bekerja menurut riset yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2013. Hanya 8% yang menjawab bahwa anak dengan ayah rumah tangga lebih baik.
Parah ayah yang memutuskan untuk menjadi ayah rumah tangga akan menghadapi pandangan buruk dan menerima tekanan sosial dari masyarakat. Ini mengakibatkan para ayah berhasrat untuk kembali ke dunia kerja.
Ayah rumah tangga juga kerap dianggap sebagai bentuk kemalasan, kebingungan, atau bahkan kurangnya maskulinitas. Setiap keluarga pasti berbeda keadaanya. Stereotip seperti ini dapat merusak struktur keluarga yang memutuskan menjadikan ayah sebagai ayah rumah tangga.
Ini dapat mengakibatkan ayah merasa malu atau terserang kecemasan. Klasifikasi ini disebabkan oleh miskonsepsi yang sering dilakukan oleh masyarakat.
2. Kurang dukungan
Sayangnya, penghakiman sepihak malah dilakukan oleh pihak-pihak terdekat yang seharusnya menjadi sistem penyokong dalam sebuah keluarga.
Para kakek dan nenek ataupun anggota keluarga lain bisa jadi malah mengungkapkan pandangan negatif terhadap keputusan menjadi ayah sebagai ayah rumah tangga.
Mereka akan merasa tidak nyaman terhadap hasil keputusan yang merupakan kesepakatan Ibu dan ayah bersama. Selain itu, keputusan ini juga dinilai kontra dengan tradisi kultural setempat.
Ini akan mengakibatkan ayah rumah tangga dan anggota keluarga inti lainnya malah kurang mendapat dukungan dari anggota keluarga lainnya, tidak seperti tradisi normal lainnya dimana Ibu yang banyak berada di rumah dan ayah bekerja atau bahkan saat kedua orang tua bekerja.
3. Perasaan terkurung dan terisolasi
Tidak hanya itu, ayah rumah tangga kerap tidak merasa nyaman saat harus berhubungan dengan orang tua lainnya yang notabene adalah Ibu rumah tangga.
Rasanya tidak nyaman saat ayah rumah tangga bersosialisasi dengan Ibu rumah tangga lainnya saat si para anak bermain bersama atau menghadiri aktivitas di playground. Ini membuat para ayah rumah tangga akan merasa kesepian dan sendiri.
Sebenarnya banyak pertemuan, komunitas, bahkan grup edukasi orang tua yang memfasilitasi agar para orang-tua yang banyak dirumah dapat bersosialisasi. Sayangnya, kebanyakan semua grup ini didesain untuk Ibu rumah tangga.
Bagi ayah rumah tangga yang banyak bersama si kecil di rumah, bergabung dengan grup dan komunitas ini tidak nyaman atau bahkan mustahil bagi mereka untuk bergabung.
4. Depresi
Sebuah penelitian yang dimuat dalam jurnal Sex Roles, seorang ayah akan mengalami emosional yang luar biasa saat merasakan perubahan dari yang biasanya rutin menerima gaji menjadi membersamai si kecil saja. Banyak ditemukan gejala depresi yang lebih tinggi pada ayah rumah tangga ketimbang pada Ibu rumah tangga.
5. Keuangan yang bermasalah
Lowongan pekerjaan di Amerika banyak dikaitkan sebagai bertambahnya ayah rumah tangga. Namun, banyak ayah rumah tangga yang ragu apakah mereka masih diterima bekerja saat memutuskan untuk kembali ke dunia kerja nantinya.
Bagi beberapa keluarga, memiliki sumber penghasilan dari satu pihak sangat mengkhawatirkan apakah bisa menjamin seluruh kebutuhan keluarga. Ini menyebabkan para ayah rumah tangga ingin kembali ke dunia kerja sesegera mungkin.
Keuntungan menjadi ayah rumah tangga
Di samping dari tantangan yang dihadapi saat memutuskan menjadi ayah rumah tangga, ada keuntungan yang didapatkan saat menjadi ayah rumah tangga. Apa sajakah?
- Mengeliminasi biaya penitipan anak;
- Kemampuan untuk mengasuh anak dan menentukan bagaimana si kecil harus dilatih dan diajari;
- Selalu ada saat si kecil sakit atau terluka; dan
- Membentuk ikatan bersama si kecil.
Apapun keputusan Ibu bersama pasangan, itu adalah yang terbaik bagi keluarga. Meski pilihan terbaik adalah keputusan adanya peran ayah rumah tangga, jangan jadikan pandangan negatif dari sekitar menjadi batu halangan Ibu dan ayah karena tiap keluarga unik dan tidak dapat disamakan.
Editor: Dwi Ratih