Pahami Pentingnya Membangun Gender Equity Dalam Rumah Tangga
Gender equity atau kesetaraan gender dalam keluarga, ternyata masih perlu mendapat perhatian khusus dari semua kalangan. Tidak hanya di Indonesia, permasalahan keadilan gender dalam keluarga juga masih terjadi hampir di seluruh belahan dunia.
Terbukti, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Motherly, sebanyak 58% atau 10.000 Ibu, mengaku merasa perlu bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan rumah tangga. Lebih lanjut, sebanyak 51% Ibu bekerja yang disurvei pun juga merasa bertanggung jawab untuk melakukan seluruh pekerjaan domestik tersebut.
Bahkan bagi Ibu bekerja yang berpenghasilan lebih tinggi dari suami, mereka pun masih melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga lainnya. Artinya, baik Ibu rumah tangga atau Ibu bekerja, keduanya masih menghadapi masalah serius terkait keadilan gender equity dalam rumah tangga.
Akibat pengaruh budaya patriarki
Pengaruh budaya patriarki, disebut-sebut masih menjadi faktor utama penyebab munculnya permasalahan keadilan gender dalam rumah tangga. Dikutip dari Very Well Mind, permasalahan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan, juga sangat memengaruhi sikap dan keyakinan yang mengarahkan perilaku 'sesuai gender' tersebut.
Misalnya, seseorang yang hidup dalam budaya patriarki mungkin percaya bahwa, peran perempuan adalah mengurus pekerjaan rumah tangga, mengasuh, dan merawat anak. Sementara itu, ia meyakini bahwa, peran laki-laki adalah harus bekerja, mencari nafkah, dan bergelut di berbagai sektor industri.
Melalui pemahaman inilah, kemudian akan terbentuk skema terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Dalam keadaan demikian, gender equity dalam berumah tangga semakin sulit untuk diwujudkan.
Terlebih jika masing-masing individu, suami dan istri, menolak untuk menerima kesetaraan pekerjaan rumah tangga. Biasanya dilakukan dengan dalih keyakinan pada aturan agama maupun budaya di sekitarnya.
Untuk itu, dibutuhkan kesadaran dan pola pikir yang lebih terbuka dalam mewujudkan gender equity dalam berumah tangga. Apalagi, masalah gender equity di zaman sekarang dirasa memang menjadi masalah yang cukup serius.
Peran Ibu yang sering disepelekan
Perlu diketahui, secara sosiologis pekerjaan rumah tangga tergolong sebagai pekerjaan fisik karena bisa dilihat. Mulai dari memasak, menyapu, mengepel, mencuci baju, sampai menjemput anak-anak di sekolah.
Ironisnya, apabila dikerjakan oleh Ibu seringkali daftar panjang pekerjaan rumah tangga tersebut menjadi seolah tidak bisa dilihat. Bahkan oleh diri Ibu sendiri. Wah, siapa yang pernah merasakan hal ini juga?
Padahal menjalankan peran Ibu bukan hal yang mudah. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan Ibu seperti tidak ada habisnya.
Bahkan tidak ada hari libur, tidak ada cuti, dan tidak ada gaji juga uang lembur pada pekerjaan yang dilakukan seorang Ibu. Minimnya kesadaran tentang gender equity dalam berumah tangga, tentu akan berakibat fatal bagi kesehatan fisik dan psikis seorang Ibu.
Di samping itu, laki-laki atau para suami yang menolak untuk membangun gender equity di dalam rumah tangga, relatif lebih mudah bersikap arogan dan semena-mena. Terlebih, jika sang istri tidak memiliki penghasilannya sendiri.
Nah, kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan bisa mengakibatkan rusaknya keharmonisan dalam rumah tangga. Tentu saja hal ini sangat tidak diharapkan oleh Ibu, bukan?
Tips membangun gender equity dalam rumah tangga
Di Indonesia, gender equity dalam rumah tangga mulai banyak digaungkan. Sayangnya, masih banyak pasangan suami istri, yang belum benar-benar bisa membangun dan menerapkan gender equity di dalam hubungan mereka.
Berdasarkan data Global Gender Gap Report tahun 2022, Indonesia masih berada di posisi ke-92 dari 146 negara di dunia. Peringkat tersebut menunjukkan bahwa, kesetaraan gender di kalangan masyarakat tanah air masih rendah.
Beberapa tips membangun gender equity dalam rumah tangga berikut ini, diharapkan dapat membantu Ibu dan Ayah menjaga keharmonisan hubungan.
1. Komunikasikan dengan baik
Langkah pertama yang bisa dilakukan yaitu, dengan mengkomunikasikan perihal gender equity dengan pasangan maupun anak-anak di rumah. Dengan membicarakan masalah kesetaraan tersebut, maka pola pikir dan kesadaran seluruh anggota keluarga bisa dibangun dengan lebih baik.
2. Membagi pekerjaan rumah
Selanjutnya, jangan pernah ragu untuk berbagi tugas pekerjaan rumah tangga. Mulai dari memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, dan lainnya.
Libatkan anak-anak untuk ikut serta dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Berikan kesadaran tentang tanggung jawab bahwa pekerjaan rumah tidak hanya tugas Ibu saja.
3. Berani melawan stereotip
Pada dasarnya gender bukan tentang perbedaan biologis antara jenis kelamin, melainkan konstruksi sosial yang mengakibatkan orang mendefinisikan apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan. Stereotip ini sering kali mengharapkan seorang individu untuk menyesuaikan diri dengan peran dan harapan gender yang spesifik, sehingga membatasi dari nilai-nilai sosial yang diberlakukan oleh masyarakat.
4. Hindari perasaan rendah diri
Rasa rendah diri seringkali membuat Ibu atau perempuan sulit menghindari stereotip yang dibangun oleh masyarakat. Tak heran, jika masih banyak pujian terhadap suami yang pulang bekerja, masih mau membantu istri mencuci piring.
Padahal istilah "membantu" tidaklah tepat jika gender equity diterapkan. Karena mencuci piring tidak harus dilakukan oleh istri. Mencuci piring adalah basic life skill yang bisa dilakukan siapa saja asal ada kemauan.
Gender equity bukan lagi hal yang tabu untuk dibicarakan dan diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Butuh kesadaran dari berbagai pihak, agar gender equity benar-benar bisa diterapkan.
Editor: Aprilia