Panduan Donor ASI Menurut IDAI. Harus Penuhi Syarat-syarat Ini!
Belakangan ini, mungkin banyak dari kita yang sering melihat unggahan seseorang di media sosial yang mencari donor ASI untuk bayi. Bayi yang malang itu terpaksa harus dicarikan donor ASI karena Ibunya meninggal dunia akibat Covid-19, tak lama setelah ia lahir. Kisah semacam ini jadi semakin sering dijumpai seiring dengan meningkatnya kasus kematian akibat virus corona, terlebih saat pandemi sedang berada di fase second wave kemarin, hari-hari seolah dipenuhi perasaan duka karena berita kematian sudah jadi semacam hal biasa.
Kasus orang tua meninggal akibat Covid-19 bahkan sampai jadi perhatian banyak masyarakat secara luas. Sebab, tingginya angka kematian itu membuat banyak anak di Indonesia mendadak jadi anak yatim, piatu, atau bahkan yatim piatu! Tidak sedikit dari mereka yang ditinggal orang tuanya dalam kurun waktu yang berdekatan, malah ada juga yang keduanya meninggal di hari yang sama.
Data dari Satgas Penanganan Covid-19 per 20 Juli 2021 menyebutkan ada lebih dari 11 ribu anak di Indonesia yang orang tuanya meninggal karena Covid-19, di antaranya juga termasuk mereka yang masih bayi atau baru lahir.
Tren Donor ASI
Donor ASI sendiri sebenarnya bukanlah “tren” yang baru muncul di tengah situasi pandemi. Sebelum wabah Covid-19, donor ASI sudah sering dilakukan oleh sesama Ibu. Biasanya donor ASI dilakukan karena ada kondisi gawat, misalnya saat Ibu terpaksa dirawat di rumah sakit sesaat setelah melahirkan, sehingga tidak memungkinkan baginya menyusui atau memompa ASI untuk anaknya.
Atau bisa juga karena sebaliknya, anaknya yang baru lahir harus dirawat karena kondisi tertentu, sedangkan ASI Ibunya sendiri masih belum lancar.
Donor ASI menjadi semakin populer karena sekarang juga sudah banyak akun-akun di media sosial yang menghubungkan pendonor dengan orang yang butuh donor. Lewat akun itu, siapapun yang butuh donor ASI bisa dengan mudah menemukan pendonor sesuai yang dipersyaratkan. Namun, sejatinya, kebanyakan donor ASI dilakukan tanpa memenuhi panduan yang sudah dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Ya, donor ASI tidak bisa dilakukan sembarangan dan harus melalui sejumlah prosedur supaya ASI dari donor benar-benar layak dikonsumsi bayi. Selain itu, juga untuk memastikan si pendonor benar-benar dalam kondisi sehat, karena hal itu bisa memengaruhi kualitas ASI yang ia produksi.
Syarat Donor ASI IDAI
Untuk benar-benar memastikan keberhasilan donor ASI, IDAI merilis syarat-syarat yang harus dipenuhi jika ingin melakukan donor ASI. Berikut ini ketentuan donor ASI seperti dilansir dari laman IDAI:
- Pendonor memiliki bayi berusia kurang dari 6 bulan. Setelah 6 bulan, Ibu menyusui tidak disarankan melakukan donor ASI karena ASI yang dihasilkan mulai berkurang, dan ASI dari Ibu yang bayinya di bawah 6 bulan lebih mendekati kebutuhan ASI bayi baru lahir
- Dinyatakan sehat (yang dinyatakan dengan melakukan tes darah) dan tidak mempunyai kontra indikasi menyusui
- Mampu memproduksi ASI yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bayinya dan memutuskan untuk mendonasikan ASI karena produksinya berlebih. Ibu pendonor setidaknya bisa menghasilkan 2-3 liter ASI per hari
- Tidak menerima transfusi darah atau transplantasi organ atau jaringan dalam 12 bulan terakhir
- Tidak sedang mengonsumsi obat termasuk insulin, hormon tiroid, atau produk-produk yang bisa mengganggu kesehatan bayi. Untuk obat atau suplemen herbal harus dilihat terlebih dahulu pengaruhnya terhadap ASI
- Tidak ada riwayat penyakit menular seperti hepatitis, HIV, atau human T-lymphotropic virus (HTLV) 2
- Tidak memiliki pasangan seksual yang mengidap atau berisiko mengidap HIV, HTLV 2, hepatitis B/C (termasuk penderita hemofilia yang rutin menerima komponen darah), menggunakan obat-obatan ilegal, perokok, dan minum minuman keras
Syarat Donor ASI Sesuai Peraturan Pemerintah
Peraturan mengenai donor ASI juga disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Ini sederet syaratnya:
- Donor ASI merupakan permintaan ibu kandung atau keluarga bayi yang bersangkutan;
- Identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh ibu atau keluarga dari bayi penerima ASI;
- Pendonor ASI telah menyatakan persetujuannya setelah mengetahui identitas bayi yang diberi ASI;
- Pendonor ASI dalam kondisi kesehatan yang baik dan tidak mempunyai indikasi medis menurut dokter; dan
- ASI tidak boleh diperjualbelikan.
