Ibupedia

Stigma Broken Home, Bernarkah Selalu Buruk?

Stigma Broken Home, Bernarkah Selalu Buruk?
Stigma Broken Home, Bernarkah Selalu Buruk?

Memutuskan untuk berpisah dan ‘mewarisi’ anak-anak dengan label broken home children bukan sebuah pilihan yang akan diambil orang tua bila masih bisa diperjuangkan. Namun pada kenyataannya, kehidupan pernikahan memang tidak selalu mulus. Ada banyak hal terjadi mulai dari perselisihan, perbedaan pendapat, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan perselingkuhan, yang membuat orang tua mengambil jalan perpisahan. Tidak mudah memang. Karena hubungan yang dipertaruhkan tidak hanya antara suami dan istri, melainkan juga melibatkan anak-anak.

Anak-anak yang berasal dari keluarga broken home kerapkali mendapat stigma negatif karena orang tuanya berpisah. Hal ini akan semakin membebani anak-anak selain perpisahan itu sendiri. Meski orang tuanya yang berpisah, anak-anaklah yang mendapatkan pengaruh besar. Karena mereka cenderung tidak siap megetahui fakta baru yang terjadi antara Ibu dan ayahnya.

Apa sebenarnya Broken Home itu?

Broken home sendiri diartikan sebagai rumah tangga yang rusak akibat perpisahan, apapun latar belakang perpisahan tersebut. Arti broken home bagi anak tentu lebih mendalam. Bagi mereka arti broken home adalah orang tuanya tidak lagi bersama, saling bermusuhan, saling bertengkar, dan keluarganya tidak lagi seperti sebelumnya. Dibalik itu, anak dapat menerjemahkan lebih jauh lagi, seperti perpisahan orang tua adalah salah mereka, Ayah dan Ibu tidak menyayangi mereka, atau mereka akan kehilangan salah satu orang tuanya.

Ya, serumit itulah arti broken home bagi anak-anak. Jauh melampaui batas arti ‘orang tua yang berpisah’. Inilah yang menggiring banyaknya efek broken home pada anak baik mental maupun fisik.

Dampak Broken Home Pada Anak


1. Broken Home meninggalkan luka abadi

Rasa trauma dakan kejadian buruk perpisahan orang tua akan selalu ada di benak anak. Apalagi jika konflik yang terjadi antara orang tua dilakukan di hadapan anak-anak. Belum lagi rasa kecewa yang dirasakan anak terhadap orang tuanya. Mereka akan bertanya dalam diam, "kenapa Ayah dan Ibu bertengkar seperti itu? Kenapa Ayah tidak menyayangi Ibu? Kenapa Ibu tidak menyayangi Ayah?"

Gambaran anak tentang keluarga adalah sesuatu yang utuh dan tidak pernah hancur. Sehingga ketika ada sebuah konflik, ketakutan menyerang mereka. Ketakutan ini semakin memuncak ketika orang tua memutuskan berpisah. Mereka takut ketidakutuhan ini akan mempengaruhi rasa aman mereka. Mereka tidak lagi bisa merasa utuh karena orang tuanya berpisah.

Luka yang dialami anak tentang perceraian orang tuanya akan terus membekas sampai dewasa. Mereka akan selalu ingat dan bahkan dapat menjadi inner child yang belum tentu mereka dapat berdamai dengannya.

2. Broken home memengaruhi fisik dan mental anak

Kondisi keluarga yang tidak utuh membuat anak mengalami gangguan pada fisik dan mentalnya. Laman Very Well Family menyebutkan tentang sebuah studi di tahun 2011 yang menemukan bahwa anak-anak yang tinggal satu rumah dengan orang tua kandung lengkap memiliki fisik lebih sehat daripada mereka yang tinggal hanya dengan salah satu orang tua kandung atau dengan orang tua sambung.

Hal ini selaras dengan adanya pengaruh rasa stres yang dialami anak tentang keluarganya yang broken home. Stres memicu tubuh menjadi lebih lemah dan imunitas mudah menurun. Sehingga masalah kesehatan fisik menjadi hal yang sering ditemukan pada anak-anak yang merasa keluarganya tidak lagi utuh.

