Serba-Serbi Standar Ganda Dalam Peran Suami Istri, Sudah Tahu Belum?
Dalam sebuah pernikahan, peran suami istri sering kali melebur ketika dihadapkan pada situasi-situasi tertentu. Mungkin Ibu pernah mengalami, saat suami melakukan “tugas” yang biasanya lebih sering dikerjakan istri, seperti menemani anak jalan-jalan atau sekadar menyapu halaman depan rumah, tiba-tiba semua orang memuji.
“Wah, suami idaman banget, nih”
“Aduh, istrinya beruntung banget, deh!”
Sudah pasti senang kalau suami mau berbagi peran pengasuhan atau ikut beberes rumah. Namun, tidak bisa dipungkiri juga kalau rasanya kesel, deh kalau ada komentar standar ganda. Padahal, itu kan harusnya sudah jadi bare minimum seorang suami!
Nah, sebenarnya, gimana cara menyikapi standar ganda dalam peran suami istri? Apakah memang harus didiamkan saja atau harus ambil tindakan lain, ya?
Apa itu standar ganda?
Menurut Cambridge Dictionary, double standard atau dalam bahasa Indonesia standar ganda berarti aturan yang diterapkan secara tidak adil, kepada sekelompok orang yang berbeda.
Contoh sederhananya, dalam kehidupan sehari-hari adalah saat tukang kritik yang hobinya mengomentari semua orang, justru tidak terima saat ia sendiri dikritik.
Standar ganda dalam peran suami istri
Standar ganda berhubungan erat dengan posisi suami sebagai laki-laki, dan istri sebagai perempuan. Ada banyak sekali hal-hal terkait posisi laki-laki dan perempuan yang sudah sangat dinormalisasikan, tapi sebenarnya sudah masuk dalam standar ganda.
Misalnya, wajar bagi perempuan untuk lebih mudah menangis, tapi kalau laki-laki menangis, maka ia dibilang cengeng. Perempuan yang nggak bisa tahan marah itu nggak wajar, tapi lumrah kalau laki-laki gampang marah.
Saat sudah menjalin hubungan suami istri, muncul standar ganda lain. Contohnya seperti yang sudah disebutkan pada bagian awal artikel ini.
Sayangnya, standar ganda ini nggak cuma berasal dari pihak luar. Saking sudah sangat dinormalisasikan, banyak standar ganda yang menjadi stereotip. Hasilnya pun tanpa sadar standar tersebut dianggap sebagai sesuatu yang memang seharusnya terjadi.
Kenapa bisa ada standar ganda antara laki-laki dan perempuan?
Mengutip Very Well Mind, laki-laki dan perempuan sebagai gender terbangun oleh aspek sosial dan budaya. Gender bukan hanya soal pembeda identitas laki-laki dan perempuan.
Gender berhubungan erat dengan konstruksi sosial. Maka kemudian, gender dekat dengan maskulinitas dan femininitas beserta stereotipnya. Laki-laki harus bekerja, perempuan harus mengurus rumah. Biru warna laki-laki, pink warna perempuan, dan sebagainya.
Konstruksi sosial seperti inilah yang kemudian membagi peran suami istri. Dalam suatu keluarga, suami punya peran sebagai pencari nafkah, sementara istri berperan sebagai pengurus rumah tangga, dan pengasuhan anak pun biasanya menjadi peran istri.
Dari konstruksi tersebut, bila kemudian suami melakukan hal-hal di luar perannya sebagai pencari nafkah, seperti beberes rumah atau mengurus anak, kebanyakan masyarakat akan menganggapnya spesial. Di sinilah standar ganda peran suami istri biasanya terjadi.
Alih-alih mendapat pujian seperti si suami, istri yang mengerjakan peran pencari nafkah justru sering mendapat cibiran. Seorang istri yang memilih untuk berkarier sering kali dianggap akan menelantarkan urusan rumah tangga, serta tidak bisa mengurus suami dan anak-anaknya.
Mencoba lepas dari standar ganda peran suami istri
Tidak mudah memang untuk lepas dari sesuatu yang sudah sangat dianggap wajar. Lebih-lebih diamini dan diyakini oleh banyak orang.
Bahkan mungkin dalam diri sendiri sudah menerima kondisi tersebut tanpa banyak disadari. Namun, standar ganda dalam peran suami istri juga bagai duri dalam daging.
Jika tidak diuraikan dan dibicarakan baik-baik, bisa menimbulkan rasa iri dan kesal terhadap pasangan. Misalnya, setelah mendengar suami mendapat pujian karena mau beberes rumah, istri merasa sedih karena selama ia membereskan rumah, tidak pernah ada yang memujinya.
Mengutip laman Psychology Today, komunikasi menjadi kunci utama untuk mengatasi masalah tersebut. Bicaralah secara jujur kepada pasangan dari hati ke hati soal apa yang sedang dirasakan. Begitu pun saat pasangan berbicara, selalu dengarkan dengan seksama.
Cobalah untuk selalu melihat dari sudut pandang pasangan. Jangan buru-buru mengambil tindakan hanya dengan standar dan sudut pandang sendiri.
Katakanlah saat suami pulang kerja, rumah dalam kondisi berantakan. Alih-alih langsung memarahi istri, coba pahami posisinya. Barangkali istri nggak sempat merapikan rumah, karena si kecil terus rewel atau ada banyak hal lain yang harus dikerjakan.
Memang kenyataannya tidak mudah dijalankan, namun bukan berarti mustahil untuk berubah. Bisa mulai dari hal-hal kecil dulu, kok. Contohnya, memberikan apresiasi kepada pasangan setiap hari. Nggak perlu dengan kado mewah, ucapan terima kasih yang tulus pun cukup.
Ingat kembali niat menikah yang sudah mantap diucapkan sejak awal. Saat menikah, dua kehidupan yang berbeda menjadi satu. Nggak ada lagi masalah aku, masalah kamu, semuanya menjadi masalah bersama, yang juga harus dipecahkan bersama-sama.
Berangkat dari mindset seperti itu, tentu akan lebih mudah untuk membagi peran suami istri secara adil dan tidak memberatkan satu pihak saja. Yes! pembahasan mengenai standar ganda dalam peran suami istri, mungkin nggak mudah untuk diubah.
Namun semuanya bisa dimulai dengan langkah-langkah kecil dari diri sendiri. Masih sama seperti masalah rumah tangga lainnya, komunikasi pun menjadi kunci untuk mengatasi standar ganda dalam peran suami istri. Semoga selalu kompak dengan pasangan ya, Bu!
Editor: Aprilia