Hukum Islam Donor ASI
Donor ASI bahkan sudah dibahas di Al-Quran yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 233. Tapi dalam ayat tersebut tidak secara langsung menyebut istilah “donor ASI”, melainkan dijelaskan lewat kalimat “...menyusukan anakmu kepada orang lain…”. Di zaman Nabi Muhammad pun “donor ASI” sudah kerap dilakukan, meskipun praktiknya memang menyusu langsung. Rasul sendiri juga disusui oleh Halimah yang bukan merupakan Ibu kandung Rasulullah. Hal ini membuat hukum Islam donor ASI secara umum halal dilakukan.
Tapi tetap ada yang mesti jadi pertimbangan ya, Bu. Islam pun mensyaratkan sejumlah hal yang harus dipenuhi bagi Ibu pendonor, di antaranya:
- Ibu susu seorang muslimah, sehat, serta akhlak dan ibadahnya baik;
- Bayi si Ibu susu tidak kekurangan ASI sedikitpun;
- Kedua belah pihak (pendonor dan yang didonor) mengetahui identitas masing-masing;
- Orang tua dan keluarga bayi mengetahui kalau bayinya menerima donor ASI; dan
- Anak dari Ibu susu dan anak yang mendapat donor akan menjadi mahram (saudara sepersusuan) sehingga diharamkan menikah di masa depan.
Panduan Donor ASI Menurut IDAI
Selain syarat-syarat donor ASI, IDAI juga merilis panduan atau tata cara donor ASI agar ASI yang dikonsumsi bayi betul-betul aman. Hal ini karena donor ASI sebenarnya tidak bisa dilakukan sembarangan, di mana prosedurnya yang kebanyakan dipraktikkan di masyarakat hanyalah skrining lisan atau tanya jawab identitas dan kesehatan secara umum, antara penerima donor dengan pendonor, yang kemudian dilanjutkan dengan serah terima ASI. Padahal, tata cara donor ASI menurut IDAI tidak hanya sebatas itu. Memang bagaimana panduannya?
1. Proses skrining identitas
Proses skrining adalah tahap pertama yang perlu dilakukan. Kedua belah pihak harus saling mengetahui identitas masing-masing, mulai dari nama, domisili, sampai agama, mengingat jika penerima donor beragama Islam, Ibu pendonor pun harus beragama Islam. Dalam Islam, menerima donor dari non muslim hukumnya makruh, artinya jika tidak benar-benar mendesak, tidak disarankan. Proses ini juga berguna untuk mengurangi kemungkinan anak-anak sepersusuan yang berbeda jenis kelamin, jatuh cinta di masa depan. Ini karena secara Islam mereka telah menjadi mahram yang mana haram hukumnya jika mereka menikah.
2. Proses skrining kesehatan
Tata cara donor ASI selanjutnya adalah skrining kesehatan. Tahap inilah yang masih jarang dilakukan di Indonesia. Karena ASI dapat menularkan sejumlah penyakit, maka sebenarnya penting untuk Ibu donor melakukan skrining atau tes kesehatan yang meliputi tes HIV, HTLV, sifilis, hepatitis B, hepatitis C, dan herpes. Bila ada keraguan terhadap status pendonor, tes bahkan disarankan untuk dilakukan per 3 bulan. Tahap ini semakin wajib hukumnya bila anak yang akan menerima donor ASI lahir prematur. Bayi yang lahir prematur akan lebih rentan terinfeksi virus-virus berbahaya yang bisa dibawa dari ASI pendonor.
3. Proses donor ASI atau serah terima ASI
Jika sudah lolos dua tahap di atas, proses selanjutnya adalah serah terima ASI. Bagi Ibu pendonor, pastikan untuk selalu menjaga kebersihan selama proses memompa ASI. Setidaknya, perhatikan beberapa hal di bawah ini, ya:
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun selama minimal 20 detik, sebelum memerah ASI. Setelah itu, keringkan dengan handuk atau kain bersih
- Lakukan proses pumping dengan menggunakan alat yang sudah dibersihkan dan disterilisasi. Jika memakai pompa manual maupun elektrik, pastikan setiap bagiannya mudah dibersihkan dan tidak mudah terkontaminasi. Lakukan proses ini di tempat yang juga bersih
- Tempatkan ASI di botol kaca atau di kantong khusus ASI yang banyak dijual di toko-toko perlengkapan bayi. Pastikan juga botol atau kantong tersebut ditutup rapat
4. Proses pasteurisasi
Demi meminimalisir terjadinya kontaminasi atau penularan penyakit dari ASI donor, sebaiknya dilakukan metode pemanasan yang bisa membunuh sejumlah virus agar ASI yang akan dikonsumsi bayi benar-benar aman. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh pihak yang menerima donor, seperti yang dilansir dari laman Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), di antaranya:
- Pasteurisasi holder
Proses ini dilakukan dengan menaruh ASI di wadah kaca tertutup dan dipanaskan di suhu 62,5 derajat celcius selama 30 menit. Cara ini biasanya dilakukan di Bank ASI, karena butuh pengukur suhu dan waktu yang benar-benar akurat.