Laman yang sama juga menegaskan tentang kesehatan mental anak dari keluarga broken home. Anak-anak ini memiliki kemungkinan untuk bunuh diri, terlibat narkoba dan minuman keras, pergaulan bebas, atau senang mencari perhatian dibandingkan mereka yang keluarganya utuh. Bila tidak mengalami hal-hal tersebut, anak-anak ini cenderung memiliki kepribadian tertutup, sering stres dan sampai dewasa lebih membutuhkan bantuan psikolog.

Adakah efek positif dari broken home?


Tentu ada. Karena tidak sedikit anak-anak dari keluarga broken home yang berhasil mengalahkan kesedihannya dengan tetap berada pada lingkungan positif. Apalagi jika perpisahan kedua orang tuanya ternyata malah membawa kebaikan. Misalnya pada masalah kekerasan dalam rumah tangga atau perselingkuhan. Anak akan merasa bahwa keluarganya yang broken home lebih baik karena tidak ada lagi kekerasan atau tidak ada lagi yang saling dikecewakan.

Selain itu, menurut laman Good Therapy, anak-anak yang orang tuanya berpisah memiliki rasa empati lebih besar terhadap sesama. Mereka seolah lebih memahami orang lain yang dalam masa kesulitan, karena dirinya juga pernah merasa kesulitan dan mereka bisa menempatkan diri untuk membantu orang lain semampu mereka.

Manfaat lainnya terlihat pada anak-anak yang harus membagi waktu diantara kedua orang tua. Anak-anak ini akan memiliki waktu yang lebih berkualitas dengan setiap orang tuanya. Sehingga membuat anak lebih memahami dan menyayangi orang tuanya.

Laman yang sama juga menyebutkan bahwa anak-anak dari broken home family berkeinginan kuat untuk tidak mengulang situasi yang sama bagi kehidupan pernikahannya sendiri. Mereka akan memberikan usaha lebih agar hubungannya stabil dan lebih sehat supaya konflik serupa tidak terulang.

Apa yang bisa orang tua lakukan jika sudah terlanjur broken home?

  1. Pastikan anak tidak mengalami perubahan besar dalam rutinitasnya. Orang tuanya berpisah, tapi apa yang biasa mereka lakukan bersama masing-masing orang tua tetap dilakukan. Agar mereka tetap merasa dicintai secara utuh dan aman.
  2. Prioritaskan hubungan dengan anak. Keluarganya tidak lagi utuh, jadi tentu ada bagian di hatinya yang tercabik. Maka hubungan anak dengan setiap orang tua haruslah berkualitas.
  3. Komunikasi adalah kunci. Meski sudah berpisah, orang tua diharapkan tetap baik mengkomunikasikan segala hal tentang anak. Hindari saling menyalahkan perihal tanggung jawab, apalagi di hadapan anak.
  4. Dampingi anak tidak hanya secara fisik, tapi juga secara psikis. Stigma dari luar sudah menambah beban anak, sehingga penting bagi orang tua untuk tetap hadir secara hati bagi anak agar anak tetap merasa dicintai dan tidak kekurangan cinta.
  5. Bantu dan dukung anak menemukan kebahagiaannya. Membuat anak sibuk dengan hal yang mereka sukai dapat membantu anak tidak punya waktu untuk bersedih.
  6. Temui ahli bila terjadi masalah emosi.

Anak broken home sama dengan anak lainnya. Mereka bisa tetap menjalani kehidupan normal. Karena kepercayaan dirinya ada pada hubungan anak dengan orang tua, bukan antar orang tua. Kebahagiannya tidak hanya pada orang tuanya yang selalu bersama, tetapi ada pada rutinitas dunianya tidak jauh berbeda setelah perpisahan. Broken home hanya sebuah istilah. Realitanya tentu bisa diubah.

Penulis: Mega Pratidina Putri
Editor: Dwi Ratih

Follow Ibupedia Instagram