Ibupedia

Waspada, 5 Asumsi Pribadi yang Justru Jadi Perusak Rumah Tangga!

Waspada, 5 Asumsi Pribadi yang Justru Jadi Perusak Rumah Tangga!
Waspada, 5 Asumsi Pribadi yang Justru Jadi Perusak Rumah Tangga!

Pernikahan hanyalah awal dari sebuah tujuan yang panjang, yaitu hidup berdampingan dengan pasangan selamanya. Inilah yang harus menjadi fokus dalam kehidupan berumah tangga, bagaimana cara agar pernikahan langgeng sampai maut memisahkan. 

Terkadang, setelah menikah, banyak asumsi-asumsi pribadi yang bisa jadi perusak rumah tangga. Akibatnya, komunikasi antara Ibu dan Ayah jadi kacau! Apa saja asumsi yang bisa jadi perusak rumah tangga di antara Ibu dan Ayah? Simak kelanjutannya berikut ini.

1. “Selama tidak selingkuh, KDRT, atau segala macam, maka pernikahanku baik-baik saja”


Tidak berselingkuh dan tidak melakukan KDRT memang sudah seharusnya dilakukan dalam pernikahan. Namun, jangan terlalu fokus pada dua hal itu saja. Ada banyak faktor perusak rumah tangga lain yang harus Ibu perhatikan.

Misalnya, kurang mengapresiasi, sering menghindari masalah, atau membiarkan masalah berlarut-larut, bisa menghancurkan keharmonisan rumah tangga, lho. Kebiasaan seperti ini lama-lama dapat membuat hubungan antara Ibu dan Ayah menjadi semakin renggang. Maka dari itu, Ibu harus segera memperbaikinya agar tak berlarut-larut.

2. “Tidak perlu diucapkan, dia pasti tahu kalau aku mencintainya”

Terkadang, beberapa orang berasumsi bahwa mengucapkan “Aku mencintaimu” pada pasangan adalah hal yang tidak penting karena toh sudah menikah. Asumsi ini salah besar dan bisa jadi bibit perusak rumah tangga. 

Setelah menikah pun, pasangan tetap butuh diyakinkan bahwa belahan jiwanya masih tetap mencintai dan menyayanginya. Kalimat sederhana seperti itu dapat menjadi validasi bahwa kasih sayang di antara keduanya itu masih ada. 

Bukankah dengan mendengar kalimat itu dari pasangan, hati menjadi lebih tentram? Maka dari itu, pastikan Ayah mengetahui bahwa Ibu mencintainya, begitu juga sebaliknya.

3. “Jodoh itu karakternya pasti sama”

Asumsi di atas juga salah kaprah, ya, Ibu. Semirip-miripnya karakter Ibu dengan Ayah, tetap saja Ibu dan Ayah adalah dua manusia yang berbeda. Setiap manusia terlahir dan tumbuh dengan cara yang berbeda. 

Karakter Ibu dan Ayah juga terbentuk dari dua keluarga dan lingkungan yang berbeda. Maka dari itu, bahasa cinta dan kebutuhan emosional tiap manusia tak ada yang akan persis sama.

Ibu sebaiknya menghindari asumsi bahwa Ayah pasti akan selalu mengerti keinginan Ibu. Ini bisa menjadi awal perusak rumah tangga di antara Ibu dan Ayah. 

Hindari menjadikan karakter Ibu sendiri sebagai acuan. Misalnya, Ibu paling suka mendapat pujian dan menganggap bahwa Ayah juga menyukainya. Belum tentu seperti itu, ya. 

Sebaiknya, kenali dan eksplorasi karakter pasangan sedalam-dalamnya. Diskusikan apa yang disukai dan yang kurang disukai Ayah, begitu pun sebaliknya. Saling mengomunikasikan kebutuhan masing-masing akan mampu mengoptimalkan ekspektasi Ibu dan Ayah terhadap pernikahan.

4. “Aku sudah kenal dia sejak lama, jadi sudah paham luar-dalamnya seperti apa”

Ada yang pacaran sampai 10 tahun, tapi 1 tahun menikah sudah kandas. Kasus seperti ini biasanya berawal dari asumsi bahwa Ibu sudah paham luar-dalam tentang karakter Ayah atau sebaliknya. Well, mungkin saat ini memang demikian. 

Namun, manusia adalah makhluk yang terus berproses sepanjang waktu. Ibu mungkin sudah mengenal Ayah bertahun-tahun sampai tahu apa yang diinginkan Ayah tanpa perlu Ayah mengucapkannya. 

Namun, biasakan untuk selalu bertanya, ya. Walaupun kemungkinan Ibu sudah bisa menebaknya, Ibu akan tahu 100% apa yang diinginkan atau dirasakan oleh Ayah jika bertanya terlebih dahulu.

Berasumsi bahwa pasangan akan selalu sama justru bisa jadi perusak rumah tangga. Ibu harus memahami bahwa Ibu dan Ayah tetap dua orang asing yang menjadi keluarga karena ikatan pernikahan. Selalu bertanya apa yang diinginkan oleh pasangan juga bisa menambah keharmonisan dan keintiman dalam berumah tangga, lho

5. “Rumah tangga kami adem ayem saja, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan”

Well, mungkin saja permukaannya memang begitu. Dari luar, hubungan Ibu dan Ayah mungkin tampak baik-baik saja, tidak ada masalah, dan selalu mesra. Memang hubungan yang baik-baik saja adalah sesuatu yang positif dalam kehidupan berumah tangga.

Namun, optimisme seperti ini tidak lantas membuat Ibu jadi menutup mata akan segalanya. Benarkah hubungan Ibu dan Ayah baik-baik saja? Benarkah tidak ada permasalahan sama sekali? Itulah yang harus Ibu cari tahu lebih dalam.

Hidup adem ayem tanpa permasalahan bisa jadi menyimpan masalah besar yang sengaja dipendam atau disembunyikan. Bisa saja ada sesuatu yang enggan diutarakan karena dianggap akan menimbulkan pertikaian. 

Jika kebiasaan seperti ini terus dilanjutkan, maka buntutnya akan jadi perusak rumah tangga Ibu dan Ayah nantinya. Biasakan untuk tidak saling memendam masalah. Bila Ibu merasa kurang nyaman akan sesuatu, maka sampaikanlah pada Ayah. 

Bila Ibu menginginkan sesuatu, sampaikan juga semuanya. Apabila harus bertengkar, lebih baik bertengkar saja sekarang. Ketika permasalahan yang Ibu atau Ayah pendam sudah membesar dan berlarut-larut, maka dampaknya pun akan sama besarnya. 

Hindari berasumsi bahwa pertengkaran adalah perusak rumah tangga. Pertengkaran antarpasangan justru adalah hal yang baik karena ada sesuatu yang diinginkan, dibicarakan, dan dipermasalahkan. Dengan bertengkar, Ibu dan Ayah jadi tahu cara untuk memperbaikinya. Otomatis, hubungan pun akan semakin baik. Namun, jangan lantas semuanya diributkan, ya.

Follow Ibupedia Instagram