- Flash heating
Cara ini dilakukan dengan menaruh ASI sebanyak 50 ml ke dalam botol kaca atau botol selai yang volumenya sekitar 450 ml. Lalu botol tersebut dimasukkan (dalam keadaan terbuka) ke dalam panci aluminium berukuran 1 liter yang diisi 450 ml air. Setelah itu, panaskan panci di atas kompor sampai air di dalamnya mendidih, kemudian matikan. Selanjutnya angkat botol ASI dan diamkan sampai suhunya benar-benar dingin dan ASI siap diminum bayi.
- Pasteurisasi pretoria
Masukkan air sebanyak 450 ml ke dalam panci berukuran 1 liter, lalu panaskan hingga mendidih, lalu matikan kompor. Selanjutnya letakkan botol kaca terbuka yang berisi ASI sebanyak 50 ml ke dalam panci tersebut selama 20 menit. Kemudian angkat dan diamkan sampai suhu ASI siap diminum bayi.
Bahaya dari Donor ASI Sembarangan
Bagi banyak orang, donor ASI mungkin terlihat seperti praktik simpel yang tidak butuh proses njelimet karena hanya membutuhkan persetujuan kedua belah pihak saja. Selama ada permintaan dari keluarga, dan Ibu pendonor setuju memberikan ASInya, donor ASI bisa dilakukan.
Tapi, sebenarnya, donor ASI tidak bisa dilakukan sembarangan, lo, mengingat ada risiko kesehatan yang bisa dialami bayi penerima donor ASI. ASI rentan terkontaminasi virus, entah karena Ibu pendonor menderita penyakit tertentu, atau karena proses memerah ASI yang tidak higienis. Proses serah terima ASI donor dan media penyimpanannya juga sangat memengaruhi. Beberapa risiko kesehatan yang bisa dialami bayi penerima donor adalah:
- Terpapar penyakit menular seperti HIV dan lain-lain;
- Terkontaminasi zat-zat kimia dari obat-obatan yang dikonsumsi Ibu pendonor; dan
- Tertular bakteri atau virus dari proses pumping dan penyimpanan yang salah.
Dilema Donor ASI
Praktik donor ASI di Indonesia ini sebenarnya memicu dilema, lo. Bagaimana tidak, donor ASI menjadi salah satu pilihan terbaik jika Ibu bayi memang memiliki kendala sehingga tidak memungkinkan menyusui bayinya. Donor ASI bisa menjadi “penyelamat” dari kemungkinan bayi mengonsumsi susu formula. Karena bagaimanapun, ASI adalah makanan terbaik bagi bayi. Kualitas ASI pendonor dengan ASI dari Ibu kandung sendiri tidaklah berbeda. ASI tetap menjadi cairan yang mengandung zat-zat hidup yang sangat dibutuhkan bayi.
Namun, harus diakui bahwa praktik donor ASI di Indonesia ini belum memiliki standar yang jelas. Hal ini membuat donor ASI lebih sering dilakukan sendiri antar keluarga. Kalau butuh donor, ya tinggal broadcast pesan, atau lebih gampang lagi mengunggahnya ke media sosial. Jika ada yang memenuhi syarat-syaratnya, Ibu pendonor bisa langsung memberikan ASInya kepada yang membutuhkan.
Proses seperti ini memang memudahkan, terutama untuk kondisi-kondisi mendesak di mana bayi butuh ASI segera. Tapi di sisi lain, kebanyakan proses donor ASI ini mengabaikan skrining kesehatan yang sebenarnya perlu dilakukan Ibu pendonor. Mungkin selain ribet, skrining kesehatan seperti cek darah biasanya butuh biaya yang tidak sedikit, sehingga bisa memberatkan pihak yang diharuskan menanggungnya.
Semoga ke depannya, Indonesia bisa segera memiliki bank ASI yang bisa merekam identitas dan riwayat kesehatan setiap Ibu pendonor, sehingga ASI yang didonorkan pun lebih terjamin kualitasnya dan lebih aman dikonsumsi bayi yang membutuhkan.
Editor: Dwi Ratih